Wednesday 16 March 2016

‘Pada Suatu Hari’ dari #BicaraCinta





sejak itu, kita mengobrol panjang tentang kebiasaan kita bercakap-cakap dan bercurhat ria yang akhirnya menememukan pemahaman akan rasa dengan sendirinya lalu pelarian kita sering kali sama, mengekalkannya dalam cerita dan gambar. Konsep #bicaracinta sepakat untuk lahir, mengajak dunia (baca: kita semua) membincangkan rasa. Lebih dalam, lewat kata dan sketsa. Kita berangkat dari sepotong percakapan.

“Ver, luka. Mencintai ibarat kata kerja yang mewakili kata ‘derita’, dan mengemas dirinya dengan bungkus permen lolipop. Hanya sebuah samaran. Lagipula, kita semua menyukainya, jadi baik-baik saja. Kamu tahu apa alasannya? Sederhana saja, coba tengok salah satu rak lemarimu, dekat dengan baju-baju koleksimu, sudah berapa topeng yang kamu punyai untuk digonta-ganti sebelum melangkah keluar rumah?”
Entah ‘pertemuan’ ke berapa di antara kita yang disertai cerita muram lainnya tentang rasa. Kubayangkan ia di sana, sedang naik ke loteng kamar kostnya, berteriak dalam diamnya kepada kerlap-kerlip lampu kota yang menertawainya diam-diam tiap malam. Kututup layar ponsel setelah membaca pesan retorisnya berulang kali. Perbincangan perihal perasaan bersamanya selalu seperti ini mampu membelah masing-masing hati kita jadi dua. Nyeri.
Kupindai pandangan keluar jendela yang kacanya sudah buram oleh debu yang melengket. Pandangan di luar rumah tak jauh berbeda dari kemarin; pohon dan semak-semak yang saling bergesekan karena tiupan angin.
Apakah kerap begitu, ketika kamu mengizinkan diri untuk mencintai, Ver?
Ponselku bergetar. Pesan lainnya dari kawan jauhku.
Aku mencintainya belasan tahun. Menunggunya adalah bentuk perjuanganku lainnya. Dan, bagaimana harus kubayangkan ketika juang nyatanya sinyal lain bagi kata serah?
Suara derik jangkrik semakin terdengar. Cuap-cuap dari radio tua yang kerap kunyalakan begitu saja tiba-tiba jelas menyeruak. Keduanya saling timbul tenggelam berebut jadi latar atas lamunanku yang terlempar pada seseorang setelah pesan beruntun itu menghantam ingatanku.
“Ver, cinta dan mencintai itu ... dan seseorang itu ... sialnya aku tak pernah menyesal. Ini seperti kamu meminum segelas cairan yang tak kamu tahu, nyatanya adalah setegak racun. Kamu mati dengan bahagia karena ... untungnya kamu yang menelannya, bukan seseorang yang kamu ajak minum bersamamu yang kamu tunggu pertemuannya, yang kamu ... cintai. Ia bahagia, dan cerita ini usai. Tak apa..”
Aku terisak. Aku bangkit dari ruang tengah menuju ke kamarku kembali, menyambar bolpoin yang berserak di meja dan mulai menulis dongeng-dongeng, membuat kisah-kisah. Lalu, satu-persatu mengajakku membincangkan tentang sebentuk rasa yang orang-orang sebut cinta, lebih jauh dan berbeda. Kuraih ponsel, beberapa pesan nyatanya sudah masuk terlebih dahulu lewat getar-getar yang kuabaikan. Pesan darinya lagi, yang bilang ia sedang sibuk menggambar dan mencoret sketsa, ia ingin tahu bagaimana rupa hati yang remuk.
Ia pun mengirimkan potong-potong gambarnya yang merekam jejak-jejak kenangan yang sepia. Lalu keajaiban terjadi: beberapa kalimat pada tumpukan kisah-kisahku meloncat-loncat keluar, dan mencari pasangan gambarnya masing-masing yang sekiranya mereka punya satu rasa untuk bersuara. Aku tertegun, kuusap air mataku. Kemudian dengan cepat kuketikkan balasanku padanya,
“Alberta, yang menyakitkan itu ketidaksetiaan, yang mengecewakan adalah kebohongan, yang melukai ialah permainan, yang menghancurkan adalah pengkhianatan, yang membunuh ialah kehilangan, dan sejenisnya. Lalu tentang cinta yang kita bicarakan, justru, Alberta, cinta adalah ... cinta ialah .."

 Jari-jariku bergetar. Hatiku gemetar untuk melanjutkan. Ia ikut menangis. Dan aku tetap mengetik.
“...satu-satunya yang tidak menyakiti, mengecewakan, melukai dan lain-lainnya yang kamu sebutkan tadi.”

0 Comments:

Post a Comment