Kulihat
diriku di depan cermin. Berkaca mata minus tinggi. Tebal. Aku mencoba tersenyum
dalam bisu. Senyuman yang begitu palsu. Bayanganku di cermin hingga tertawa
melihatnya. Senyum palsu terus yang kuperlihatkan padanya. Padahal, air mata
tengah mengalir deras di sela-sela senyuman itu. Baru kemarin malam, aku
mendengar sepercik siraman kehidupan dimana, kita tidak boleh fokus pada apa
yang tidak kita miliki, karena kita akan terus memandang rendah diri dan tidak
maju, karena hanya bisa memiliki rasa iri. Aku diam tertunduk ketika kata-kata
itu terngiang kembali dalam gendang telingaku. Tapi, aku harus bagaimana? Aku
memang tidak bersyukur. Dalam hati aku menjerit, pantaslah jika aku dihukum.
Aku membenamkan wajahku. Mengalihkan diri dari cermin itu. Aku masih ingat akan
pesan singkat yang kuterima. Aku masih ingat bagaimana pesan singkat yang jika
dibaca tidak berarti apa-apa. Namun, jika ditelusuri, kalimat sederhana itu
menjelma menjadi sebilah pisau tajam yang mampu merobek-robek organ-organ
tubuhku yang membuatku bernafas kini. Bagaimana rasanya jika diri sendiri
mencoba membandingkan diri dengan orang lain? Ketika itu dilakukan terpaksa
ataupun suka-suka. Bagaimana jika banyak sekali orang di sekitarmu yang datang
menghampirimu, tersenyum, menjabat tanganmu, dan bertegur sapa denganmu, hanya
untuk mendekati seseorang yang menjadi teman dekatmu? Ketika itu semua runtuh
karena dibungkusi kepalsuan. Reruntuhan itu mengenai kepalaku dan rasanya
begitu sakit. Hingga aku perlu tangisan. Ingin sesekali ada seseorang yang
benar-benar melihatku ketika ada seseorang lebih dari segalanya disampingku.
Tapi, realitanya, itu semua tidak pernah ada. Semuanya hanyalah ketulusan yang
dibungkusi kepalsuan. Era sekarang, ketulusan pun bisa dipalsukan. Perlu bukti?
Lihatlah ke dalam cermin. Pantulan bayangan kita sesungguhnya ada di dalam
sana. Hancurkanlah ia, agar kepalsuan itu tidak menjadi momok yang
menghancurkan…
Saturday, 10 September 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Comments:
Post a Comment