Monday 14 March 2016

Bermain-main dengan Kenangan Bersama 'Bicara Cinta'



Aku masih ingat – ketika buku Bicara Cinta selesai dicetak, dan dikirimkan ke beranda rumahku langsung, lewat kurir Gramedia-nya. Aku menumpuk dan menyusun buku-buku itu, lalu memotretnya untuk dikirim ke Alberta Angela yang belum menerima si buku. Kukatakan padanya, “Buku kita sampai! Kavernya emas loh!”. Dan, Alberta begitu heboh di sana – mungkin menggila, lebih tepatnya. Sebab aku juga demikian. Lalu, hari ini aku kembali menyambar bukunya, membolak-baliknya; tersenyum sendiri lantas menyadari, membuka tiap lembarnya, aku seakan berkaca pada kenang yang kutempeli di sana dalam bentuk kumpulan kata dan cerita. Sejatinya, buku ini memang berusaha mengundang kenang-kenang itu dan mengajak kita diam untuk menikmatinya; mungkin melalui cara yang teramat sederhana, seperti ini:
coretan daftar laguku di lembar 'Bicara Cinta'
Mendaftar lagu-lagu favorit; selalu ada alasan mengapa sepotong lagu bisa jadi favorit. Karena lagu itu mengundang kenangan, atau si lagu sendiri yang dibuat berdasar koleksi ingatan. Bukankah sejatinya begitu? Ada hal yang sulit dijelaskan mengapa langkah kakimu melambat ketika melewati salah sebuah kafe yang memutar lagu tertentu ...
ssst, ada sepotong suratku di dalam buku
 Menulis surat! Apakah kamu sudah mencoba melakukannya? Surat membantumu memahami kenang yang si penulis suratnya, lewat caranya menekan pena di atas kertas, potret-ptret yang dilampirkannya, hingga tumpahan kopi di ujung kertas. Ssst, surat yang kubuat ada di antara lembar-lembar halaman buku Bicara Cinta loh! 
fotoku sewaktu kecil yang kutempel di sana, dan sudah benar-benar sepia
 Menempel foto. Kapan terakhir kamu mencetak foto dan menempelinya di buku harianmu? Atau membingkainya untuk dipajang di meja belajar/kerjamu? Salah satu cara terbaik memperlakukan kenangan adalah mengabadikannya, lewat selembar potret yang bisa kamu selipkan di dompet atau dijadikan pembatas pada buku kesayangan.
Dan ada banyak lagi lembar-lembar serupa di dalam buku. Aku mengatupkan buku. Dadaku sesak oleh kelebat memori yang timbul-tenggelam melahirkan rasa yang berbagai macam bentuknya, yang akhirnya menyatu, menamai dirinya cinta.

0 Comments:

Post a Comment