Friday 4 November 2016

Memeluk Ragu

“Mengakui keliaran adalah satu hal, tapi menyertainya dengan menguraikan keraguan-keraguan ialah lebih dari hal-hal yang bisa kamu perbincangkan,” ujarnya. Ia meletakkan pensil alis di meja riasku yang sudah berusia lima tahun, tanpa suara. Manik cokelatnya memindaiku dari pantulan bayangan cermin. Kami sudah pernah membahasnya, aku tahu: ia menyukai keliaran, katanya itu alasan mengapa setiap orang punya rahasia dan mengoleksi cerita yang berbeda, bisa mengetahuinya membutuhkan lebih dari sekadar percaya, tapi juga cinta. “Keraguan, Ver, ia seperti terus-menerus memberi guncangan pada apa yang sudah berupaya kamu bangun,” lanjutnya, seraya menyambar kunci mobilnya yang barusan ia lempar ke balik bantal kamarku. Lalu pergi. 
Di ambang pintu, aku tidak berusaha menahannya, ia hanya meletakkan tangannya di pundak kiriku dan berbisik, “...tapi kamu butuh keraguan untuk menguji keyakinan." 
Ia berlalu. Gaun malam yang dikenakannya menampilkan sebidang punggungnya yang dilukis berdarah oleh seseorang yang tidak pernah ia sebut lagi namanya sejak tiga hari lalu – itu jejak keraguan dari kekasihnya ia bilang suatu hari. Sekaligus keyakinannya yang terlampau lebih dan memakannya. Kudengar tawanya di ujung teras rumah.
sumber foto: tumblr.com
Aku menarik diri ke dalam kamar, menyadari keraguan bisa menempel di mana-mana: kamu mengunci pagar rumahmu ketika bepergian, kamu menyetel kata sandi untuk ponselmu, kamu membawa payung saat hari mendung, kamu memberi jangka waktu tertentu buat siapa saja yang meminjam buku favoritmu, kamu meminta tunanganmu untuk setia, dan, dan, dan. Ia bahkan bisa ditemukan di tempat yang kamu kira penuh keyakinan: matamu, sajak-sajakku, misalnya. Aku jadi teringat pertanyaannya tentangmu sekitar sebulanan lalu, “Bagaimana kita bisa tahu seseorang yang kemarin menyatakan cintanya padamu adalah yang jari jemarinya paling cocok ketika ditautkan padamu dalam genggaman, yang lekuk tubuhnya paling pas ketika dipeluk oleh tubuhmu? Bagaimana kamu tahu dia adalah keping puzzle-mu yang hilang, yang sudah lama kamu cari?”
Kamu tidak mengenal orang dari siapa namanya, ramalan zodiaknya di halaman akhir majalah langganan, bagaimana bentuk hidungnya, karakter golongan darah, hasil kuis Facebook,  di mana alamat rumahnya, atau pertanyaan-pertanyaan biodata yang ditulis di kertas surat yang dikoleksi anak-anak. Kamu memahami mereka dari keraguan seperti apa yang sedang dan pernah mereka pelihara: mengapa kamu mengakhiri hubunganmu dengan lima sampai enam perempuan sebelum aku? Kapan terakhir kali kamu teringat pada kawan lamamu yang begitu merepotkan semenjak kamu diam-diam memberinya jarak? Di mana khayalan liarmu kamu simpan sembunyikan dari orang-orang? Siapa saja yang hidup dalam kepalamu dan berapa di antara mereka yang berusaha kamu tekan agar tidak muncul? Itu pertanyaan-pertanyaan yang menggugat keraguan untuk berani bicara, sayang.
“Jadi, bagaimana, Ver? Kamu tidak tahu jawabannya atau memang kamu belum mau memberitahunya?” ujarnya lagi. Kalau tidak salah, ketika itu, aku memain-mainkan sedotan minumanku. Melempar pandang keluar jendela resto. Dan segalanya jadi tampak ragu. Adukkan sedotanku yang setengah-setengah, perhatian yang terbelah-belah, dan jendela yang tidak percaya aku menatapnya.
Aku membayangkan matamu – kamu tahu kalau keindahan itu kadang kali adalah elegi? Terlalu banyak, membuatmu bisa menangis, karena kita nyatanya selalu butuh kesedihan. Aku merindukan matamu – kamu tahu tiap pesan teks yang tak pernah sampai karena diketik ulang hanya untuk kuhapus, karena nyatanya aku tak cukup percaya kamu cukup utuh merasakan sebaliknya. Aku menyentuh matamu – kamu tahu kalau hal-hal yang kamu cintai sering tidak bisa untuk kamu sentuh? Karena kamu terlalu melindungi dan menjaganya hingga menjadikannya gelembung udara yang pecah dengan sebegitu mudahnya. Aku meragukan matamu – terlalu banyak kemungkinan yang ada di sana, dan kamu tahu, kamu pernah dimenangkan oleh keraguan. Keraguan pernah memenangkanmu jika tak ingin kukatakan ia pernah mengalahkanmu. Kamu meyakini keraguanmu. Lalu, aku kehilangan matamu.
Aku beranjak. Menyambar jaket hitamku yang mulai memudar dan memutuskan keluar rumah. Mencari setangkai mawar di pekarangan-pekarangan rumah tetangga, memetik kelopaknya satu persatu, membiarkan keraguan menemukan jawabannya sendiri.
“Kamu tahu.” Ia melirik ke arahku, mengangkat sebelah alisnya. Tidak penasaran, juga bukan tak percaya. Ia hanya tersenyum, lalu tawa hambar yang sama itu lagi. Beginikah cara keraguan juga berbahasa? Diam-diam, mengurungmu untuk kemudian membuat apa yang kamu bangun goyah lalu runtuh, atau ia memang benderang muncul buat bilang, ‘hei, aku di sini untuk mempertanyakan segala hal sampai kamu menemukan keyakinanmu’. Keraguan bukan tak punya suara, ia hanya tak ingin bicara, memang begitu caranya bekerja.

Kamu adalah keraguanku setiap hari, dan mencintaimu berarti membiarkan keyakinan juga sesering itu muncul untuk membunuh satu persatu ragu yang masih berusaha hidup. Dan, seperti remaja kasmaran di dongeng-dongeng klasik, cinta selalu punya jalannya mengizinkan keraguan menang untuk kemudian menemukan sejatinya kekuatan untuk benar-benar tinggal. Aku memeluk keraguan, kadang kali terasa seperti dekap tubuhmu, kadang kali juga tak terasa apa-apa, sampai kupikir aku tengah terjebak di labirin atau kamu memang benar-benar berhasil meyakinkanku?
suatu petang yang ganjil, diketik di halaman belakang rumah, Oktober 2016

0 Comments:

Post a Comment