Ini
bukan perkara apakah daku akan melipat jarak atau tidak untuk mempertemukan dua
rembulan yang sambil merindu. Bukan juga perdebatan akan ketidakpastian waktu
menelurkan jawaban pernyataan kasih yang sudah terlanjur terucap. Bukan juga
persidangan yang berpeluh dan mencekik antar kebenaran dan kesalahan yang
berpenentuan. Namun, ini hanyalah bagian paling sederhana dari mungkin kepingan
bahkan bukan potongan dari hidup daku, Tuan.Mungkin bibir ini berani berucap
dan menuturkan akan kesederhanaan, namun, Tuan, ketahuilah, bahwa bibir ialah
pembohong nomor satu, ia bersua berkebalikan dengan apa yang ingin daku
teriakkan. Kerumitan. Ini persoalan waktu. Daku telah terikat janji yang
terikrar empat tahun yang lalu untuk tidak mencintai. Karena daku sudah tiga
tahun lebih ditempatkan pada posisi yang tidak dicintai. Namun, pada tahun ini,
daku mempertanyakan janji yang mulai tergoyahkan.
Bahwa akhirnya daku menemukan
seseorang yang melihat daku di antara kerumunan. Daku menangkap seseorang yang
mengambil rembulan ditengah taburan bintang yang menggoda. Daku menerima dan
merasakan bagaimana rasanya butiran-butiran gula. Daku memintanya untuk
menunggu. Menunggu dua tahun ke depan hingga ikatan tali yang terasa mencekik
apa yang seharusnya terjadi dapat terlepas dan daku bisa mengait lengannya.
Tapi, penungguan bukanlah perkara mudah. Untuk waktu yang lama. Daku tahu itu,
maka itu, daku izinkan ia untuk mencari yang lain selama rentang waktu itu. Walau
sesungguhnya, hati mengurung kata-kata itu. Namun, bagaimana ketika waktu telah
lelah menunggu…lalu ia jadikan hati ini abu yang bertebaran tanpa arah…tanpa
navigasi hingga hinggap ke sembarang tempat…salah satunya ke dalam tangan
pemakan jiwa…
Karena aku menunggumu untuk berkata bahwa kamu menungguku ...