Sunday 15 September 2013

Sleepless Night


Berkas cahaya rembulan rebah di pangkuanku. Hangatnya terasa menjalar perlahan di sekujur tubuh. Kubiarkan waktu terus merangkak malam, tak peduli derik serangga semakin berisik di antara semak-semak. Aku sedang menunggu seseorang, ia hanya akan datang saat aku meluangkan waktu untuk bercengkerama dengan malam sunyi. Benar saja, ia datang, menyeruak di antara bayang-bayang gelap. Kami mengobrolkan potong-potong peristiwa.

“Siang itu, aku berdiri di bawah terik matahari. Langkahku tepat berhenti di depan sebuah bank ternama. Banyak orang berlalu-lalang keluar dari dalam bank, membawa seikat uang, sebundel amplop dan berkendara mewah. Di antara kendaraan keluaran terbaik itu, berdiri seorang nenek ringkih, berkerudung kuning. Ia berjalah tertatih dan mencoba menopang tubuhnya pada sebuah motor besar. Menegadahkan tangan dan berbisik ‘dana’ atau ‘makan’. Tapi, aku mendengarnya. Hanya bisik samar yang tenggelam dengan suara bising lalu lintas dan keramaian orang yang berdebat akan ekonomi. Tak ada pasang mata yang singgah barang sejenak untuk merangkul nenek itu. Terik matahari semakin membakar, mungkin tak hanya menghanguskan tubuh tapi juga memberangus hati orang-orang itu hingga tak mampu merasa.”
“Malam itu, aku tengah membeli makanan ringan di pinggir jalan. Aku melihat seorang kakek tua sibuk di sbeuah tempat sampah besar di depan pusat toko grosir barang sembako. Beliau mengais sisa pembungkus nasi yang masih utuh. Walau berminyak, bau dan amis, pembungkus nasi bungkus itu masih dicarinya. Ditumpuknya hingga menggunung, berharap akan menjadi gunung receh rupiah. Aku melihatnya, kakek itu juga menatapku. Aku tahu ia merasa malu, tapi ia tetap menyibukkan diri kembali dengan pembungkus-pembungkus sisa itu. Tanpa beliau tahu, hatiku runtuh saat itu juga menyadari tatap matanya yang begitu dalam, menyiratkan sejuta harap tak sampai yang begitu menyayat.”
“Sore itu, aku tengah duduk di atas motor. Langit sebentar lagi mengantar siang menuju senja jingga. Aku berhenti di sebuah kemacetan panjang, namun ada satu sepeda yang masih melaju di pinggir kemacetan yang ada. Sepeda itu dikayuh seorang kakek tua, membawa sejumlah koran. Si Kakek Loper Koran. Aku mengamati tulang-tulangnya yang rapuh, bekerja keras mengayuh sepeda dengan jarak tempuh yang tak pernah bisa kuterka. Setiap gowes sepedanya, membolak-balikkan hatiku hingga lebam.”
Aku selesai bercerita. Malam ini, tak ada kantuk yang hinggap di ruang pikirku. Seseorang itu hanya mengangguk, pandangannya nanar menuju bintang-bintang. Hatiku semakin gelisah, jauh kusadari, bukan karena peristiwa-peristiwa itu, tapi pada pertanyaan; bagaimana keadaan mereka sekarang? Tak ada jawab kecuali sunyi malam yang semakin menikam. Sayup kudengar bisiknya di telingaku; titipkan beribu doa pada Tuhan bagi mereka. Maka, aku pun memejamkan mata.
“Saat kamu terbangun di sebuah malam yang begitu larut, dan menyadari itu karena kamu menangis dalam tidur oleh mimpimu, tak ada hal terbaik yang bisa kamu lakukan kecuali berdoa.”
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment