Saturday 16 November 2013

Why We Gotta Be So Mean?

Hari itu, cakrawala menggelap. Mendung menggelayuti langit. Menyelimuti Bumi dengan kelabu. Aku dengan salah seorang sahabatku tengah mengobrol dalam mobil. Obrolan panjang tentang seorang adik kelasku.
“Aku pernah melihatnya mengambil tempat di antara barisan teman-temannya saat doa pagi, tapi teman-temannya segera menyingkir dengan tatap jijik padanya. Ia terlihat tidak punya teman. Sekali ia berada pada satu tempat, semua menjauh. Aku tidak tahu dimana yang salah,” ujar sahabatku itu, nadanya merendah, ada selip prihatin di antaranya. Aku tahu siapa yang tengah sahabatku itu bicarakan. Ia adalah salah satu adik kelasku. Aku mengangguk. Aku pernah melihat kejadian yang sama, adik kelas itu melewati lorong kakak senior, seketika ia ditahan dan mulai ‘diganggu’. Aku juga pernah melihatnya duduk di angkot yang sama denganku, salah satu temannya segera menggeser duduknya sedikit dengan wajah ketus menjauhinya.
“Menurutku, dia orang yang baik, polos dan lugu. Ia bahkan pernah mengucapkan selamat ulang tahun padaku, padahal ia tak tahu kapan tanggal ultahku. Ia hanya melihat teman-temanku mengucapkan selamat padaku, ia pun mengikutinya,” timpal sahabatku itu lagi. Sahabatku tak tahu, jika saat ia mengatakan hal itu, hatiku mencelos.
Aku tahu, adik kelasku itu – seorang lelaki tinggi, gendung, bertubuh gempal, pernah tidak naik kelas dua tahun, berkaca-mata kuno dengan wajah yang jika dibandingkan lelaki-lelaki ramping bermotor ninja di sekolahku, tak akan ada apa-apanya. Tapi sesungguhnya, di balik semua kekurangan yang ia punya, aku yakin dan begitu percaya, ia punya hati yang baik. Tatap matanya yang tidak terlalu fokus, tapi mengadung kepolosan yang tidak macam-macam. Wajahnya tidak tampan, tapi ia punya ketampanan hati. Otaknya tidak cemerlang, tapi ia punya hati yang kemilau. Tak banyak hal yang kutahu tentang dia, kecuali kekurangan dan keburukan fisik yang terus beredar se-antero sekolah, tapi di sudut tersembunyi dari itu semua, ada yang menarik darinya.
“Cici, makasih ya waktu itu,” ujar adik kelasku itu suatu hari padaku, sehabis aku menariknya dari gerombolan  kakak kelas lelaki yang memiliki keisengan untuk ‘mengerjai’-nya.
Pikiranku pun terlempar pada sosok adik kelasku yang lain, seorang perempuan berambut pendek, tubuhnya yang cukup gemuk dan tinggi untuk ukuran kelas 1 SMA (bahkan lebih tinggi dan besar daripadaku), warna kulitnya gelap, wajahnya tidak secantik teman-teman perempuanku yang bertubuh montok-putih mulus dan lainnya. Adik kelas perempuanku itu punya cerita lain. Ia dijauhi, di-bully oleh teman sekelasnya, mendesaknya untuk melangkah ke tiap sudut sekolah sendirian. Pernah suatu waktu aku mendekatinya. Saat itulah, aku melihat secercah senyum mengembang di bibirnya yang sedikit merah ranum kehitaman, ia terus bercurhat tentang seseorang yang ia cintai, ia tertawa kecil – tersenyum lebar. Dengan polos, ia terus bercerita, cerita-cerita seperti mimpi untuk menjadi Cinderella. Diam-diam, aku merasa teriris, mereka – kedua adik kelasku itu, butuh seorang teman.
Terlepas dari itu, tak banyak yang memperhatikan bagaimana adik kelasku itu sering kali berjalan sendiri, jajan ke kantin sendiri, ia ‘berteman’ dengan kesendirian. Dan, itu begitu menusuk. Sebab, tak banyak juga yang tahu, bagaimana setiap pagi aku bangun dan menyetel lagu-lagu anti-bullying dari playlist ponselku untuk menghentikan tiap air mataku yang jatuh - tiap kali mengingat beberapa tahun silam ketika bullying itu sendiri terjadi padaku, tepatnya ketika SD. Rasanya begitu menyiksa, ia menjerat hatiku perlahan, mengoyaknya dengan kata-kata tajam menusuk dan menghantamnya keras dengan bayang-bayang kesendirian.
Terkadang, kita terlalu banyak mengomentari orang lain hingga lupa ‘mengomentari’ diri sendiri yang terus berkomentar. Kita terlalu sibuk fokus pada kekurangan orang lain, hingga tidak menyadari kekurangan kita sendiri yang terus melihat kekurangan orang. Why we gotta be so mean? 
"Aku gak pernah bisa bayangin dan gak tega buat ngelihat seseorang bisa dijauhkan oleh teman-temannya seperti itu. Pasti begitu menyakitkan dan orang-orang yang menjauhinya itu, takkan pernah tahu. We will never know, including what will be happen in the future,” ujar sahabatku dengan meninggalkan senyum penuh arti. Aku mengangguk, mengiyakan apa yang dikatakan sahabatku itu untuk mengakhiri obrolan sore yang mendung. Yes, we’ll never know.

This entry was posted in

1 comment:

  1. Ntah kenapa, kata2nya selalu bisa bikin saya 'diam'

    ReplyDelete