Friday 31 January 2014

Yang Tak Luput Dari Rindu



Mari kita mengira-ngira. Sekitar setahun silam, kembali pada Maret tahun lalu. Detik-detik ketika aku harus berteman dengan selang infus dan obat-obatan. Terbaring di rumah sakit selama seminggu penuh, mendapati pola makan yang lebih teratur dengan menu yang mengerikan – muntah berkali-kali karena rasanya tubuh ini lebih banyak dicekoki obat dibanding makanan. Semuanya terasa sedikit membaik ketika dokter mengatakan aku bisa pulang. Malam itu, di balik jendela kaca mobil, aku menatap lampu-lampu kota, aku merasa hidup. Masuk ke sekolah, menyapa teman, mengejar ketertinggalan pelajaran dan menikmati makanan kantin seperti biasa. Tapi, tentu saja, selalu ada perlakuan yang berbeda ketika kamu baru saja pulang dari rumah sakit. Kamu akan terasa dimanjakan seminggu awal. Diminta tidak berpikir terlalu keras, toleransi pada jam olahraga, tidak mengikuti ekskul sehabis pulang sekolah dan lainnya. Hampir semua orang menceramahiku mengenai satu kata ‘istirahat’. 
Mari kita menebak-nebak. Lalu, tebakan itu benar. Itu berarti, tak ada lagi duduk berjam-jam di depan komputer. Menghitung tanggal di kalender sebelum deadline. Menyeduh secangkir teh vanilla hangat di kala tengah malam. Menyeleksi naskah kiriman yang masuk di meja redaksi sekolah. Membidik lomba-lomba kepenulisan. Melanjutkan proyek menulis baru. Dan lainnya. Lainnya. Semuanya seolah lenyap. Lesap. Terkemas dalam satu kata ‘istirahat’. Hampir semua orang menyerukan hal itu. Hampir. Karena ada seseorang yang tidak.
Setiap orang akan menjadi sejarah bagi orang lain. Begitu juga sebaliknya. Orang lain, siapapun itu, akan menempati –setidaknya, satu bab dalam sejarah hidupmu atau orang lainnya.
Mungkin beliau tidak akan pernah membaca tulisan singkat ini - yang tanpa ia sadar atau tidak, aku tengah mengisahkannya. Ia membiarkan aku menerima tugas-tugas kepengurusan majalah sekolah. Memimpin rapat. Menggali ide-ide baru untuk edisi selanjutnya. Di tengah cibiran orang-orang di sekitarnya yang mengizinkan aku tenggelam dalam kesibukkan setelah sakit keras. Aku tersenyum. Di koridor sekolah yang  gelap oleh pantulan bayangan itu, beliau hanya diam. Ada senyum kecil tersungging di bibirnya. Wajahnya yang ramah dengan jilbab kelabu yang membingkai kepalanya, terasa begitu teduh di manik mataku. Kami saling bertatapan. Ia tahu, aku akan lebih sakit ketika tidak menulis. Aku tidak benar-benar sembuh jika tidak menulis. Maka, lewat tulisan ini, ada selip terima kasih dan sebuncah rasa rindu yang sangat untuknya.
Guruku, apa kabarmu? Aku di sini, bergelung dengan rasa rindu yang terus memutar kisah silam kita. Bagaimana membuat kenangan luput dari perasaan sebongkah hati? Mari melipat jarak, memulai rapat rutin kita, lagi.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment