Tuesday 3 June 2014

Forget What We Ever Had


Kamu; yang bermanik mata apel. Kulihat kamu petang hari ini sedang menunggu meja di sebuah bar tempat kamu bekerja paruh waktu. Kadang kala kamu dapatkan jam kerja malam, membuatmu subuh hari baru menyambut rumah; membuatku kehilanganmu waktu-waktu dekat ini. Kumainkan potong-potong apel hijau di atas piring kacaku; ingatkah kamu tentang ini semua.
…lucu jika mengingat, seseorang yang awalnya tidak berarti apa-apa bagi kita, menjadi seseorang yang berarti segalanya di kemudian hari. Andai kamu mengingatnya, lelaki bermata apel. Itulah pertemuan awal kita.
…lantas, untuk pertama kalinya kita jadi satu tim. Lalu karena ada kamu, tim aku kalah. Kamu tidka terlalu sigap diberi beban angka-angka. Aku tidak marah, sebab jika sekarang kubayangkan, bukankah itu pertama kali kita tertawa bersama?
…aku tidak mengira jika kita akan terus berada dalam satu kelas yang sama selama tiga tahun ini. Bahkan di tahun awal, ketika kita bergabung dalam sejumlah project tugas sekolah, tak jua kuperhatikanmu. Aku terlalu sibuk oleh lelaki yang mencuri rembulan dan lelaki lainnya yang mencintai teh hingga membuatku gila. Dan, kamu datang, menawariku rangkulan kecil dengan rona kehangatan di tiap tatap kantuk mata apelmu.
…aku tahu masa lalumu ketika kamu mulai ceritakan itu. Aku takut menebak jika kamu memang tidak pernah beranjak dari dekap-dekap lampau. Tiap kamu menghitung bintang, pulang di pertengahan malam melewati gang-gang sempit nan sepi, berselancar di dunia keduamu, menyentuh remah-remah pembahasan akan cinta, yang terbayang olehmu adalah seorang gadis yang hanya kutahu inisial namanya saja.
…ketika kukira semuanya bisa kuatasi. Aku hanya butuh waktu tiap harinya untuk menekan rasa, membuangnya di atas lembar kertas, menghapusnya lewat bantuan waktu dan jarak, ditambah kesibukkan barumu menunggui meja. Tapi apa yang kutemukan, kita bertemu di sebuah pesta, kamu berpakaian rapi dengan tampannya layaknya bersedia meminang rindu ini menjadi cinta. Namun di ruang pikirku, aku selalu berbisik; seharusnya kamu bisa dapatkan lebih dariku.
Ponselku bergetar. Pesan darimu. Dan rasa itu sepintas membuncah lagi. Kamu; yang bermata manik apel. Beruntunglah, kamu bukan pengingat yang baik. Kamu pelupa.
Maka, kamu melupa…
...lupa jika
aku mencintaimu.

0 Comments:

Post a Comment