Saturday 13 September 2014

Debu Bintang


Itu pagi yang sulit untuknya. Aku mengetahuinya ketika dia membanting tas punggung kelabu ungunya di hadapanku. Kerutan di kening kepalanya diikuti mata bengkak yang memerah, menjadi kombinasi yang sudah menjelaskan seluruhnya, tapi dia tetap mau bercerita. Maka, aku di sini, menyeduhkan teh aroma jeruk garmot favoritnya sembari mendengarnya.
Dia bilang, pagi tadi mengendarai kendaraan bermotor dan melihat seorang bapak tua duduk di antara tumpukkan sampah yang menggunung; sebuah tempat pembuangan akhir.
“Itu gunungan sampah yang sebentar lagi hendak diangkut pergi. Tapi bapak itu masih di sana, beliau duduk dan mengais sampah plastik. Seakan ada lembar dollar dan bubuk emas yang berjatuhan di sana dan harus ditemukan.”
Dia bilang, siang tadi ketika diantar seseorang, dari balik kaca mobilnya, dia melihat seorang ibu paruh baya. Rasanya dia pernah melihat ibu itu sebelumnya – perempuan paruh baya tanpa alas kaki yang berjalan di antara aspal yang membakar kulit. Siang itu, dia melihatnya lagi dengan dua lembar rupiah nominal ribuan.
“Dia berjalan seperti biasa, tanpa alas kaki. Keriputnya masih sama; di sudut bibir dan matanya. Mata sayu itu. Lalu, yang membuatnya berbeda adalah dia memegangi dua lembar uang ribuan dan membelikannya gorengan di pinggir jalan.”
Dia bilang, ada tukang loak yang datang ke rumahnya tadi sore. Dia hendak menjual barang-barang bekas dari gudang penyimpanannya yang mulai berbau apak. Ketika dia menceritakan kisah ini, dia terlihat frutrasi. Menurutnya, tak seharusnya dia menjualnya. Dia seharusnya memberinya saja secara gratis pada si tukang loak.
“Tak kamu lihat wajah si tukang loak ketika kubilang itu semua harus dibayar. Dia mengecek lembaran uang di dompetnya yang lusuh. Aku terkoyak, bagai tengkulak angkuh yang tengah memeras petani miskin nan sederhana. Kemana nuraniku?”
Dia bilang, dia berhenti di sebuah lampu merah malam itu. Berhenti yang cukup lama sampai seorang lelaki tua merangkak dari bahu jalan ke arahnya. Lelaki yang cacat, matanya berbinar penuh harap untuk receh-receh yang mungkin terulur. Gelap malam seakan menelan lelaki tua itu.
“Sandal yang sudah rusak dipakainya sebagai alas tangan. Dia berjalan dengan tangan. Aku tak tahu harus melukisnya seperti apa. Malam itu geap, dan lelaki itu seakan tercekik oleh perut yang berbunyi di tubuh malam yang kejam.”
Dia menangis. Wajahnya dibenamkan pada kedua telapak tangannya yang terbuka. Bahunya berguncang hebat. Aku membisu, kujejalkan earphone dengan lagu-lagu sendu yang masih menyala pada dua telingaku. Kisah yang ingin dia ceritakan sudah usai. Lamat-lamat, bayangan dia mulai menghilang dari hadapanku, isak tangisnya menyatu ke dalam ruang hatiku.
Aku bilang; “kan kubuatkan puisi yang membalikkan kata dia menjadi aku. Dan aku menjadi dia.”
Lantas, penggal cerita tadi milik siapa? Aku atau dia?
Aku menangis.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment