Tuesday 12 May 2015

Dua Pilihan


"…kamu akan punya dua pilihan, sejatinya seperti keadaan langit yang abu hasil lepasan senja dan ciuman awal malam.”
Kita menyeruak keluar dari tenda hitam itu. Kamu tertawa, katamu ramalan tak bedanya dengan mimpi – yang usai sehabis kamu terbangun. Tadi itu, kita hanya sejenak memasuki ‘ruang lain’ yang diciptakan imaji si tukang ramal. Kamu mengamit kedua tanganmu, mengajakku mengelilingi arena festival. Mencicipi kembang gula, dan makanan berwarna lainnya. Tanpa kita tahu, diam-diam sampai sekarang, kalimat itu masih terekam jelas, tersimpan di peti usang pada suatu tempat di kepalaku. Sebab, ramalan itu benar.
Dua pilihan. Aku terus mencari-carinya tentang apa itu. Sebulan lalu, mungkin aku menemukannya. Kita menghadap kedua orang tuamu. Sejak awal kita bilang akan meniti jalan yang sama mencapai apa yang orang-orang bilang rumah selamanya, kita sudah ada di petak yang gelap. Mungkin di gang-gang kecil yang hanya bertemankan lolongan anjing kelaparan, lampu oranye yang hampir putus gantungannya, dan sebuah tong yang menampung sampah-sampah berserakkan menciumi jalan. Benar saja, kita menghadapinya di kedua mata orang tuamu. Setelahnya kamu gamang – samar aku mendengar kecamuk benakmu yang mengulang teriakan Bapakmu soal pilihan; keluargamu ataukah aku.  
Dua pilihan. Aku kerap mengais-ngaisnya tentang apa itu. Seminggu lalu, aku kira sudah menemukannya. Kamu pekerja yang hebat; perpaduan antara keras dan cerdas. Kompilasi antara mengarungi malam dan mengejar fajar. Kamu katakan padaku kesabaran itu seperti kita melangkahkan kaki kanan dan kaki kiri menunggu gilirannya – sesederhana itu. Lalu kamu kabarkan jika hal itu yang kamu lakukan selama kamu mendaki gunung. Kamu memberi sabar dalam perjuanganmu yang bertangga, bukan elevator. Kamu berhak untuk menancapkan bendera kemenangan, dan berpindah ke gunung lain yang lebih menantang. Setelahnya kamu bimbang – sayup aku mendengar bisingnya kepalamu dipenuhi ucap selamat dari atasanmu soal pilihan; pekerjaanmu ataukah aku.
Dua pilihan. Aku selalu menggenangi diri tentang apa itu, sebab ini mengenaimu. Karena kata ‘dua’ di sana tidak berarti aku dan kamu, atau kamu dan aku. Tidak sesederhana aku. Sehari lalu, aku benar-benar menemukannya. Kulihat siluet bayang seseorang dari balik gorden jendela ruang kerjamu yang berwarna vanilla. Siluet bayang itu hampir menyerupai aku. Tapi aku tahu, kamu tak mungkin membuat patung lilin. Belum lagi saat bayang itu bergerak dan merangkak ke atas meja kerjamu. Setelahnya terdengar bisik, tawa pelan, dan diam-diam hanya menyisa suara nafas.
Aku membuka pintu ruang kerjamu, dan kudapati kamu sendiri. Tapi, dengan  satu manik mata yang memantulkan bayang diriku, dan satunya lagi bayang lain bukan aku.  
Itu dua pilihanmu.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment