Monday 11 May 2015

Eros


Di ujung malam, pada sebuah ruang yang tangan purnama tak bisa singgah atau menyelinap. Temui aku.
Ruang kepalaku terus memutar ulang pesan singkat yang kubaca petang tadi. Sekarang, saat malam sudah siap membisikkan rahasia-rahasianya pada mereka yang terjaga demi menidurinya, aku mengajak seseorang yang berbentuk bayangan mirip aku di balik cermin itu untuk beranjak pergi. Aku keluar rumah lengkap dengan polesan yang kamu pinta agar ada di aku; gincu merah di bibir dan barisan kuku-kuku yang sudah dicat merah. 
Kau tahu, malam tampil perawan; begitu menggoda untuk kulelapi bersama. Lihatlah rekata yang bagai biji matamu, yang binar. Aku seperti ingin memetiknya, dan padamu; menciuminya lewat pejam mata kita yang saling memeluk.
Langkah-langkah kaki membawaku pada belokkan yang mengarah pada kompleks perumahan. Aku tahu, pada jalan buntu di akhir perumahan ini, ada sebuah rumah dengan lampu menyala yang menungguku – walau rumah-rumah lainnya sudah mati oleh geliat waktu malam yang merangkak naik. Dan, tak ada terka yang hinggap di benakku sebelumnya jika akan bertemu seorang kakek tua. Bertongkat, mengingatkanku pada janjimu; kita akan sampai berjenggot dan berkursi roda.
“Kita berdua tahu, kalian menjalin hubungan bukan secara storge yang teduh maupun pragma yang berjalan melingkupi hari-hari.”
Aku terkunci. Kalimat si sosok lelaki tua bertubuh renta, membungkuk seperti hendak memberikan kepalanya untuk kupenggal. Aku melirik ke arahnya dengan gerak awan hitam yang beramai-ramai memperkosa bulan dalam diam. Si kakek tersenyum lebar untukku, memberikan deretan giginya yang sudah tanggal. Mengangguk kecil, aku melanjutkan perjalananku. Menemuimu yang menunggu lama di sana, dikerubungi sepi. Aku akan segera datang, sayang, mengusir sunyi yang meningkahimu. Aku berkunjung untuk membawa bisik tenang selamat malam yang kamu tunggu segera menyetubuhimu.
Lelatu pernah menjilati tubuh langit. Lalu disertai suara berisik letupan, seperti malam mengerang. Lama-lama padam jua – bagai desahan, menutup klimaks yang indah. 
Kamu tidak mengunci pintu. Seperti yang sudah-sudah kita berdua tahu. Itu undangan khusus darimu. Aku menuntun diri sendiri menuju kamar yang pintunya sedikit terbuka; ada kamu yang duduk di tepi ranjang dengan tembakau yang tinggal setengah dan cangkir-cangkir kopi kosong. Kamu tersenyum puas ketika melihatku mengenakan gaun malam merah yang kamu kirimkan bersama pesan petang tadi. Senyum itu bergulir ke pipiku, lalu melekat kuat seperti cengkeraman di leherku. Lantas senyum itu ada dimana-mana di tubuhmu; berusaha menyapa kulit tubuhku yang tak memerah oleh gaun malam itu.
“Apa kamu siap menggenapi permainan ini?” tanyamu. Aku lompat ke lenganmu yang siap menangkapku, membuatmu rubuh ke atas lantai kamar yang dingin oleh bayang kenang yang pahit. Bayang itu menyulap diri menjadi kaset rusak yang memutar ulang terus-menerus sepotong peristiwa. Hendak mengingatkan. Dan, aku tak pernah lupa. Kakek tua tadi ada bukan tanpa sengaja. Semesta tengah memberi tanda. Bahaya.
“…tapi, kamu bekerja dalam permainan, antara ludus dan eros. Aku di sini, hanya terlalu bodoh untuk percaya agape masih ada; dalam dirimu.”
Kamu mengerang keras. Seolah memanggil roh seseorang untuk bangkit dari makamnya. Mungkin maksudmu, kamu tengah berusaha menyentuh anak kita yang sudah terkubur di halaman belakang rumahmu; tanpa tubuh utuh kecuali gumpal kenyal darah. Seperti kamu saat ini. Dan, tentang anak kita; kira-kira usianya saat ini sudah satu tahun sebelum kamu bilang padaku ingin melahirkannya lagi; denganku.
Bulan memerah. Mencintaimu adalah merah. Terbakar.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment