Sunday 17 May 2015

Yang Memanggilmu Pulang


Lalu, malam itu saat aku duduk di antara bising obrolan lautan manusia yang berusaha ditenangkan alunan musik klasik – yang akhirnya mengalah juga – aku mendapati seorang anak kecil lucu berkuncir dua, duduk di hadapan Ibunya. Keduanya tidak saling bercengrama – yang satu asyik dengan ponsel layar sentuh keluaran terbaru, satunya lagi bermain game dari tabletnya. Aku menyesatkan pandang di antara lalu lalang orang, aku teringat Ibu di rumah dengan kampung halamannya. Dulu, aku kecil selalu duduk di pangkuan Ibu, memain-mainkan dress batik yang sering Ibu kenakan, menarik-narik rok selutut bermotif bunga yang kerap Ibu pakai dulu, dan berceloteh tentang apa saja. 
Aku tahu kamu akan bosan ketika aku membahas sore. Berpikir apakah sekali lagi aku akan mengajakmu meniti gelisah hati, tapi tidak. Ada sore lain yang ingin kubagikan denganmu. Tentang sepotong sore bagi aku yang dulu, si anak kecil lugu dan jelek berkuncir kuda.
Sore, ialah waktu kamu bisa bersenang-senang, keluar dari rumah menuju taman bermain di kompleks perumahan sebelah, mencoba ayunan, perosotan, timbangan dan tertawa karena hal-hal bodoh. Membeli jajanan di pinggir jalan yang khas; kembang gula berwarna merah muda, permen warna-warni berbagai bentuk, dan panganan yang dijual di gerobak lainnya. Setelahnya, kamu duduk di rerumputan hijau bersama teman sepermainanmu, mengobrol banyak hal seolah-olah paling tahu tentang dunia. Bermimpi suatu waktu kamu bisa terbang – dan itu benar terjadi, kamu menaiki sepeda keranjangmu, berkeliling di suatu lapangan yang luas, mengayuhnya dengan kencang, dan beradu siapa yang bisa benar-benar melepas setang sepeda dan terbang.
Kamu tak pernah tahu seperti apa warna sore, bagimu bukan seperti apa yang dikatakan orang dewasa tentang senja yang sewarna lebam – menjingga dan remang oranye yang membuat hati diterungku kenangan yang entah seperti apa kejamnya. Bagimu, sore tak bisa terkata karena terlalu banyak warna. Bahkan ketika kamu bertengkar dengan teman mainmu hanya karena soal mainan barunya yang tak ingin dibagi. Kamu menangis, dan datang teman lainnya yang memelukmu dengan erat dan bebasnya. Esoknya, kalian bermain bersama lagi. Berbagi kembali. Kamu menjadi pangeran, dan aku menjadi putri. Kita beranggapan ada di kastil yang kita lihat pada kartun-kartun yang menawarkan keyakinan pada keajaiban.
Kamu tidak mencemaskan apa yang akan terjadi esok hari dan memikirkan apa yang tertinggal kemarin – kamu hanya butuh bermain dan main. Karena hidupmu untuk tertawa, tersenyum, dan bersama dengan orang-orang yang membuatmu terus seperti itu.
Kamu tak tahu, sore ini saat aku memandangi langit sore yang sebentar lagi luruh menjadi malam, ingin sekali lagi aku keluar rumah tanpa memusingkan kapan tenggat waktu terakhir pengumpulan tugasku, apakah aku sudah melakukan yang terbaik kemarin untuk proyek ke depannya, mungkinkan matahari terbenam itu nantinya tidak membuatku teringat pada seseorang, dan lain-lainnya. Nyatanya, aku melangkah keluar rumah dan tetap dihajar banyak hal. Aku rindu menjadi anak kecil sekali lagi – terkadang, dalam mimpiku, aku menjelma aku yang dulu, tiap pukul empat sore, mengayuh sepeda mencari teman-teman untuk bermain batu, kartu, gelembung udara, atau sekadar duduk bersama menikmati Bumi berotasi perlahan.
Aku – kita tak mungkin kembali ke masa itu, tapi setidaknya aku, kamu, dan kita, tidak berusaha membunuh anak kecil dalam diri kita.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment