Wednesday 10 February 2016

Yang Terakhir dari Kamu


Ini episode terakhir dari seri klandestin. Sudah berminggu-minggu lamanya aku vakum menulis khususnya dari seri ini – dan sekarang, kegelisahan itu datang, meronta-ronta di bilik hati minta keluar, dan aku mulai tersiksa. Mencari-cari kertas terdekat untuk kutulis; membantuku bernafas (lalu aku menyadari alasan awal aku menulis – sebagai terapi jiwa). Baru kupahami, aku perlu menyelesaikan seri ini untuk berdamai dengan diriku sendiri. Dan, kamu akan tahu mengapa ini dinamakan klandestin.
Sepasang mata cokelatmu yang membuat cerita ini dimulai. Kita berdua tahu, selalu saja ada sesuatu di semesta ini yang mampu memaksaku mengambil bolpoin dan mulai mengacak-acaknya dengan versiku sendiri. Ketika mata cokelatmu kutemukan, aku menyadari, aku akan kehabisan waktu mencari-cari bolpoinku di dalam tas maupun kotak pensil – maka aku mengalungkannya, sebab menulisimu adalah cerita tanpa akhir. Jadi, seperti ini kisah kamu bermula lewat ‘pada suatu hari’ yang kubuat untuk mengabadikanmu. Orang-orang bilang, aku gila. Mereka lupa, jika tidak gila, mungkin aku belum jatuh cinta.
sumber gambar: www.yanidel.net
Since the first time we met, i've already seen the ending. It will be hurt, but i love you. So, i took the risk. 
“Ketika itu, aku segera percaya, pangeran yang melawan naga itu ada, dan kisah yang berakhir bahagia itu nyata. Dan lupa, bukankah seperti itu dongeng diciptakan? Mengajakmu mengambil jarak dari apa yang benar-benar terjadi sesungguhnya.”
Sebelum aku melanjutkannya, apa kamu pernah membaca tentang siklus rasa – love cycles atau love stages? Kira-kira gambaran singkatnya seperti ini; kamu tertarik (bertanya siapakah namanya, apakah ia sadar aku ada di sini), mendekatinya (fase yang mana kamu mendadak menjadi pujangga dan pegubah lagu paling handal seantero dunia), memilikinya (hari-harimu seakan begitu sempurna, menganggap ia adalah masa depanmu), bosan-capek-lelah-konflik (kamu tahu kalau perasaan itu seperti cokelat, semanis apapun rasanya, dasarnya rasa cokelat adalah pahit), berakhir (risau datang padamu dalam beberapa minggu – atau mungkin hanya beberapa hari, sebelum kamu kembali jatuh pada tahap pertama, berulang lagi). Aku hanya ingin berkata, bukankah sebongkah rasa itu begitu mengerikan? Walau kadarnya sedikit saja, ia mampu membuatmu tidak tidur seharian, menganggu pekerjaanmu sepanjang waktu, dan mempengaruhi suasana hati, bahkan mampu membunuhmu. Itu yang persisnya terjadi di antara kamu dan aku, yang kamu tak tahu. Kira-kira jadinya seperti; aku bersikeras mengatakan rasa ini adalah cinta, padahal ini wujud lain dari luka.
“Kita saling berlomba siapa yang terlihat tidak peduli, dan aku jatuh berkali-kali. Aku bukan peserta yang baik dalam kontes semacam ini, jadilah kita memperlakukan rindu tanpa temu, selain prasangka-prasangka yang sama sekali tak membantu.”
Hari-hariku tak pernah lagi sama. Empat puluh empat hari sejak hari pertama aku berbagi rahasia, kamu tak ada – kamu sedang menjemur diri di suatu pantai, duduk di bar salah sebuah kafe, atau mungkin memesan kamar hotel. Sedangkan, aku tak tahu harus pergi ke mana, karena hanya padamu aku menitipkan cerita-cerita. Aku berdarah, dan kita tak pernah tahu bagaimana rasanya sekantung teh sebelum mencelupkannya ke dalam teko berisi air panas. Sama seperti perempuan, kamu tak akan sadar seberapa besar tangguhnya setelah ia dihadapkan pada masa yang begitu sulit. Kamu tak ada – lupakan semua kalimatmu yang bilang ada dalam suka-duka.
Darimu, “aku ingin bertemu”. Lalu, hanya keinginan – ia menjelma seperti janji-janji yang bisa kamu temui di poster-poster jual diri masa kampanye; yang tak tergenapi, menggunakan silat kata untuk menggaetmu. Kamu tak mencintai seseorang hanya karena ingin. Kamu bukan hanya mengucapkan ‘ingin’ untuk makan, tapi ‘butuh’ dan mengiringinya dengan tindakan, sebab aktivitas itu membuatmu tetap hidup. Terkadang, tulisan mampu berakhir menyedihkan begitu juga akhir cerita roman, aku menemukannya padamu. Perlahan, aku tak pernah lagi meminta sebuah temu dan luang waktumu. Ada sibuk yang lebih menderamu, dan aku pun paham, aku memang bukan (dan sesungguhnya tak pernah menjadi) bagian dari rencana pentingmu. Lagipula, seperti yang sering kubisikkan, aku tak lebih dari sekadar tukang bercerita yang menjajakan kenangan untuk hidup, yang mengandalkan masa lalu untuk berjualan, dan yang memulung kata-kata sebagai kegiatan sehari-harinya. Kamu menjadikannya bagai kompetisi, dan aku mengundurkan diri.
Aku berubah. Sejak berusaha mengerti mengapa bunga dan duri bisa hidup dalam satu batang. 
Terkadang, seseorang bukan berupaya mengerti, ia hanya sudah cukup untuk tidak peduli. 
Sebab, terlalu banyak janji-janji, yang hilirnya menyakiti. Tidak hanya sekali, ia menubi dan akhirnya sudah tuli untuk menerimanya lagi ke dalam ruang hati.
Klandestin, aku menemukannya pertama kali pada salah satu album foto bahasa di akun media sosial seseorang. Ketika kucari tahu maknanya di kamus, ia berarti tersembunyi, diam-diam. Dan, klandestin adalah buku bersampul cokelat yang kutulis-tangan, yang harusnya kuberikan padamu dan tak pernah sampai pada akhirnya. Ia sudah gugur – tertahan – bahkan sebelum ia sempat kamu ketahui.
buku bersampul cokelat itu, sudah sepia
Apa kamu ingat, aku pernah bilang, ingin memberimu sesuatu – tapi itu perlu waktu, asal kamu sabar menunggu, ini akan jadi hal manis yang pernah kubuat dalam hidupku. Aku berharap kuserahkan ini pada seseorang yang tepat adalah kamu. Tapi, ini berubah menjadi monster yang menyakitiku tiap malam, bagian lain dari mimpi burukku – sebab kamu menunjukkan padaku bagaimana cara mengucapkan selamat tinggal. Bahwa bisa saja, ini adalah permainan. Dan, aku menjadi pemain yang begitu serius, sampai lupa kalau permainan bukanlah yang nyata – ia adalah sebentuk hiburan yang diciptakan karena lelahnya kita memutar-mutari rasa.

NB.
Andai kamu tahu, tulisan ini  untukmu dan ditulis setahun lalu. Ketika aku sedang mempersiapkan cara melakonkan selamat tinggal. Tapi kamu datang, kamu jadi alasan segalanya hidup dan menyala. Dan, sekarang, aku sedang berusaha menyusun epitaf dan eulogi untuk kisah berdua. Tak apa ini tentang obituari, asalkan akhirnya kedua tokohnya hidup bahagia - bukankah kita sepakat fatamorgana adalah salah satu deskripsi untuk dunia yang bagai sepintas kedip mata.

0 Comments:

Post a Comment