Friday 13 May 2016

Ingatan-ingatan yang Tak Punya Suara


Pikiran ini berdiri di depan, menyodorkan diri di ruang kepala, ketika aku mengulang kebiasaanku duduk di ruang tamu rumah dengan kondisi lampu redup, dan radio peninggalan marhum kakek yang kubiarkan menyala tiap pukul sepuluh malam. Aku hampir tak pernah mengubah saluran, tetap pada frekuensi yang sama selama kurang lebih setahunan belakangan. Karenanya, aku mengenali daftar lagu yang kerap diputar menjelang tengah malam; itu lantunan pengantar tidur, ritmenya tidak lagi mengajak tubuh beranjak, melainkan pelan-pelan masuk ke relung terdalammu berbisik ini saatnya memeluk diri sendiri di balik selimut hangat atau menjadikan seseorang teman tidurmu sebagai guling hingga pagi. Lampu-lampu yang menemani malam pun punya karakter berbeda – ia lebih remang di kamar, atau hanya sendiri yang menyala di teras. Lalu, kembali lagi: pikiran ini muncul. 
sumber gambar: playbuzz.com
Via telepon, kau bertanya pikiran semacam apa. Di seberang sana, kudengar suara berisik yang tak bisa kutebak dari mana dan apa. Kau bilang, suara-suara itu bisa menjelma jadi makna yang berbeda tergantung bagaimana suasana hatiku sekarang, sebagaimana kebiasaanku menafsirkan malam. “Kalau kau sedang diperangkan ragu, kau akan berpikir aku tengah di sebuah bar dengan band-band indie yang menggelar pertunjukkan perdananya, dan tambahan perempuan-perempuan yang mungkin mencoba mengajakku mengobrol. Kalau kau tengah mengantuk, kau tidak terlalu hirau dan menganggap ini hanya suara dari orkestra jalanan; paduan klakson kendaraan dan teriakkan orang-orang yang tidak sabar. Kalau kau tengah – “ aku memotongnya cepat, “Kalau aku tidak sedang dan tengah untuk apa-apa, bagaimana?”
Jeda cukup lama di sana sebelum kau menyahut. 
Nadamu kali ini terdengar selaras dengan sunyi yang mengumpulkan diri, “Kau akan menganggap suara-suara itu datangnya dari gesekan dahan pohon ke sebuah gedung yang sudah berjam-jam lamanya ditinggal pulang para pekerjanya.” 
Aku menutup teleponmu. Beranjak dari ruang tengah menuju selasar rumah. Jangkrik-jangkrik tengah berpora di antara semak-semak – aku selalu merasa malam tak pernah lengkap tanpa derik mereka. Memang begitu – malam menjadi malam bukan sekadar karena matahari meninggalkannya sebentar.
Dering telepon kembali berbunyi. Namamu tertera di sana. Aku menjawabnya pada dering pertama. Tanpa halo. “Aku berpikir untuk tidak memikirkan apa-apa.” Kau diam, hanya napasmu yang mengisi kosongnya kita berdua. 
“Paradoks. Kau hanya butuh menyuntingnya saja,” jawabmu, lagi-lagi menyatu dengan sunyi.
Tak ada percakapan setelahnya. Kamu mengakhiri panggilan tanpa da-da-da. Aku melempar ponselku ke tengah jalan. Aku berpikir apakah air mata punya suara ketika ia jatuh. Aku berpikir bukan suasana hati yang menerjemahkan makna suara-suara pada ruang pikir masing-masing, melainkan tentang suara siapa yang tengah bicara; di seberang sana, yang mampu memengaruhi bagaimana hati menciptakan rasa. Aku berpikir mengenai banyak hal. Banyak hal, tentang kamu.
Tapi mereka; pikiran-pikiran itu – kerap tak punya suara untuk bicara.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment