Thursday 23 August 2018

Pergi Bermain dengan Teman yang Hanya Bisa Kau dan Aku Lihat


Kita masih mengelilingi kota seusai menonton film yang kubilang berhasil mengajak anak kecil dalam diriku untuk keluar dan bermain. Jalanan lenggang, di pinggiran hanya tersisa satu-dua gerobak jajanan pasar berlampu minyak yang masih menyala. Pintu-pintu pertokoan tertutup rapat, digantungi sampah plastik yang berusaha diraih kucing-kucing jalanan yang masih kelaparan. Aku membungkus pandanganku dan mengalihkannya pada kau yang masih menyetir. Bagaimana kau saat kanak-kanak?
sumber foto: Favim.com

Kau melirikku dari sudut mata. Tak menjawab. Kau hanya menepi ke arah gerobak yang menjual telur gulung. Kita turun. Kau memesan dua porsi dan aku menarik bangku plastik yang ditumpuk dua. Kita duduk menghadap sebuah gedung kuliner yang tubuh putihnya mengelupas dan papan-papan nama restorannya menghitam.
“Aku saat kanak-kanak? Bertanya kenapa bulan mengikuti kemana pun aku pergi. Kenapa pohon-pohon di pinggir jalan tampak berlari ke belakang tiap kali mobil yang kutumpangi melaju cepat. Bangun pagi di hari Minggu demi kartun-kartun subuh, sebelum kemudian tertidur kembali jelang makan siang. Mengupil dan menempeli tumpukan upil ke baju mama. Mengisi kardus kosong hingga cukup kuat untuk kulompati sebagai superman. Menyukai dongeng tentang kelinci yang suka buang besar dan kotornya menggunung. Menjahili anjing tetangga. Bagaimana denganmu?”
Kau tertawa kecil. Lalu beranjak mengambil dua porsi telur gulung hangat yang sudah selesai. Kau celupi dengan saos cabai  yang banyak. Cerita kau mengingatkanku pada aku kecil dulu dan aku sekarang – ada jarak yang begitu jauh dan waktu yang tampak lama hingga aku merasa asing pada diri sendiri.

Aku mengoleksi ratusan boneka, percaya mereka semua hidup. Dan, aku berbicara pada mereka. Aku mengumpulkan daun kering, memetik bunga liar, dan mengambil sisa-sisa sayuran tak terpakai, meraciknya jadi makanan lezat bak tukang nasi langganan. Aku jajan banyak cemilan hanya untuk mengumpulkan kartu-kartu hadiah. Aku menggambar tokoh-tokoh kartun dan menggandakannya di tukang fotokopi, menjilidnya jadi buku mewarnai. Aku –

“...melakukan hal-hal yang bisa kau tebak, tak bisa lagi kulakukan sekarang.”

Dadaku sesak. Kau meraih tanganku.


“Kau tahu bagian apa yang paling kusuka dari Christopher Robin?
Aku menggeleng.
“Percakapan Robin dengan Pooh di akhir cerita. Ketika Pooh bertanya, ‘ini hari apa?', dan Robin berpikir sejenak sebelum menjawab, ‘hari ini, Pooh’. Lalu, Pooh semringah, ‘Aku suka hari ini, karena sulit bagiku ketika hari ini adalah hari esok’.”
Kau menghabiskan tusuk terakhir telur gulungmu. 
“Percakapan itu seakan bicara padamu, hal terbaik ketika menjalani hari adalah kau menjalani hari ini tanpa berpikir soal hari esok. Kau hadir sepenuhnya sekarang. Kupikir itu yang dilakukan setiap hari oleh anak-anak. Dan, salah satu yang masih bisa kau dan aku lakukan.”
Malam itu, kau dan aku tidak pulang. Lupa hari itu hari apa selain hari itu sendiri. Kita sepakat jadi anak-anak yang membohongi mama-papa akan segera tidur, tapi ketika sakelar lampu dimatikan, kita menyibak selimut dan melompati jendela kamar untuk mulai bertualang bersama teman yang hanya bisa kau dan aku lihat.

This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment