Monday 28 December 2020

Di Sini, Bulan Selalu Tampak Sabit

Ponselku yang berdering kencang di atas nakas membangunkan tidurku yang patah-patah sepanjang malam. Dari luar kamar kudengar suara air dijerang bersamaan gesekan piring yang kemudian diikuti kokok ayam tetangga. Aku berusaha bangkit dari kasur sembari mencari-cari suara lain di antara berisik pagi: kicau burung, lagu Mandarin, hingga sepotong pertanyaan ‘mau sarapan nasi uduk lima ribu lagi?’. Namun setajam apapun aku mendengar, suara-suara itu sudah lesap sama sekali. Pagi tak pernah terasa seasing ini.

Sumber foto: Tumblr

Kupaksakan diri melangkah keluar dan menghadapi pemandangan serupa selama bertahun-tahun, tapi baru belakangan ini hal-hal biasa terasa begitu memutus asa. Aku tak pernah membayangkan bagaimana kotak-kotak obat yang kosong, mug putih berisi ampas kopi kering dengan cecak mati didalamnya, hingga sofa hitam yang mendingin, mampu menyakitiku sebegitu jauhnya.

Kau tahu? Setiap hari kau dan aku mengalami kehilangan. Kau lupa di mana menaruh kunci motor, buku favorit yang lupa dikembalikan seorang teman, sahabat yang berpindah kota, hingga kekasih yang sudah lama menjadi masa lalu. Sampai kupikir kita memang hidup akrab dengan kehilangan-kehilangan sederhana untuk melatih diri menghadapi kehilangan lebih besar. Namun nyatanya, masih tak pernah mudah. Terlebih ketika kau tahu, ini jenis kehilangan yang tak punya buku manual cara menambalnya.

“Cepat mandi. Jam sembilan kamu sudah harus berangkat sebelum siang dan antrean lebih panjang di kantor capil!” seruan dari balik dapur membuyarkan lamunanku. Aku segera menyambar handuk dan baju ganti dari lemari. Mandi sekilat mungkin dan sesudahnya aku diam-diam memasuki kamar yang berusaha kuhindari sekaligus kurindui.

Di dalam kamar yang kini akan kosong selamanya itu – aku duduk pelan-pelan sekali di ujung kasurnya. Telapak tanganku meraba permukaan kasur bersprei biru dengan motif bunga Daisy itu. Mataku terpejam dan teringat bagaimana dulu, di sini ada tubuh yang sering kuguncang tiap pagi untuk memintanya mengantarku ke mana saja. Motor sederhananya adalah pintu Doraemon bagiku.

“Papa, dulu kau sering tanyakan padaku apakah aku akan menangis ketika kau tiada? Rasanya seperti menjadi sepeda yang kehilangan salah satu rodanya, Pa. Si sepeda masih bisa diajak berkendara walau sangat berat karena membutuhkan tenaga lebih untuk menyeretnya. Lalu, perlahan si sepeda akan membiasakan diri dengan satu roda walau keseimbangannya tak pernah sesempurna sebelumnya. Sejak itu, Pa, bulan selalu tampak sabit, waktu berjalan ganjil, dan aku menjadi pincang.”

28.12.20 – 19.38 pm

Tangerang


1 comment: