Monday 30 June 2014

Beautiful You

Di ruang pertemuan kita – yang berbentuk kotak, kadang kala dinding ruangnya hanya putih vanilla, lalu kamu menggantinya dengan warna krem bermotif daun gugur atau merah muda dengan motif daun hati, di sanalah, sekitar pukul sepuluh malam hingga satu pagi, kita bertemu. Kamu menggoreng telur, aku juga – kita sama-sama mencoba melakukan banyak hal konyol hingga tertawa guling-guling bersama di lantai. Tapi kita juga bisa larut dalam keseriusan, yang membuat kedua mata kita saling menatap lurus, fokus dan berbicara. Kita biarkan lagu bersenandung melawan rayapan sunyi. Kita izinkan radio berkicau membelah sergapan bisu. Dan, perbincangan kita pun meluap ke permukaan tubuh malam.
“Aku tidak pernah merasa menjadi ‘seseorang’ ataupun ‘sesuatu’. Kutengok rekam jejak kawanku di waktu lampau hingga kini; mereka mampu mengatasi kekurangan, lantas menambalnya edngan segudang prestasi yang teruji saat ini. Sedang aku, tetap di sini berdiri – aku berjalan tapi seolah tidak melangkah. Aku juga merasa tidak layak disebut cantik; aku tak pernah berkenalan dengan alat-alat make up, mennggunakannya apalagi. Hey, lihatlah wajahku yang persegi, tidak menarik ‘tuk diutak-atik,” ujarmu padaku kala itu, telur goreng yang kamu buat sudah mendingin – dicicipi oleh nafas malam. Kujuga lihat manik mata hitam indahmu mendingin, tidak padaku, bukan juga pada gelantungan bintang, tapi pada siluet bayangmu di cermin.
Sahabatku, di sini, di antara kata-kata yang berusaha menyuarakan pada sunyi jika sunyi tidak melulu dihuni sepi dan hening, tapi juga ada ‘suara’ yang begitu keras berteriak padamu. Di sini, sahabatku, bersama kalimat-kalimat yang saling menyusun agar bermuara pada paragraf yang bersua untukmu. Untuk satu hal sederhana yang selama ini sembunyi dan tenggelam oleh belatu-belati yang menusuk benteng hatimu, bahwa kamu …
Kamu adalah sahabatku yang istimewa – pernah kukatakan padamu; jika menjadi sahabatmu adalah hal indah yang pernah ada. Kukatakan kamu istimewa, sebab, kita tidak pernah benar-benar duduk berdua menebak rasi bintang atau membaca konstelasi, namun aku bisa merasakan hangat pelukanmu, rangkulan sayangmu, semangat saranmu hingga ciuman selamat tidurmu – walau kita jauhnya ribuan kilometer. Bahkan, bisa kusentuh aroma telur yang kamu goreng di ruang pertemuan kita hingga tawa manismu yang masih jumpalitan di telingaku. Sebab itulah kamu, jika bukan dirimu – tak ada lagi yang istimewa.
Kamu adalah (calon) seniman, aku memercayai dan meyakini itu – dan kamu juga harus. Aku ingat, kamu menggambar dan sesekali memotret, saat kutanya mengapa; kuingat jawabmu padaku. Karena kamu menyukainya, karena ada yang ingin kamu sampaikan lewat gores tinta dan lensa kamera, dan satu yang terpenting, kamu bahagia ketika melakukannya. Tanpa kamu tahu, itulah seniman sejati – mencipta seluruh karyanya dengan hati yang sejati dan bahagia.
Kamu adalah unik. Karena kamu tidak cantik lewat poles make up. Kamu cantik karena kamu adalah karya seni terbaik Tuhan yang pernah dicipta-Nya. Karena kamu tidak manis lewat operasi plastik. Kamu manis karena kamu terus tersenyum sampai hari ini dan merangkul kawna-kawanmu. Karena kamu tidak cantik dan manis lewat apa pun itu – barang bermerek, perawatan mahal hingga menyewa stylist ternama. Kamu manis dan cantik karena menjadi dirimu sendiri.
Kamu cantik ketika menjadi siapa dirimu. God made you without mistake, you’re not a beauty queen, cause you’re just beautiful to being you. And, for me, your inner beauty has defeated all the make up things we can wear.
Kamu manis ketika tersenyum – because, the best make up girls can wear is SMILE. And, for me, the best smile is YOU.
Kamu sempurna ketika kamu tahu apa yang menjadi ketidaksempurnaanmu – because, you’re perfect in your imperfection. And, for me, the best perfection of you is when God loves you perfectly.
Dan, adalah istimewa menjadi kamu. Dirimu sendiri. Diriku sendiri. Diri kita sendiri. Kita cantik.

Teruntuk sahabat the best one-ku, AlbertaAngela. We’re awesome and we know it, right?
This entry was posted in

Saturday 28 June 2014

Antara Imajinasi dan Selera 'Kompas'

"…kita membutuhkan relasi yang intim antara penulis dengan tulisannya.” – Putu Fajar Arcana
Editor cerpen Kompas Minggu, Bli Putu Fajar Arcana turut mengisi materi workshop pelatihan menulis cerpen harian Kompas (25/6 – Gd. Kompas Gramedia Palmerah Selatan). Putu Fajar Arcana mengawalinya dengan memutar salah satu musik klasik yang dimainkan dengan biola, lewat laptop beliau. Lampu-lampu di ruangan pun dimatikan, kami semua diminta untuk merilekskan diri dan menenangkan pikiran – meresapi denting-denting nada. Cukup lama, sekitar lima belas setelahnya, Putu Fajar Arcana pun mematikan musik dan menyalakan lampu ruangan. Kami semua diminta untuk menuliskan apa yang kami pikirkan dan rasakan seusai mendengar music tersebut dalam waktu lima menit – singkat saja, dalam satu paragraf. Aku sendiri menulis apa yang tegrambar di benakku ketika mendangr music klasik itu :
Aku merasa terlempar di antara setubuh sunyi dan gelap. Seolah menjadi seorang perempuan yang menyimpan kekasihnya yang sudah meninggal dalam kamar bertikus tanpa cahaya dengan bau apak yang bersarang di dalamnya. Lalu, aku duduk menantang purnama sembari memejamkan mata, menikmati tubuh kekasihku sendiri membusuk dan telah jadi tulang belulang, perlahan mati bersamanya.
Tanpa diberi jeda yang lama, Putu Fajar Arcana tiba-tiba membagikan sobekan koran Kompas dari kolom ekonomi. Sobekan yang hanya sebesar setengah telapak tangan itu dibagikan ke tiap-tiappeserta – masing-masing kami mendapat satu sobekan kertas. Mengejutkannya, kami disuurh untuk memilih sepuluh kata yang ada di sobekkan koran itu – apa saja dan tanpa banyak pikir, untuk kemudian disusun menjadi satu kalimat utuh/ paragraph singkat. Inilah sepuluh kata yang kupilih dari sobekan kertas koran dan kususun paragrafnya: (lagi-lagi, dalam waktu lima menit)
 Masalah
Permintaan
Terhambat
Diperhatikan
Saya
Kelangkaan
Ketidakpedulian
Pertama-tama
Terpenuhi
Menyatakan
Ceritanya: (dari sobekan koran)
Saya merasa permintaan padanya untuk terus menungguku serasa terhambat. Sebab, di ruang hatinya sudah disesaki ketidakpedulian dan kelangkaan akan cinta. Pertama-tama, ia menyatakan jika menungguku adalah sebuah masalah.  Sebuah permintaan yang tak mungkin terpenuhi, karena katanya, saya hanyalah perempuan di tepian jalan yang tak layak untuk diperhatikan.
Setelahnya, kami juga diminta menggabungkan kedua paragraph (dari yang music ke sobekan koran). Baru setelahnya kami membacakan hasil gabungan keduanya, yang nantinya dikomentari oleh Putu Fajar Arcana.
“Maksud dari latihan ini adalah agar kita tahu, jikalau ide itu bisa didapat hanya dengan mendengar sebuah lagu/music dan bahkan dari sobekan kertas koran. Buktinya, semua bisa menghasilkan cerita dari keduanya bukan? Teknik latihan ini diterapkan dari kelas creative writing di universitas di Iowa, Amerika Serikat, dan terbukti ampuh,” ujar Putu Fajar Arcana dengan ramah pada kami semua.
Bukan hanya latihan, Putu Fajar Arcana pun tak melewatkan tips-tips untuk para cerpenis yang ingin karyanya dimuat Kompas.
1.      Mengangkat problem cultural
Akhir-akhir ini jika kita membaca cerpen-cerpen yang termuat di Kompas Minggu, lebih banyak mengangkat permasalahan di daerah-daerah. Tidak hanya terpaku pada ibu kota – Jakarta dan Jawa. Hal-hal yang kedaerahan dan lokalitas sangatlah disukai, sebab itu memberi tempat untuk pluralism.
2.      Temukan gaya menulis sendiri & orisinalitas
Banyak cerpenis-cerpenis di Kompas yang bisa dikenali dengan gaya menulisnya. Seperti Seno dengan senjanya dan Agus Noor dengan kunang-kunangnya. Coba temukan yang menjadi khas diri kita sendiri dibanding harus mengikuti penulis lain. Untuk sekarang, Kompas meminati setting-setting di pantai.
3.      Ejaan di kalimat pertama
Bagi Putu Fajar Arcana, jika cerpenis yang mengirimi Kompas dengan karyanya yang salah eja di kalimat pertama, itu adalah karya pertama yang akan dibuang Putu Fajar Arcana. Maka, usahakan jangan sampai ada kesalahan pengetikkan, EYD atau kekeliruan dalam pengejaan, terutama di kalimat pertama.
“Sebab, itu menunjukkan bagaimana seorang cerpenis menghormati bahasa.”
Seusai memberi tiga tips kilat tersebut pada kami semua, bli Putu Fajar Arcana juga mengingatkan kami betapa pentingnya imajinasi dan keterampilan. Menurut beliau, tanpa imajinasi, hidup ini kering. Juga, seorang cerpenis haruslah punya keterampilan, sederhananya; keterampilan untuk membuat kalimat pertama yang menarik. Beliau juga sedikit bercerita tentang proses kepenulisan beliau, beliau jarang sekali bisa fokus menulis di kantor Kompas – beliau lebih suka menulis tentang review kesenian dan pertunjukkan di sebuah ruang tenang bersama lantunan musik-musik klasik; maka kami pun diminta untuk menemukam jam/waktu produktif kami.
Sesi bersama bli Putu Fajar Arcana tidak terlalu lama – hanya satu setengah jam, sebelum akhirnya kami digiring ke Bentara Budaya Jakarta untuk menghadiri malam penganugerahan cerpen terbaik pilihan Kompas 2013 yang akhirnya jatuh pada cerpenis Intan Paramditha dengan karyanya yang berjudul ‘Klub Solidaritas Suami Hilang’.
Segmen bersama Putu Fajar Arcana yang singkat namun padat. Terima kasih, Bli!
This entry was posted in

Friday 27 June 2014

Praktek Imajinasi, Kerja Nyata


“…teknik menulis itu bisa dipelajari, yang berbeda dan penting adalah sikap/pribadi kita dalam memandang hidup. Budi Darma menyebutnya sebagai obsesi.” 
– Agus Noor

Segmen kedua dalam workshop cerpen Kompas yang diselenggarakan nonstop dari pagi hingga sore itu (25/6) di Gedung Kompas Gramedia Palmerah Selatan itu, diisi oleh sastrawan Agus Noor. Berbeda dengan permateri sebelumnya, Agus Noor membuka sesi kedua dengan power point dan sebuah papan tulis. Agus Noor meraih sebuah spidol hitam dan menulisi papan tulis putih dengan sebuah kata ‘rumah’, dan kami diminta untuk menyebutkan hal pertama yang terlintas di pikiran ketika mendengar kata ‘rumah’. Mulai dari sederetan kata seperti keluarga, kehangatan, penjara, peraturan hingga kuburan pun disebut. Agus Noor mulai meminta kami untuk menjelaskannya, salah satunya aku; yang menjawab kuburan.
“Kenapa kuburan?”
“Jika Agus Noor tadi bilang, sebagai seorang penulis haruslah punya pandangan hidup, maka saya memandag hidup ini sebagai stasiun penyinggahan sementara. ‘Rumah’ sebenarnya adalah kuburan – rumah pengistirahatan kita.”
“Oke, itu berarti kamu punya cerita!” ujar Agus Noor mantap sambil menunjuk ke arahku, Agus Noor pun kembali melanjutkan,
“Bagi gue, rumah mengingatkan gue pada tikus-tikus. Di sebuah rumah tua nan gelap yang dihuni oleh seorang paruh baya yang memiliki penyakit – yang membuatnya ditinggal orang-orang di sekitarnya. Orang paruh baya itu akhirnya mati di bangku tuanya, dengan sepotong keju di kaki bangku itu – keju yang dimakan tikus-tikus. Ini mengartikan jika si orang paruh baya itu merelakan makanan satu-satunya yang ia punya (keju) pada tikus-tikus di rumah itu,” ujar Agus Noor sembari berjalan ke tengah-tengah kami. Beliau pun kembali menyambung ucapannya,
“Bisa kita lihat sendiri, dari sebuah kata ‘rumah’ saja, kita mendapati pikiran-pikiran yang berbeda – mulia dari penjara, peraturan, kuburan dll. Apa yang membuatnya berbeda dan memicu orisinalitas? Pandangan hidup!”
Agus Noor yang siang itu mengenakan kaus ketat kelabu, celana panjang hitam yang dipadukan dengan sepatu boots berwarna krem, mulai menjelaskan makna dibalik perkataannya tadi.
“Kenapa gue bilang tiap penulis harus punya pandangan hidup, dikarenakan pandangan hidup Anda dengan sendirinya akan menuntun Anda menuju kreativitas – menemukan hal-hal yang tidak terpikirkan oleh orang lain, membuat Anda berbeda. Jika ditanya apa pandangan hidup gue? Bagi gue, hidup itu ironi, penuh keganjilan. Absurd-absurd itulah selera gue,” timpal Agus Noor tegas.
Tak hanya mendesak kami untuk memiliki pandangan hidup, Agus Noor juga memberi barisan tips untuk menembus media koran terutama Kompas. “Gini, gue tahu harapan lo semua. Habis dari workshop ini, impian lo pastinya pulang ke rumah, nulis dan nembus Kompas? Biar gue kasih tahu caranya,” ujar Agus Noor seraya tertawa, yang tanpa dikomando, kami semua turut larut dalam tawa. Berikut tips (berharga nan eksklusif, hihi) dari Agus Noor :
1.      1. Cerpen haruslah punya nilai/prinsip (Agus Noor menyebut nilai/prinsip sebagai value cerita)
Hal mendasar yang membuat cerita memiliki value adalah ketika si penulis mempunyai prinsip dasar dalam hidup. Contohnya saja Agus Noor sendiri yang bergelut dengan ironi-ironi dan absurditas, sekarang ini beliau tengah terobsesi dengan anjing. Agus Noor memiliki prinsip dasar hidup yakni ironi, maka Agus Noor mengolah cerita tentang seekor anjing dan seorang gadis jelita dalam kemasan yang ironi (ketika mengisahkan contoh ironi ini, Agus Noor memerlihatkan satu cerpennya yang belum rampung pada kami semua – yang apabila ingin ditulis di blog ini akan sangat panjang). 
2.      Mendisiplinkan diri
Ini adalah fakta yang membuatku dan peserta lain ternganga.  Agus Noor mendisiplinkan dirinya dalam menulis dengan wajib kudu harus menulis setiap harinya dengan waktu 7 – 9 jam. Agus Noor menulis banyak hal – beliau menulis ketika mendapati potret-potret instagram, foto di instagram itu dibuatnya sebagai cerita. Ide cerita mengenai ironi-ironi dalam cerpen-cerpennya sebagian besar terinspirasi dari berita-berita unik di kolom Kilas Kawat Internasional yang ada di koran Kompas. Banyak hal unik, tidak masuk akal, absurd dan unik di kolom tersebut, yang diolah bersama kreativitas Agus Noor, lalu terciptalah sebua cerpen-cerpen abusrd penuh ironi. Agus Noor bahkan sampai meng-kliping kolom Kilasan Kawat Internasional tersebut dalam buku note sedangnya yang berkaver hitam.
“Mendisiplinkan diri sangatlah penting agar tulisan bisa selesai. Gue sendiri, dalam sebulan harus bisa jadi lima cerpen, mau itu jadi atau gak. Yang terpenting adalah kalian ‘menghasilkan’! Tahukah kalian, Christiano Ronaldo, sebelum ia jadi pemain seepak bola sehebat sekarang, dulunya latihan menendang bola saja butuh wkatu hingga delapan jam. Contoh lain, Arswendo, di rumahnya dulu ada empat mesin tik yang dipakai beliau bergantian untuk menulis cerita, hingga menghasilkan karya Senopati Pamungkas.” 
3.      Bahasa menarik saat kalimat pertama
Menurut Agus Noor, kalimat pertama dalam cerita bukanlah benar-benar ‘kalimat pertama’ yang dimaksud. Kalimat pertama juga bisa diartikan, paragraph pertama yang menarik. Dan, mengenai kalimat pertama yang menarik ini, Agus Noor punya ciri khas tersendiri. Beliau paling suka mencatat kalimat-kalimat yang terlintas di ruang pikirnya kapan pun – bahkan saat di kamar mandi, menunggu kendaraan dan lain-lain, dengan cepat beliau menulisnya di note ponsel.
“Zaman sekarang sudah canggih, kalimat pertama bisa terlintas dimana saja dan ditulis di note smartphone. Contohnya kalimat pertama saya nih,” ujar Agus Noor sambil mengeluarkan ponsel layar sentuhnya dari saku celana.
“…keadilan lebih mudah didapat ketika berada di luar pengadilan. Bagus bukan? Gue jamin habis ini pasti langsung nge-tweet kalimat gue tadi, hehe. Gue juga kadang bingung, wuih, bisa ya gue nulis kalimat kayak gini hahahaha,” seloroh Agus Noor mengundang tawa kami yang memenuhi ruang workshop. Agus Noor bisa ngelucu juga ya (masih ngakak sampai sekarang tiap inget ini) 
4.      Jangan terpaku dengan teknik
Jika pada segmen pertama, Seno lebih menitik beratkan pada teori dan teknik kepenulisan, Agus Noor di sesinya sendiri mengungkapan, teknik jangan dijadikan topangan dasar. Teknik itu bisa didapat dengan sendirinya ketika kita jatuh dan bangkit dari kegagalan, begitu menurut beliau.
“Gini ya, gue kasih contoh sederhannya. Kayak kita belajar naik sepeda, ada yang bilang: teknik naik sepdu tuh, dua tangan memegang setang,satu kaki di pedal sepeda, satunya lagi untuk menahan keseimbang. Gue kasih tahu ya, itu semua preketteeeeeek! Cara naik sepeda itu ya, tinggal naik dan gowes! Masalah nantinya bakal jatuh? Ya, jatuh aja. Itu bagian dari belajar. Bagian dari menemukan teknik! Sama kayak nulis, ga usah banyak teori dan teknik ini-itu, yang penting langsung nulis aja.”
Terlepas dari empat tips dari Agus Noor di atas, Agus Noor juga sempat menanyakan kami di awal pembukaan segmen-nya, apakah arti menulis bagi kami semua. Karena penting bagi seorang penulis untuk punya motivasi dan alasan. Menurut Agus Noor, jika penulis ingin menulis dengan alasan terkenal, maka menulislah seperti Andrea Hirata, menulislah tema-tema yang disukai pasaran dan membuat terkenal. Semua motivasi itu adalah sah.
“Untuk gue, menulis adalah cara gue menyelamatkan diri dari kegilaan. Kadang, ide gila gue suka muncul tak terduga, misalnya saja saat melihat seorang bayi yang tertidur pulas, pengen rasanya gue masukkin sesuatu ke hidungnya, hahaha. Nah, dengan menulis, gue bisa menyalurkan kegilaan gue dan menyelamatkan gue dari tindakan gila itu. Beda lagi dengan Budi Darma, beliau menganggap dunia ini jurngkir balik, itu yang memotivasi beliau.”
Berkali-kali, tiap kali Agus Noor membuka suara dan argumen, rasanya hampir sesering itu jugalah kami mengangguk-angguk dengan pandang takjub pada beliau. Selepas materi dan tips-tips keren yang diberitahukan beliau, Agus Noor pun membuka sesi praktek.
“Jangan cuma ngomong mau nulis, harus bilang ‘sedang menulis’. Makanya, ayo praktek!” ucap Agus Noor dengan semangat. Beliau membagian kartu remi pada kami semua, meminta kami untuk menulis sebuah kata – apa saja itu di atas kartu remi itu. Lalu, sekumpulan kartu remi tersebut dikembalikan ke Agus Noor, beliau mengocoknya dan menyuruh kami untuk memlih tiga kartu remi secara acak. Maka, kami juga mendapat tiga kata dari tiga kartu remi itu. Tugas prakteknya, adalah menyusun sebuah cerita singkat dari tiga kata di tiga kartu remi yang kami pilih dalam waktu dua puluh menit (Agus Noor sendiri juga ikut memilih tiga kartu remi – dan hanya dalam waktu kurang dari 20 menit saja, beliau sudah selesai mengetik ceritanya). Setelah jadi, cerita singkat kami akan dibedah oleh Agus Noor.
Aku sendiri mendapat tiga kata; malampati, tompel dan denyar-denyar. Untuk melihat cerita yang kubuat kala itu klik disini.
Sama seperti segmen milik Seno, workshop dengan tema ‘Praktek Imajinasi, Kerja Nyata’-nya Agus Noor pun berakhir dengan sesi selfie bersama dan book signing. Tak hanya itu, walau sudah dinyatakan waktu istirahat, masih saja banyak peserta yang mengerumuni Agus Noor dan bertanya banyak hal – dan tentu saja, Agus Noor kembali memberi ilmunya. Tips terakhirnya adalah,
“Baca deh tagline Kompas; amanat hati nurani rakyat. Maka bisa dikatakan, cerpen-cerpen Kompas adalah tulisan yang memiliki keberpihakkan pada kebenaran,” ujarnya sembari mengakhiri sesi sharing bersama saat itu.

Tentang Agus Noor
Tahun 1987, cerpennya ‘Kecoa’ muncul di Kompas pertama kali, dan sejak itu cerpen-cerpennya kerap dimuat Kompas Minggu. Cerpennya ‘Peang’ masuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas yang ketiga dan sejak itu cerpennya nyaris selalu masuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas. Cerpennya ‘Kunang-kunang di Langit Jakarta’ bersanding dengan ‘Salawat Dedaunan’ (Yanusa Nugroho) menjadi cerpen terbaik Kompas 2012. Sudah banyak menerima penghargaan sastra di Indonesia. Lebih dari empat tahun ia juga menulis skrip Sentilan Sentilun produksi program televisi di Metro Tv. Sedang menyiapkan dua buku barunya yang berjudul Cerita buat Para Kekasih dan Kitab Ranjang.

This entry was posted in

Tentang Monyet dan Tikus yang Lewat Depanku


Aku duduk dipayungi denyar lampu kota dengan melihat tikus-tikus bermobil yang baru saja melewatiku. Monyet-monyet berjam tangan dengan tas-tas belanjaannya berlalu-lalang melewatiku. Tak seorang pun menyinggahi sepasang matanya padaku. Memang dasar monyet-monyet dan tikus-tikus itu! Mereka kira aku bukan bagian dari mereka; pipiku yang bertompel hitam besar dan lidahku yang meninggi itu, membuatku menjadi berbeda.
Si tikus-tikus berkendaraan motor berpura-pura tidak tahu jika aku tengah duduk di tepian jalan, menyetubuhi debu dan asap kendaraan milik mereka tiap harinya. Mereka terlalu sibuk mengeruk keju-keju di tempat-tempat gelap yang tak terpikirkan monyet-monyet. Sedangkan si monyet-monyet, yang juga tahu aku yang tidur beralaskan bumi, berlangitkan cakrawala dan berlampukan bulan, tetap jalan begitu saja seolah aku tak ada. Mereka terlalu sibuk menggelar kompetisi dengan waktu dan menjilati tikus-tikus. Sebab, mereka kira aku bukan bagian dari mereka; tompelku hitam berambut dan lidahku yang memanjang serta tinggi itu, membuatku menjadi berbeda.
Ada yang sepertiku, tapi sudah lama diringkus oleh tikus-tikus itu. Sebelum diberangus tikus-tikus itu, yang sepertiku membisik padaku; “Kita akan disinggahi dan dirawat oleh tikus-tikus serta monyet-monyet itu jikalau sudah memasuki bulan keenam.”
“Bulan keenam?”
“Ya, mereka akan menjelma menjadi seperti kita, bertompel dan bermalampati.”
“Aku tidak mengerti.”
“Ah, kau nantinya akan mengerti. Mereka melempari kita pisang dan keju, tapi sesungguhnya yang kita makan hanya kulitnya.”
Kali ini aku tahu. Ini bulan Agustus, yang kudapat hanya seonggok kulit pisang yang sudah membusuk. Aku masih ingat tadi; kecamuk amarahku pada si tikus-tikus dan monyet-monyet itu yang hanya melewatiku begitu saja karena aku berbeda, tapi detik ini, kecamuk itu lesap. Aku memang berbeda; sebab aku bukan monyet dan tikus.
Tikus bermobil dan monyet berpakaian mewah itu kembali lewat didepanku. Tak mereka singgahi pandang matanya padaku. Aku tak mengapa; kurasa yang ‘bertompel’ dan ‘bermalampati’ itu adalah mereka. Tikus-tikus yang terlalu sering mengambil keju-keju di tempat persmebunyian monyet, kali ini bisa kulihat tompel besar di telapak tangan mereka – akan kusarankan pada mereka untuk sering cuci tangan. Lalu, monyet-monyet yang kerap kali menjilat-jilat punggung si tikus, kali ini bisa kulihat lidah malampati mereka – akan kusarankan pada mereka untuk sering memerhatikan diri ketika menelan ludah; agar mereka tahu apa artinya.
Aku memang berbeda; karena aku manusia – dan mereka, binatang-binatang yang hijrah dari hutan dan melabeli diri mereka sebagai manusia. Mereka memang berbeda. Terakhir, kulihat tubuh mereka tenggelam oleh denyar yang keluar dari jepret kamera di depan televisi.

*sebuah kisah singkat yang ditulis dalam waktu dua puluh menit dalam ketegangan saat workshop bersama Agus Noor, menggunakan teknik tiga kata, yang kala itu, aku mendapat kata; malampati, tompel dan denyar-denyar.
This entry was posted in

Buka Mata, Bedah Dunia Lewat Cerpen


“…menulislah seperti kita bernafas, maka kita akan hidup dalam dunia ide-ide.” 
– Seno Gumira Ajidarma

  
“Ketika menulis, dan mengembara mencari jalan cerita, pikiran harus merdeka. Bebas. Tapi, tak hanya bebas saja yang jadi syarat utama, kita juga harus lebih peka terhadap sekitar. Lebih mengembangkan hal-hal sederhana. Kuncinya, kembangkan apa yang mungkin!” ujar beliau tanpa lepas dari selingan tawa di akhir penjelasannya. Yang dimaksud Seno dalam mengembangkan hal sederhana, dicontohkan beliau dalam sebuah kasus.Seno Gumira Ajidarma, atau lebih akrab disapa Seno, membuka workshop pagi itu (25/6) di Gedung Kompas Gramedia, tepatnya di Diklat Kompas, Ruang Nakula – Sadewa dengan gaya bercerita yang ramah. Dengan pakaian berwarna serba hitam, Seno membuka segmen pertama workshop tersebut dengan meminta salah satu peserta untuk maju. Salah satu peserta berpakaian baju merah dengan celana kelabu, lengkap dengan boots merah muda pun maju ke depan ruangan itu. Seno mulai memburu peserta yang hadir di ruangan itu dengan banyak pertanyaan sederhana; “Apakah pantas kawan didepan kalian, dengan penampilan yang seperti ini disebut anak Camat, anak seniman atau anak pejabat? Silakan pilih”. Kami pun serempak memilih anak seniman. Lalu, Seno mengembangkan pertanyaan lagi dan lagi, hingga terasa ‘absurd’ dan membentuk satu keutuhan plot.
Anggaplah seorang pengemudi mobil yang berhenti di tengah jalan karena macet, baru disadarinya, kemacetan terjadi karena ada mayat yang berhari-hari tergeletak di jalan tanpa ada yang tergerak untuk menolongnya, hanya ditutupi koran begitu saja. Dikarenakan orang-orang yang ‘mau’ menolongnya  selalu melihat ke arah jam tangan.
 Saat itu, kami mulai menyerap contoh kasus dari Seno, dan mulai tersenyum sendiri karena membayangkan ke mana cerita ini akan dibawa. Seno, tanpa menghabiskan waktu banyak, langsung menyodorkan kami sebuah contoh lainnya untuk menjabarkan maksud beliau mengenai ‘mengembangkan apa yang mungkin’.
“Kembangkan suatu hal yang memungkinkan untuk menjadi cerita. Tapi, perhatikan juga kelayakannya – apakah memiliki standar atau kepentingan yang cukup untuk dijadikan cerpen. Bisa saja, hal paling sederhana dan kecil, kita jadikan menjadi penting. Itu juga bisa. Standar dan kepentingan itu bisa didapat dengan melihat ironi yang ada,” jelas Seno, sambil berjalan di depan ruangan dan menyapu pandang ke tiap mata kami yang memaku penuh serius pada beliau. Beliau kembali tersenyum dan tertawa kecil sembari mencipta contoh-contoh kasus ironi.
Anggaplah ada dua kasus. Kasus pertama, PSK yang kesehariannya bekerja di Dolly, demi memenuhi hidup satu keluarganya – nenek, anak beserta ibunya. Menurutnya, hidup keluarganya lebih penting dibanding hidupnya. Maka, PSK tersebut ‘mengorbankan’ kehidupannya demi hidup keluarganya. Kasus Kedua, seorang pejabat koruptor yang sengaja mengambil uang sekian banyak orang demi keluarganya agar naik haji, tak peduli jika nantinya ia tertangkap – yang penting keluarganya sudah ‘putih – bersih’, keluarganya yang sudah putih – bersih dengan sendirinya akan mengangkat namanya walau sebagai koruptor. Pikirkan, mana yang ironi? Mana yang lebih jahat?
Kami terdiam sembari mengangguk-angguk. Sejak awal hingga akhir, Seno terus menghantam kami dari satu contoh ide ke contoh ide lainnya – mengajak kami untuk lebih menggairahkan diri menangkap ide. Terlebih untuk ide-ide ironi. Ironi dan absurditas ada dimana-mana, hanya tergantung bagaimana cara kami menangkapnya. Dan, agar mudah untuk menangkap ‘si ide’ ini, banyak tips-nya. Seno mengutip kalimat Budi Darma bahwa kami harus bergaul dengan ide-ide bagus. Maka itu, Seno hendak menyampaikan pada kami jika kunci utama ketika ingin menulis adalah tiap harinya bergumul dengan ide-ide, apapun itu – karena ide bertebaran dimana-mana; di koran, di ruang pikiran, di televisi, di palang iklan dll. Ini sejalan dengan salah satu ungkapan Putu Wijaya yang aku suka; “Lihat apa aja itu dan jadikan rangsangan untuk menulis!”
Ketika ide sudah didapat, Seno juga menuturkan agar kami mempunyai ‘angle’ yang berbeda dari kebanyakan orang melihatnya – suatu hal yang ‘tersendiri’ dan ‘unik’. Dengan begitu, kami bisa menghancurkan mitos bahwa sastra itu hanya curhatan, harus ‘puitik dan mendayu-dayu’. Hancurkan itu, sebab sastra bagi penulis adalah tempat untuk menyuarakan sesuatu.
Lalu, ditengah-tengah pembahasan mengenai ide, Seno mendapatkan satu pertanyaan menarik – mengenai bagaimana jika ide yang sudah didapatkan, hampir sama dengan ide yang sudah dituliskan penulis lain?
“Walaupun terasa sama dengan ide yang lain, pastikan apa yang kita tulis hanya kita yang bisa menulisnya!” jawab Seno dengan lugas. Kami kembali manggut-manggut dan terlempar pada imaji-imaji mengenai cerpen-cerpen senja milik beliau, hihi.
Sejak itu, Seno mulai dihujani banyak pertanyaan. Salah satunya tentang; Apa manfaat membaca bagi penulis? Apa efeknya dalam pengembaraan menemukan harta karun berupa ide? Seno menjawabnya dengan mantap sambil sesekali menyibak rambut gondrong khas beliau.
“Mengapa kita harus membaca? Sebab ketika kita membaca, pastinya akan ada sesuatu yang menempel dan menarik perhatian kita. Kita pun mulai mengeksplor dan berkutat dengannya lebih lama, setelah itu perlahan akan jadi sebuah ide untuk ditulis.”
Pertanyaan lainnya pun kembali terdengar dari tengah ruangan, salah satu peserta mengeluh jika cerpen-cerpen yang ia buat lebih banyak menganut ending yang menggantung – dan pembaca-pembacanya tidak terlalu menyukai ending gantung seperti itu. Namun, ternyata Seno memiliki pandangan lain.
“Jadilah dirimu sendiri. Lagipula, ending menggantung adalah sebuah misteri. Misteri akan menarik jika terus menjadi misteri. Tidak ada yang salah dan hal yang harus diubah dari ending menggantung – ataupun menyisakan pertanyaan,” jawab Seno ramah, dalam kesempatan itu, Seno juga ikut menyampaikan tidak ada salahnya jika cerita berangkat dari pengalaman pribadi. Tidak ada yang harus diubah jika itu memang gaya menulis dari diri kita; “Jadilah dirimu sendiri.”
Kami pun tertegun. Di sela sesi tanya-jawab, Seno juga sempat menyelipkan pembahasan mengenai editing dan klise. Menurut beliau, editing itu sederhana – tulisan yang sudah jadi, dilihat-lihat lagi. Hal tersebut diutarakan beliau agar kami semua memahami jika editing begitu penting dan tidaklah menakutkan.
“Begitupula halnya dengan klise, menghindari klise itu mudah, balik saja ceritanya!”
Ini menarik, kadang kita berpikir ide yang sudah kita dapat klise, lantas kita buang begitu saja, padahal yang klise-klise inilah yang bisa jadi ‘sesuatu’ andai saja kita mengikuti saran Seno; balik saja. Apapun yang dibalik akan jadi beda. Seno memang keren! (Ssst, Seno membutuhkan waktu empat tahun untuk mengirimi karyanya terus-terusan ke Kompas sebelum akhirnya dimuat seperti sekarang ini)
Workshop bertemakan ‘Buka Mata, Bedah Dunia Lewat Cerpen’ dengan permateri Seno Gumira Ajidarma tersebut berakhir dengan sesi booksigning dan selfie bersama para peserta workshop. Seno sudah berhasil membuka mata kita agar ‘menulisi dunia’ dalam cerpen. Salam literasi untuk semua.
 
Tentang Seno Gumira Ajidarma
Dilahirkan tahun 1958. Bekerja sebagai wartawan dari 1997. Mulai 1985 bekerja untuk Gramedia Majalah. Menulis tentang kebudayaan kontemporer di berbagai meida, menerima sejumlah penghargaan sastra dan mengajar di berbagai perguruan tinggi. Pernah memenangkan Cerpen Terbaik Kompas tahun 1993, 2007, dan 2010; seluruh cerpennya yang pernah dimuat Kompas (1978-2013) direncanakan terbit dengan judul Senja dan Cinta yang Berdarah oleh Penerbit Buku Kompas.

This entry was posted in