How long till we call this love?
Aku
takut tulisan ini tak akan pernah habis bercerita tentangmu. Aku takut, jika
angka 15 terlewat dan tulisan tentangmu belum juga berhenti. Aku takut, itu
berarti aku benar-benar mencintaimu.
Please,
don’t stand so close to me, I have a trouble breathing. I’m afraid of what
you’ll see.
Ini
akhir minggu, dua hari aku tak bertemu denganmu. Terakhir kita bertemu, di hari
Jumat, di sebuah bangku yang disusun seolah menjadi meja bundar dalam sebuah
bahasan penting. Perhatianku terbagi, antara menentukan kemajuan tim-ku dan
kamu. Logikaku bekerja keras agar tetap focus, dan hatiku tertekan begitu dalam
karena harus berusaha menyembunyikanmu.
I
will take that hurf of fall, if that fall is falling into you.
Aku
gelisah, waktu semakin lama semakin merangkak naik dan berbisik padaku, kamu
akan segera keluar dari diskusi alot ini, dan bukankah benar? Kamu mendorong
jauh bangkumu, berjanji akan kembali. Aku tahu, tidak. Bisakah kamu cukup hadir
di diskusi ini bukan karena jadwal yang mengharuskanmu, cukup karena aku ada?
Harapan dan binarku seketika meluap pergi bersama kamu yang membuka pintu dan
keluar.
I
have waited you for a thousand years, but, I’ll love you for a thousand more.
Sesungguhnya,
ini tulisan khusus untuk bercerita tentang tatapan manik matamu. Yang tak hanya
teduh, yang memiliki binar menenangkan dan memikat. Tapi, aku tak tahu, tulisan
kali ini justru bercerita tentang kamu yang lagi-lagi membuatku tersiksa. Terlebih
itu, saat aku menulis ini, aku tahu kamu tengah tersenyum dan tertawa bersama
mereka, kelompok mereka yang di dalamnya ada dia, satu-satunya orang yang
mungkin menjadi alasan bagimu tidak menuliskan puisi untukku.
0 Comments:
Post a Comment