Our love is break, burn and end .
Saat
itu, pulang sekolah. Aku memasuki kelasmu dengan rasa yang sama, dilemma untuk
meretakkannya, menguburnya atau membuangnya. Tapi, intinya sama; mengakhirinya.
Segera. Sebelum segalanya semakin membuncah, menyeruak, menyembul dan kamu
merasakan rasa yang sudah lama kusimpan dan kusembunyikan ini. Kita berpapasan,
mungkin tidak. Kita hanya berjalan dengan arus yang berbeda dan aku melihatmu
sekilas, karena kamu begitu cepat berjalan pergi. Lalu, menghilang. Setelahnya
hanya ada cerita tentang aku yang duduk di pojok kelasmu, memilih bangku secara
acak yang anehnya bertuliskan namamu, dan berkali-kali aku melirik ke arah
pintu kelasmu yang terbuka, mencari sosokmu, bayangmu, berharap mata kita akan
kembali bertemu seperti sapaan mata yang bisu sebelum-sebelumnya, tapi
kenyataan begitu kejam mencekik, karena hanya ada siluet orang yang
berlalu-lalang dan itu bukan kamu.
You
keep slipping away.
Ini
kali kedua yang menyakitkan setiap kali aku memasuki kelasmu. Kali ini, aku tak
bertemu denganmu, kamu lebih memilih berada di luar. Tapi, aku tidak menyesal,
yang terpenting, ini kelasmu, kelas dimana kamu pernah berada. Aku merasakan
jejak-jejakmu di sini, dan itu lebih dari sekedar apapun.
Should
I give up? Should I let go? My mind say yes, but, my heart say no.
Dan,
inilah aku, berada di depan komputer hitam LCD terbaikku. Di kamar yang sepi
yang hanya melantunkan lagu-lagu melankolis yang menyedihkan. Aku membaca akun
sosialmu, akun dimana interaksimu dengan banyak hati lain yang satu minat seni
denganmu. Ini sungguh menyakitkan. Tapi, bukan kecemburuan, ini hanya
penyesalan menyadari kamu mungkin lebih tertarik pada mereka yang memiliki
jurusan seni yang sama denganmu, bukan jurusan seniku, dunia tulis-menulis,
yang melankolis, yang hanya bisa menghanyutkanmu dalam dunia yang tidak pernah
nyata, rekaan dan khayalan. Berkali-kali aku mengatakan diriku untuk mundur,
tapi berkali-kali juga kudapati diriku tertarik semakin dekat olehmu…
0 Comments:
Post a Comment