Wednesday 24 April 2013

History of His Story



Aku memiliki satu guru yang mengajarku pelajaran mengenai masa lalu. Setiap pelajaran beliau, kami selalu diminta menghafal catatan-catatan beliau yang sudah beliau rangkum dari buku paket kami maupun dari buku pegangan lain. Gaya mengajar beliau pun lucu dan unik, setiap beliau masuk ke kelas, yang pertama beliau lakukan adalah menyuruh kami meluruskan barisan kursi-kursi agar tidak miring dan teratur rapi. Namun, beliau termasuk guru yang sering ‘dikerjai’ oleh murid. Menjadi sasaran utama untuk keisengan murid-murid. Mungkin bisa dikatakan beliau termasuk guru yang santai, karenanya murid sedikit berani dengan beliau. Beberapa waktu lalu, aku mendengar obrolan, banyak yang mengatakan beliau salah satu guru yang paling kuno. Kasarnya; gaptek. Sedikit linglung dan banyak komentar negatif lainnya. Aku hanya diam mendengarnya sampai suatu siang, saat aku selesai menanyakan pelajaran komputer pada guru TIK-ku, beliau yang sedang mengajar di kelasku segera menghampiriku. Ia bertanya banyak hal padaku, tentang system Excel di Microsoft, hal-hal berkaitan dengan Barcode di aplikasi Android dan obrolan kecil tentang tekonologi informasi lainnya. Satu hal yang kutangkap dan kukagumi, beliau adalah orang yang ingin belajar, beliau menanyakan padaku tentang hal-hal kecil yang sederhana. Beliau adalah orang yang menyenangkan dan baik di tengah kepolosan dan keluguannya. Beliau adalah orang yang lucu dan guru yang membuatku nyaman dan tidak takut untuk maju ke depan kelas kapanpun. Beliau adalah orang yang bersahabat. Dan yang terpenting, beliau ingin belajar dan punya keingin-tahuan. Di tengah kekurangannya, beliau ingin belajar, belajar, belajar dan belajar. Dan, ia tidak malu untuk bertanya, tidak takut untuk mencoba. Banyak yang mungkin mengantuk dengan cara mengajarnya yang meminta kami lebih banyak menghafal catatan, tapi aku kembali menemukan hal lain tentang beliau, tentang catatan-catatan yang selalu kami hafal. Beliau pernah berkata satu hal padaku; “Vero, ini sudah saya rangkumkan catatan buat kalian. Jadinya lebih gampang dan mudah untuk menghafal Bab ini bukan? Tidak seperti di buku paket, panjang dan bertele-tele.” Aku mengangguk, tersenyum, meraih buku catatan itu. Dan karena aku adalah sekretaris kelas, aku menyalin ulang buku rangkuman beliau di papan tulis. Di setiap gores pensil di buku catatan rangkuman beliau, aku merasakan itu goresan penuh cinta dari seorang guru yang polos nan lugu untuk murid-muridnya.
Aku tersenyum begitu kecil lewat sudut bibirku ketika sosoknya berjalan melewatiku di ruang tunggu di suatu siang. Mungkin jika suatu saat nanti aku disodorkan kertas yang menanyakan siapakah guru favoritku, aku tanpa ragu akan menuliskan salah satu nama beliau.
This entry was posted in

Thursday 11 April 2013

Hujan Jatuh - Rain Fall



“Jika kamu tanyakan padaku, seberapa kuat aku mencintaimu, aku takkan menjawab seluas samudra dan lautan, setinggi gunung atau apapun. Sederhana saja, aku mencintaimu sepertihalnya bagaimana kamu mencintai dia.”

Aku tak pernah tahu jika kamu bertahan memangku jarak yang terasa begitu berat, diam dan berusaha menahan nafas agar dia di sampingmu tidak mengetahui jika kamu memperhatikannya. Menyelam ke dalam pejaman matanya. Dalam kepalan tanganmu, kamu yakin satu hal, kamu akan menjaganya, melindunginya. Kamu remuk melihat kerapuhan dalam senyumannya. Dan tahukah kamu? Aku meretak. Remuk. Runtuh. Diam tak terkata.
“Aku dikoyak-koyak rasa. Akan kubawa cinta ini dalam ukiran aksara nisan. Biar ia mati, diam, tak lagi berontak tuk merasa. Mungkin ini akan menjadi aksara paling menyakitkan dariku tentangmu yang pernah tertuang.” –di kala kamu berhasil mengoyakku pada aksara sederhana yang kamu lukiskan.
Kan kutaburkan kelopak-kelopak Kamboja di atas potongan cinta yang kuletakkan pada luka yang tengah menganga. Bahkan, aku menulis ini ditemani alunan nada lagu yang kamu berikan khusus untuknya. Katakan padaku! Dimana harus kuletakkan cinta yang berdarah ini kecuali di atas gundukan tanah berbatu nisan?
Sesungguhnya, aku lelah mengabstraksi kata-kata agar kamu tak mengetahui aku sedang menggoreskan kamu dan dia. Kamu dan dia. Bukan kita, siapa aku? Bukankah hanya seseorang yang berusaha ingin menjadi hujan hanya agar bisa menyentuh dan memelukmu tanpa perlu memberi alasan atas pertanyaan mengapa.
“Jika aksara ini tak lagi mampu mengetukmu, katakan padaku, dengan air mata apa lagi aku bisa meyakinkanmu? Bahwa aku mencintaimu dengan sederhana.”
Aku mencintaimu dengan sederhana. Sesederhana ketika rasa pertama yang muncul ketika kamu melihat dia di sebuah jalan sepi sehabis hujan, mungkin dia atau perasaanmu yang mengharapkan dia ada. Aku mencintaimu dengan sederhana. Sesederhana ketika kamu memperhatikan hal-hal kecil tentangnya. Aku mencintaimu dengan sederhana. Sesederhana langit yang berusaha menyatakan rasanya kepada Bumi lewat rintik lembut hujan. Aku mencintaimu dengan sederhana. Sesederhana ketika kamu berharap ada rasa yang bertemu antara kamu dengannya. Sesederhana ketika aku pun membungkus teriakkan dalam bisikan; aku mencintaimu, kamu dan dia tak perlu tahu. Aku mencintaimu dengan sederhana. Kamu mencintainya dengan sederhana. Sesederhana ketika aku berkata, cintailah dia. Aku di sini menikmati bagaimana aku tertunduk tenggelam dalam sesak, membiarkan air mata dan hujan mengaburkan pandanganku ketika kamu dan dia bersama dalam genggaman tangan di sebuah ruang kelas. Dan di sini, aku sibuk mengaksarakan tentang luka-luka rasa.
-di saat aku berusaha mendiamkan rindu. Menghabiskan rasa.

Monday 1 April 2013

Hujan Terakhir untuk Teh



“Can you show me the perfect way to write the best love story with the dying heart?”
Tak ada yang terasa dari hujan kecuali akhir cerita menggantung yang dibawa bau tanah dan sepotong senja basah. Ini seperti tengah merangkai rasa yang pernah dibiarkan jatuh dan hanya bersisa cerita-cerita bisu akan luka. Mencipta tanya, bagaimana mematahkan rasa ketika bahkan kehadiranmu tak mampu ditebas jarak dan digerus waktu? Namun, segalanya memaksa aku meninggakan cerita sebagai kenangan. Dan, aku terbunuh begitu dalam, mengetahui hitam tak hanya singgah pada malam, tetapi hujan yang menumpahkannya dalam kisah kelam. Tak ada yang pernah menjadi milik kita berdua kecuali luka-luka karena terlalu banyak ketika-ketika tanpa ada aksi rasa yang nyata.
“The possibility that you will ever felt the same way is just too…less.”
Kali ini, biar tatapan teduh matamu yang kusembunyikan dalam kata-kata dan kusamarkan dalam tinta. Sesungguhnya aku lelah memakai terlalu banyak metafora, karena teduh tatap mata itu tak sebatas kata-kata yang kumainkan. Ia mencpita ketenangan yang bersua seolah segalanya baik-baik saja. Ia adalah sorot dalam kesederhanaan dengan binary hangat yang memeluk dan melindungi di kala rasa yang meretak. Berkali-kali kulempar tanya dan teduh mata itu selalu mampu melepas jawab. Namun, tak pernah mencoba menerjemahkan rasa. Membuatku berhenti untuk terlalu banyak merajut asa.
“Probably this is just wishful thinking and mindless dreaming that we will love each other.”
Aku mengingatmu dalam rindu yang membunuh. Aku tak ingin menguntai rasa dalam hura-hura jika kita akan meniti kisah. Walau rasa itu harus terperangkap dalam ruang ramai pesta, biar ia menemukan jalan sendiri ‘tuk saling mengamitkan janji untuk berlalu dan merangkai keheningan. Pernah dengar? Diam itu bersuara. Bisu itu bersua. Hening itu bercerita. Aku ingin mereka yang berdialog dan mengisahkan indahnya sebongkah cinta yang kusimpan dalam mata yang berbicara. Bahkan lilin di meja romantis Valentine itu kalah dengan binar mata yang saling melepas rasa. Tanpa banyak kata, karena rasa bukanlah bahasa. Maka itu, kubiarkan kata itu berdiam, sunyi, hening dan sepi…aku lelah menuang tinta aksara dalam gerimis hujan, karena hujan pun mampu bersuara lewat geraman guntur, menyuarakan bagaimana rindu ini menjelma layaknya petir yang melukai cakrawala langit, sedangkan secangkir teh hanya berlindung dibalik jendela. Diam.