Sayang, beberapa bulan lalu aku menemui seorang lelaki di sudut kafe. Aku dengannya duduk bersisian dengan dinding kaca, membicarakan proyek panjang yang kupikir akan melelahkan tapi dia membuatnya terasa seperti permainan baru untuk kutaklukan.
Credit: Getty Images/iStockphoto |
Dalam banyak diskusi, pandangan-pandangannya mengingatkanku padamu. Dalam berbagai pertemuan dan perjalanan intens, keputusan-keputusannya terasa seperti kamu. Entah aku rindu kamu atau memang dia akan jadi kesalahanku.
Sayang, terlalu dini untuk bilang aku mencintainya. Bagaimana harus kugambarkan ini? Rasanya seperti ada yang bilang padamu kalau bintang malam yang kita lihat di langit sebenarnya sudah lama mati. Padahal, nyatanya tidak. Bintang yang jaraknya masih bisa kita temui dalam mata telanjang, ia masih hidup. Kita hanya meyakini hal yang sama sekali salah - kuharap seperti itu.
Saat ini, aku menaruhnya jauh di kedalaman diriku - bagian yang tak kujangkau, jika iya pun, adalah boks yang kukunci rapat. Tersembunyi darimu, juga dari kita. Jadi, jika kamu baca tulisan ini, jangan khawatir. Dia - seharusnya - tidak akan mengusik kamu dan aku. Sebab tiada yang tumbuh, apalagi mulai. Aku menekannya kuat-kuat. Ia kupastikan mati sejak kutahu aku punya kamu.
Sayang, kuakui dia menghantuiku dalam beberapa lagu yang kuputar. Dia tidak ada di sini - dan tak akan pernah, tapi bayangannya ketika bicara tentang dunia, impiannya, hingga pemikiran-pemikirannya terus berputar bagai kaset musik yang rusak. Rasanya seperti mengisi kekosongan di antara pertemuan kita yang jarang dan dingin.
Suatu waktu kamu bilang, mencintaiku adalah jebakan. Kamu menjebak diri dalam labirin yang kamu sendiri tidak tahu di mana pintu ke luarnya, tapi kamu menikmatinya sebab kamu terkunci bersamaku. Kamu sukarela hidup dalam jebakan itu. Malam ini, tiba-tiba saja aku berpikir, mungkin kamu memang benar. Hanya saja, aku khawatir sekarang aku tengah berusaha mencari pintu itu.
0 Comments:
Post a Comment