Friday 31 May 2013

Kisah di Penghujung Lampu Merah



Terik panas siang itu membakar kulitku. Gerutu kesal terus meluncur di tengah deru mesin yang menganggu. Mataku mendelik pada detik lampu merah yang masih menunjukkan puluhan. Aku memberhentikan motor, menunggu lampu merah agar berganti hijau dengan segera. Ketika detik lampu merah itu sudah berubah menjadi belasan, mataku tiba-tiba teralih dan menangkap seorang anak kecil, kira-kira berumur enam sampai tujuh tahun, duduk di tepian jalan dekat lampu merah. Kedua tangannya tengah memegang masing-masih satu tusuk telur dadar yang digulung. Anak kecil itu dengan asyik menikmati tusuk makanan itu di salah satu genggaman tangannya. Wajahnya begitu kotor, noda hitam menempel di sekujur tubuh, pakaian robek dan pipinya. Tapi, ia tersenyum, rasanya makanan itu begitu enak di matanya. Memoriku seolah membingkainya dalam benakku, membawanya ke ruang hati yang senyap lalu dengan perih berbisik; ini begitu menyakitkan. Mungkin saja itu makanan yang berhasil ia beli sehabis ia menegadahkan mangkuk plastiknya pada para pengendara motor seharian, atau mengamen di angkutan umum dengan teman-temannya yang lebih kecil, receh bergemerincing di genggamannya merekahkan senyumnya, seolah itu suara receh itu adalah suara bahagia hidupnya. Baginya deru mesin motor mungkin musiknya sehari-hari, mata yang memandangnya jijik adalah pemandangan kesehariannya dan rasa iba/kasihan adalah penyambung hidupnya. Aku mencelos ketika ia masih menikmati tusuk makanannya di tepian jalan yang tidak layak dan keras untuk tubuh kecil serta mata polosnya. Di tengah debu dan asap kendaraan bermotor yang bercampur, anak itu masih saja makan dengan lahap. Aku melihat kesederhaan yang mengirisku. Detik lampu merah sudah habis, hijau menyala nyalang, klakson kendaraan bersahutan, aku melajukan motorku. Dari kejauhan, aku tahu tak banyak yang bisa kuberikan untuknya, kecuali mengisahkannya, menyalakan rasa cinta untuknya.
This entry was posted in

Friday 24 May 2013

Superhero Superlove

Pernahkah kamu dengar? Cinta adalah rasa tertua yang pernah ada. Ini berarti, sesungguhnya kita terlahir dengan dan oleh cinta. Jikalau ada rasa benci, hasrat perang dan niat mencela, kita tengah membohongi diri sendiri. Sebab, sejatinya kita adalah damai dalam cinta, penuh kasih.
Malam ini, aku menyelesaikan tontonan sebuah film, sebut saja ia film robot superhero. Dari banyak adegan, ada dua bagian yang paling membekas. Satu adalah saat superhero itu berusaha menyelamatkan sekelompok orang, tepatnya sekitar 13 orang yang jatuh dari sebuah pesawat yang dibajak, sedangkan superhero itu sendiri hanya mampu membawa 4 orang. Lalu, apa yang akan dilakukan superhero itu untuk menyelamtanya ketiga-belas orang itu menjadi pertanyaan menarik yang singgah di benakku kala itu. Di luar dugaanku yang berkcemauk, superhero itu menyelamatkan satu orang. Orang yang ia selamatkan, ia minta untuk berpegang erat dan merentangangkan satu tangannya untuk meraih satu orang lain di antara 12 orang yang masih melayang di udara. Ketika orang itu berhasil menangkap temannya, temannya menangkap teman lainnya. Hingga akhirnya, semuanya saling menggenggam tangan dan 13 orang itu selamat. Adegan heroik itu bercerita banyak dibanding sekedar memperlihatkan kehebatan seorang superhero. Ini berkisah akan sepotong cerita tentang kekuatan cinta yang besar ketika banyak orang bersatu merangkainya. Tak hanya satu orang yang tergerak, tapi bersama. Bayangkan, jika tadi orang yang telah diselamatkan superhero tidak merentangkan tangannya untuk menolong dan tangan-tangan lainnya juga tidak, mungkin hanya 4 orang yang selamat, tidak semua. Superhero itu tahu apa yang menjadi batas kekuatan dia, maka ia menggunakan kekuatan lain yang tak memiliki batas, yakni cinta. Dan, orang-orang juga ikut menebarnya. Maka, bukan superhero yang menyelamatkan mereka, tapi diri mereka sendiri dengan sebuah cinta. Sebab, superhero itu juga digerakkan oleh sebuah rasa tua, rasa bernama cinta.
Adegan lainnya adalah ending. Superhero tersebut memutuskan untuk berhenti menjadi superhero. Ia bukan egois – jika masyarakat memandangnya seperti itu. Ia hanya ingin menyuarakan satu hal secara tidak langsung; seharusnya orang tidak bergantung pada dirinya. Karena percayalah, keberhasilannya menumpas kejahatan bukan karena dia seorang, melainkan juga masyarakat. Sebab kejahatan hampir tidak mungkin diredam oleh hanya satu orang. Di akhir film, superhero itu berkata; kamu bisa mengambil kostumku, kamu bisa mengambil perlengkapanku, tapi ada satu hal yang tak bisa kamu ambil; akulah superhero itu. Mungkin semua orang bisa mengambil apapun dari kita, tapi tidak untuk satu hal; sejatinya diri kita. Akhirnya kita pun menyadari, sejatinya kita adalah cinta.
Seperti halnya aku selalu berbisik; tak ada yang benar-benar hebat dan dahsyat yang dimiliki superhero/pahlawan kecuali cinta.
-ketika sebuah film superhero penuh aksi dan kekayaan fiksi ilmiah menyadarkanku banyak hal hal akan cinta, dan otakku dipenuhi kata-kata yang mendesak untuk keluar. Maka kuluangkan setengah jam waktu tidurku untuk menulis ini, karena aku tahu, jika tidak, tidurku selanjutnya tidak akan tenang.
This entry was posted in

Sunday 19 May 2013

Sepotong Kue Pelangi



Senja bergerak menuju petang. Bau tanah sehabis hujan siang tadi masih membekas. Desau angin di langit temaram, berhasil membawa sepotong kenangan yang masih menjejak di kalbu. Percakapanku di sebuah kamar dengan seseorang siang tadi masih segar di ingatanku. Latar hujan ringan di luar sana masih jelas terdengar. Seseorang itu secara spontan mengisahkan suatu keadaan yang dilihatnya padaku, aku yang masih sibuk dengan ketukan irama hujan di kaca jendela, tidak terlalu memperhatikannya sampai ia menepuk pundakku. Ini tentang seorang kakek tua di sebuah pasar umum yang ditemuinya, kakek itu sedang menegadahkan tangannya mengharapkan keping-keping cinta. Aku terhenyak; siap mendengar.

“Di sebuah sudut tempat seorang pedagang kue menggelar kue dagangannya, kakek itu duduk. Ia menegadahkan tangannya penuh harap. Ada binar dari sepasang mata sayunya yang berharap pasrah. Tubuh ringkih dan lemahnya duduk di bawah, tepat di samping sebuah meja tertutup yang menjual beraneka macam kue. Beberapa orang yang lewat berlalu-lalang di depannya, ada yang peduli, kadang kala tidak. Suatu waktu, pernah ada seseorang yang memberinya sepotong kue. Ada titik bahagia yang berbicara di mata kakek tua itu, ia memegang kue itu penuh syukur, mengucap terima kasih pada Tuhan karena telah ada uluran tangan kasih Tuhan lewat si pemberi kue padanya. Kakek itu memakan kue itu penuh suka cita. Tak seorang pun yang tahu, apakah si pedagang kue pernah memberi, mungkin sedikitnya satu kue setiap harinya pada si kakek tua. Si Kakek tua selalu ditemukan duduk di sana setiap harinya, hidup dari belas kasih orang yang lewat, yang sempat singgah untuk memberi senggenggam cinta untuknya. Terkadang, si Kakek tua sering kali ditemukan di berjalan dari pasar hingga depan jalan raya, sendirian, terkadang ia kelaparan (dan kita tak pernah tahu) untuk meminta-minta. Tak pernah ada yang tahu, si Kakek tua berjalan jauh setiap harinya.”

Aku terhenyak. Seseorang yang bercerita di hadapanku itu, aku tahu, sepasang manik mata hitamnya tengah berkaca-kaca. Karena ia tahu, hampir setiap hari ia berbelanja di pasar dan bertemu si Kakek tua. Tak banyak yang bisa ia lakukan kecuali memberi segenggam receh. Bagaimana jika beliau sakit? Tanya seseorang itu padaku. Aku bungkam, tak pernah memiliki jawaban untuk sejuta kemungkinan yang terjadi pada si Kakek Tua. Ada ruang di hatiku yang berkecamuk, sedang apa beliau sekarang? Aku memejamkan mata, berharap sehabis siang basah ini, akan ada selengkung pelangi yang hadir. Agar bisa kutitipkan pesanku padaNya, agar ia selalu didalam lindunganNya, tetap hangat walau diselimuti dingin malam, tetap segar walau rasa lelah singgah setelah berjalan jauh, tetap tersenyum di tengah keadaan yang mencekik. Dan, semoga ada banyak orang yang mengulur tangannya, memberi si Kakek Tua sepotong kue. Sepotong kue penuh pelangi. Kami pun menitik air mata bersama, dalam sunyi siang yang begitu menusuk dan mengusik.
This entry was posted in