Senja
bergerak menuju petang. Bau tanah sehabis hujan siang tadi masih membekas.
Desau angin di langit temaram, berhasil membawa sepotong kenangan yang masih
menjejak di kalbu. Percakapanku di sebuah kamar dengan seseorang siang tadi
masih segar di ingatanku. Latar hujan ringan di luar sana masih jelas
terdengar. Seseorang itu secara spontan mengisahkan suatu keadaan yang
dilihatnya padaku, aku yang masih sibuk dengan ketukan irama hujan di kaca
jendela, tidak terlalu memperhatikannya sampai ia menepuk pundakku. Ini tentang
seorang kakek tua di sebuah pasar umum yang ditemuinya, kakek itu sedang
menegadahkan tangannya mengharapkan keping-keping cinta. Aku terhenyak; siap
mendengar.
“Di sebuah sudut tempat seorang
pedagang kue menggelar kue dagangannya, kakek itu duduk. Ia menegadahkan
tangannya penuh harap. Ada binar dari sepasang mata sayunya yang berharap
pasrah. Tubuh ringkih dan lemahnya duduk di bawah, tepat di samping sebuah meja
tertutup yang menjual beraneka macam kue. Beberapa orang yang lewat
berlalu-lalang di depannya, ada yang peduli, kadang kala tidak. Suatu waktu,
pernah ada seseorang yang memberinya sepotong kue. Ada titik bahagia yang
berbicara di mata kakek tua itu, ia memegang kue itu penuh syukur, mengucap
terima kasih pada Tuhan karena telah ada uluran tangan kasih Tuhan lewat si
pemberi kue padanya. Kakek itu memakan kue itu penuh suka cita. Tak seorang pun
yang tahu, apakah si pedagang kue pernah memberi, mungkin sedikitnya satu kue
setiap harinya pada si kakek tua. Si Kakek tua selalu ditemukan duduk di sana
setiap harinya, hidup dari belas kasih orang yang lewat, yang sempat singgah
untuk memberi senggenggam cinta untuknya. Terkadang, si Kakek tua sering kali
ditemukan di berjalan dari pasar hingga depan jalan raya, sendirian, terkadang
ia kelaparan (dan kita tak pernah tahu) untuk meminta-minta. Tak pernah ada
yang tahu, si Kakek tua berjalan jauh setiap harinya.”
Aku
terhenyak. Seseorang yang bercerita di hadapanku itu, aku tahu, sepasang manik mata
hitamnya tengah berkaca-kaca. Karena ia tahu, hampir setiap hari ia berbelanja
di pasar dan bertemu si Kakek tua. Tak banyak yang bisa ia lakukan kecuali
memberi segenggam receh. Bagaimana jika beliau sakit? Tanya seseorang itu
padaku. Aku bungkam, tak pernah memiliki jawaban untuk sejuta kemungkinan yang
terjadi pada si Kakek Tua. Ada ruang di hatiku yang berkecamuk, sedang apa
beliau sekarang? Aku memejamkan mata, berharap sehabis siang basah ini, akan ada
selengkung pelangi yang hadir. Agar bisa kutitipkan pesanku padaNya, agar ia
selalu didalam lindunganNya, tetap hangat walau diselimuti dingin malam, tetap
segar walau rasa lelah singgah setelah berjalan jauh, tetap tersenyum di tengah
keadaan yang mencekik. Dan, semoga ada banyak orang yang mengulur tangannya,
memberi si Kakek Tua sepotong kue. Sepotong kue penuh pelangi. Kami pun menitik
air mata bersama, dalam sunyi siang yang begitu menusuk dan mengusik.