Terik panas siang itu membakar kulitku. Gerutu kesal
terus meluncur di tengah deru mesin yang menganggu. Mataku mendelik pada detik
lampu merah yang masih menunjukkan puluhan. Aku memberhentikan motor, menunggu
lampu merah agar berganti hijau dengan segera. Ketika detik lampu merah itu
sudah berubah menjadi belasan, mataku tiba-tiba teralih dan menangkap seorang
anak kecil, kira-kira berumur enam sampai tujuh tahun, duduk di tepian jalan
dekat lampu merah. Kedua tangannya tengah memegang masing-masih satu tusuk
telur dadar yang digulung. Anak kecil itu dengan asyik menikmati tusuk makanan
itu di salah satu genggaman tangannya. Wajahnya begitu kotor, noda hitam
menempel di sekujur tubuh, pakaian robek dan pipinya. Tapi, ia tersenyum,
rasanya makanan itu begitu enak di matanya. Memoriku seolah membingkainya dalam
benakku, membawanya ke ruang hati yang senyap lalu dengan perih berbisik; ini
begitu menyakitkan. Mungkin saja itu makanan yang berhasil ia beli sehabis ia
menegadahkan mangkuk plastiknya pada para pengendara motor seharian, atau
mengamen di angkutan umum dengan teman-temannya yang lebih kecil, receh
bergemerincing di genggamannya merekahkan senyumnya, seolah itu suara receh itu
adalah suara bahagia hidupnya. Baginya deru mesin motor mungkin musiknya
sehari-hari, mata yang memandangnya jijik adalah pemandangan kesehariannya dan
rasa iba/kasihan adalah penyambung hidupnya. Aku mencelos ketika ia masih
menikmati tusuk makanannya di tepian jalan yang tidak layak dan keras untuk
tubuh kecil serta mata polosnya. Di tengah debu dan asap kendaraan bermotor
yang bercampur, anak itu masih saja makan dengan lahap. Aku melihat kesederhaan
yang mengirisku. Detik lampu merah sudah habis, hijau menyala nyalang, klakson
kendaraan bersahutan, aku melajukan motorku. Dari kejauhan, aku tahu tak banyak
yang bisa kuberikan untuknya, kecuali mengisahkannya, menyalakan rasa cinta
untuknya.
Friday 31 May 2013
Friday 24 May 2013
Superhero Superlove
Pernahkah kamu dengar? Cinta adalah rasa tertua yang pernah ada. Ini berarti, sesungguhnya kita terlahir dengan dan oleh cinta. Jikalau ada rasa benci, hasrat perang dan niat mencela, kita tengah membohongi diri sendiri. Sebab, sejatinya kita adalah damai dalam cinta, penuh kasih.
Malam ini, aku menyelesaikan tontonan sebuah film,
sebut saja ia film robot superhero. Dari banyak adegan, ada dua bagian yang
paling membekas. Satu adalah saat superhero itu berusaha menyelamatkan sekelompok
orang, tepatnya sekitar 13 orang yang jatuh dari sebuah pesawat yang dibajak,
sedangkan superhero itu sendiri hanya mampu membawa 4 orang. Lalu, apa yang
akan dilakukan superhero itu untuk menyelamtanya ketiga-belas orang itu menjadi
pertanyaan menarik yang singgah di benakku kala itu. Di luar dugaanku yang
berkcemauk, superhero itu menyelamatkan satu orang. Orang yang ia selamatkan,
ia minta untuk berpegang erat dan merentangangkan satu tangannya untuk meraih
satu orang lain di antara 12 orang yang masih melayang di udara. Ketika orang
itu berhasil menangkap temannya, temannya menangkap teman lainnya. Hingga
akhirnya, semuanya saling menggenggam tangan dan 13 orang itu selamat. Adegan
heroik itu bercerita banyak dibanding sekedar memperlihatkan kehebatan seorang
superhero. Ini berkisah akan sepotong cerita tentang kekuatan cinta yang besar
ketika banyak orang bersatu merangkainya. Tak hanya satu orang yang tergerak,
tapi bersama. Bayangkan, jika tadi orang yang telah diselamatkan superhero
tidak merentangkan tangannya untuk menolong dan tangan-tangan lainnya juga
tidak, mungkin hanya 4 orang yang selamat, tidak semua. Superhero itu tahu apa
yang menjadi batas kekuatan dia, maka ia menggunakan kekuatan lain yang tak
memiliki batas, yakni cinta. Dan, orang-orang juga ikut menebarnya. Maka, bukan
superhero yang menyelamatkan mereka, tapi diri mereka sendiri dengan sebuah
cinta. Sebab, superhero itu juga digerakkan oleh sebuah rasa tua, rasa bernama
cinta.
Adegan lainnya adalah ending. Superhero tersebut memutuskan
untuk berhenti menjadi superhero. Ia bukan egois – jika masyarakat memandangnya
seperti itu. Ia hanya ingin menyuarakan satu hal secara tidak langsung;
seharusnya orang tidak bergantung pada dirinya. Karena percayalah,
keberhasilannya menumpas kejahatan bukan karena dia seorang, melainkan juga
masyarakat. Sebab kejahatan hampir tidak mungkin diredam oleh hanya satu orang.
Di akhir film, superhero itu berkata; kamu bisa mengambil kostumku, kamu bisa
mengambil perlengkapanku, tapi ada satu hal yang tak bisa kamu ambil; akulah
superhero itu. Mungkin semua orang bisa mengambil apapun dari kita, tapi tidak
untuk satu hal; sejatinya diri kita. Akhirnya kita pun menyadari, sejatinya
kita adalah cinta.
Seperti halnya aku selalu berbisik; tak ada yang benar-benar hebat dan dahsyat yang dimiliki superhero/pahlawan kecuali cinta.
-ketika sebuah film superhero penuh aksi dan
kekayaan fiksi ilmiah menyadarkanku banyak hal hal akan cinta, dan otakku
dipenuhi kata-kata yang mendesak untuk keluar. Maka kuluangkan setengah jam
waktu tidurku untuk menulis ini, karena aku tahu, jika tidak, tidurku
selanjutnya tidak akan tenang.
Sunday 19 May 2013
Sepotong Kue Pelangi
Senja
bergerak menuju petang. Bau tanah sehabis hujan siang tadi masih membekas.
Desau angin di langit temaram, berhasil membawa sepotong kenangan yang masih
menjejak di kalbu. Percakapanku di sebuah kamar dengan seseorang siang tadi
masih segar di ingatanku. Latar hujan ringan di luar sana masih jelas
terdengar. Seseorang itu secara spontan mengisahkan suatu keadaan yang
dilihatnya padaku, aku yang masih sibuk dengan ketukan irama hujan di kaca
jendela, tidak terlalu memperhatikannya sampai ia menepuk pundakku. Ini tentang
seorang kakek tua di sebuah pasar umum yang ditemuinya, kakek itu sedang
menegadahkan tangannya mengharapkan keping-keping cinta. Aku terhenyak; siap
mendengar.
“Di sebuah sudut tempat seorang pedagang kue menggelar kue dagangannya, kakek itu duduk. Ia menegadahkan tangannya penuh harap. Ada binar dari sepasang mata sayunya yang berharap pasrah. Tubuh ringkih dan lemahnya duduk di bawah, tepat di samping sebuah meja tertutup yang menjual beraneka macam kue. Beberapa orang yang lewat berlalu-lalang di depannya, ada yang peduli, kadang kala tidak. Suatu waktu, pernah ada seseorang yang memberinya sepotong kue. Ada titik bahagia yang berbicara di mata kakek tua itu, ia memegang kue itu penuh syukur, mengucap terima kasih pada Tuhan karena telah ada uluran tangan kasih Tuhan lewat si pemberi kue padanya. Kakek itu memakan kue itu penuh suka cita. Tak seorang pun yang tahu, apakah si pedagang kue pernah memberi, mungkin sedikitnya satu kue setiap harinya pada si kakek tua. Si Kakek tua selalu ditemukan duduk di sana setiap harinya, hidup dari belas kasih orang yang lewat, yang sempat singgah untuk memberi senggenggam cinta untuknya. Terkadang, si Kakek tua sering kali ditemukan di berjalan dari pasar hingga depan jalan raya, sendirian, terkadang ia kelaparan (dan kita tak pernah tahu) untuk meminta-minta. Tak pernah ada yang tahu, si Kakek tua berjalan jauh setiap harinya.”
Aku
terhenyak. Seseorang yang bercerita di hadapanku itu, aku tahu, sepasang manik mata
hitamnya tengah berkaca-kaca. Karena ia tahu, hampir setiap hari ia berbelanja
di pasar dan bertemu si Kakek tua. Tak banyak yang bisa ia lakukan kecuali
memberi segenggam receh. Bagaimana jika beliau sakit? Tanya seseorang itu
padaku. Aku bungkam, tak pernah memiliki jawaban untuk sejuta kemungkinan yang
terjadi pada si Kakek Tua. Ada ruang di hatiku yang berkecamuk, sedang apa
beliau sekarang? Aku memejamkan mata, berharap sehabis siang basah ini, akan ada
selengkung pelangi yang hadir. Agar bisa kutitipkan pesanku padaNya, agar ia
selalu didalam lindunganNya, tetap hangat walau diselimuti dingin malam, tetap
segar walau rasa lelah singgah setelah berjalan jauh, tetap tersenyum di tengah
keadaan yang mencekik. Dan, semoga ada banyak orang yang mengulur tangannya,
memberi si Kakek Tua sepotong kue. Sepotong kue penuh pelangi. Kami pun menitik
air mata bersama, dalam sunyi siang yang begitu menusuk dan mengusik.
Subscribe to:
Posts (Atom)