Saturday 16 November 2013

Coincidence

Aku menghampiri seorang temanku di sebuah siang terik yang membosankan, kukatakan padanya, siang yang bosan itu seketika berubah ketika aku bertemu seseorang. Ia tak sengaja berpapasan denganku ketika kami secara ‘kebetulan’ membuka pintu kelas masing-masing secara bersamaan. Temanku itu mengernyit, lalu bertanya padaku, apakah aku percaya ‘kebetulan’?
Kata banyak orang – dan, aku menyetujuinya, jika setiap pertemuan, baik itu sekecil apapun, sudah ada skenario yang mengaturnya. Telah ada gores tulisannya; dimana penulisnya adalah Tuhan. Walau pertemuan sederhana dan singkat yang mungkin kita lupakan, seperti bertanya alamat pada orang di tepi jalan, menaiki salah satu taksi/ angkutan umum, memberi sedekah bagi pengemis di trotoar, bertemu pengamen jalanan, membantu kakek/nenek yang tidak kita kenal untuk menyeberang jalan dan lainnya. Masihkah kita ingat bagaimana wajah seseorang yang membantu kita menunjukkan arah jalan untuk alamat yang kita bingung? Masihkah kita terbayang wajah supir, pengemis, anak jalanan atau siapapun orang asing yang kita temui di jalan dan hanya singgah sesaat dari banyak detik hidup kita? Semua itu ada campur tangan dan sentuhan Tuhan di dalamnya. Justru, dari detail-detail sangat kecil nan simpel yang terlupakan dari ruang pikir kita itulah, Tuhan menyelipkan kejutan-kejutan.
Aku kembali pada kesadaranku, aku menggelengkan kepala menjawab tanya temanku itu.
“Karena, bukankah sebuah hubungan yang begitu akrab, kental dan hangat dimulai dari sesuatu yang sering kita sebut kebetulan? Namun, sesungguhnya bukan,” kataku kala itu.
Kita sering bilang, kebetulan aku naik angkot itu dan akhirnya bertemu si dia. Tanpa kita sadari, sesungguhnya tak ada kebetulan ketika kita menaiki angkot itu, kita memang dan sudah ada skenario agar kita menaiki angkot itu dan memulai pertemuan dengan siapapun di sana, yang nantinya menjadi bagian besar dari hidup kita. We called it God Scenario’s.
Temanku itu mengerling padaku sambil berjalan menlusuri lorong kelas, “Jadi, baiknya kamu berharap dia tak menganggap sapaan tadi hanya kebetulan belaka. Semoga saja dia menyadari jika itu sudah skenario Tuhan untuk mempertemukanmu dan dia. Entah untuk menjadi teman, sahabat atau…” Ucapan temanku menggantung di udara. Temanku hanya tertawa dan berlari pergi. Aku diam, menatapnya dari jauh, memilikinya menjadi temanku; itu juga bukan kebetulan. Lalu, bagaimana dengan mencintai seseorang itu? Ah, aku harap itu sebuah kebetulan.
This entry was posted in

1 comment:

  1. Nice, aku percaya bahwa setiap kejadian dalam hidup kita itu bukan sekedar kebetulan, semua sudah tergaris dan bisa terjadi juga atas usaha kita untuk mencapainya, bukankah mimpi dan harapan itu bukan kebetulan? Lalu aku tetap mempercayainya, begitupun jatuh hati dan memilikinya dengan cara ku itu bukan kebetulan tapi pilihan

    ReplyDelete