Wednesday 28 May 2014

Happily Ever After

Nyaris tiap malam sebelum tidur, aku selalu bermain-main dengan imajinasiku, berkhayal menjadi tokoh-tokoh fiksi dalam dongeng, cerpen dan novel yang baru selesai kubaca. Suatu hari, ketika aku jatuh cinta padamu, bisa kamu duga apa yang kukhayalkan; aku seorang putri dari istana bertingkat yang begitu memesona dan kamu adalah pangerannya – lengkap dengan kuda putih yang kamu naiki. Menawarkanku waktu untuk berdansa, meneguk sampanye dan melihat konstelasi bintang-bintang di langit. Lalu, aku memakaikanmu jubah raja dan kamu meletakkan mahkota ratu padaku. Dan, kita merangkai kisah cinta abadi layaknya di dongeng; ketika jarak dan waktu mampu dikalahkan oleh kekuatan cinta. Khas fiksi, khas dongeng.

Tawa kecil selalu berderai ketika kuketahui jika khayal yang menjelma mimpi adalah bunga tidur. Layaknya bunga, ia akan layu. Lenyap selamanya. Tidak ada yang bisa diharapkan dari pangeran dan putri yang menetap di ruang pikirku kecuali bayang-bayang semu. Tapi, aku masih berjuang. Sebab, kamu dan aku adalah ada. Bagiku, kamu masih seorang pangeran. Biar kubuktikan. Kamu selalu ada ketika kuceritakan penggal-penggal masa laluku yang sering kali datang menghantuiku – mereka, monster-monster masa lampauku, suka sekali datang mengolok-olok bayangku di cermin, kata mereka; aku si buruk rupa, upik abu. Kamu datang dan merengkuhku, bilang jika aku akan berubah layaknya Cinderella. Asalkan aku mau.
Kadang aku tidak tahu dimana letak kesalahan kita. Apa bintang-bintang yang bergelantungan itu, yang sering kita amati rasi dan kerlipnya, memiliki tafsir yang salah tentang kita berdua? Apa tengah malam, yang sering kita bilang sunyi yang melahirkan titik renung terbaik, memiliki simpulan yang salah tentang kamu dan aku? Apa lagu-lagu sendu, yang sering kita dengarkan bersama karena kedua penyanyinya memiliki hubungan yang istimewa, memiliki makna yang yang salah tentang cinta? Sehingga sekarang ini, cinta kita sudah berkarat. Sampai-sampai kita menjauhinya sebab sudah tua, rusak dan terlalu usang untuk diteruskan.
Detik-detik ini, aku kerap tak pernah mengabsen memandangi cinta yang berkarat itu. Tak kuketahui jika cinta pun ada waktu kadaluarsanya. Kupikir, jika ada rindu, amarah, kasing, peduli, sayang, air mata dan berbagai emosi lainnya di ruang hati kita masing-masing, akan mampu merawat cinta usang itu. Nyatanya yang kita punyai hanya pendam-pendam bisu.
“Tidak, sebab aku bukan pangeran dan kau bukan putri.”
Jikalau memang aku bisa mencintai dengan baik layaknya putri dan pangeran hanya dalam dunia mimpi dan khayalku, aku berharap tidak pernah bangun. Dan kita bisa happily ever after.

0 Comments:

Post a Comment