Thursday 8 January 2015

Perbincangan Dua Bapak Tua yang Didengar Purnama


Sebelumnya, ingin kuberitahu, aku punya kebiasaan aneh. Ketika jarum jam merangkak menuju angka sebelas dan menggelitik malam, hingga ia terkikik-kikik, yang suaranya terdengar jelas lewat gesekan rerumputan dan semak belukar, lewat rebut-ribut kecil angin, lewat cumbu dahan pohon dan lewat derik serangga malam, aku kerap menyeret kursi dan meja plastik tua dari beranda rumah ke pekarangan. Terlebih ketika malam mematut dirinya dengan taburan bintang dan sepotong rembulan, aku rela dipinang malam – bahkan ketika ia hanya tampil apa adanya; pekat polos hitam dengan selengkung sabit kecil di tubuhnya yang telentang.
Malam ini, kebiasaan itu kumat. Aku menunggu dengkur dari ruang kamar orang tuaku terdengar, lalu pelan-pelan, aku akan mengendap ke luar rumah. Menemui malam yang sudah menungguiku berlarut-larut. Kami pun bercengkerama sesaat sebelum bau asap itu menyapa penciumanku. Wajahku berkerut, itu bukan kepul asap beraroma macchiato favoritku atau  gumpal asap hangat teh hitamku. Ini asap yang membuat riasan wajah malam sedikit cacat. Ketika kuputar pandanganku, akhirnya aku menemukan dua orang bapak paruh baya yang nyatanya tengah berbincang seru, di depan setumpuk sampah yang tengah terbakar, yang asapnya membumbung tinggi, lalu dimainkan angin, menyinggahi tiap pasang mata yang belum lelap.
Dua orang bapak yang pakaiannya disamarkan oleh gelap malam, tanpa adanya penerangan lampu kompleks, membuatku tidak mampu melihat dengan jelas apa yang mereka kenakan; apakah cukup untuk menangkis udara malam yang mulai bertingkah. Tapi, malam yang kerap dihuni sunyi, berhasil membuatku mendengar jelas perbincangan mereka.
“Aku tidak terlalu suka pijar dan bara api, terlebih ketika menjelang tengah malam.”
Aku memicingkan mata. Berharap akan ada remang yang bisa memperjelas wajah si bapak yang tengah memecah hening. Aku merasa waktu bergerak lambat, malam seolah ikut mencuri dengar obrolan mereka; yang terasa janggal bagiku, sebab, benakku meraung menyatakan aku pernah melihat salah satu di antara dua bapak itu.
“Ini hanya bakar sampah biasa, akan padam dalam beberapa menit lagi. Maaf sudah mengganggumu dengan asapnya.”
“Bukan.”
“Lantas?”
Malam terlihat melipat tubuhnya; awan-awan gelap itu berbaris menutupi purnama, seakan diam-diam tengah melindungi tersangka. Bintang-bintang yang bergelantungan, mulai berkedip-kedip gemetar, seolah sebentar lagi akan ada yang terbongkar. Aku terhenyak, perubahan tingkah malam mengatakan padaku jika malam mengenal bapak itu. Udara malam berbisik padaku untuk lari, seakan tahu jawab apa yang akan diucapkan bapak bermata kosong itu.
“Karena api, pernah menjilat-jilat tubuh istri dan anak perempuanku, malam itu,” ujarnya sembari menyinggahi tatap matanya padaku, yang ditinggal malam yang kalut karena takut menyambut si Bapak yang beringsut untuk membunuh.  Malam tiba-tiba gaduh.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment