Sunday 22 February 2015

Al (3)

"…aku senyap menghadapi bayangmu yang membentuk hari-hariku.”
Pada sebuah petang, aku mendapatimu duduk di balik jendela besar kafe, yang memiliki jam dinding berbandul usang yang khas. Jantungku riuh. Aku menghampirimu. Dan, kamu – yang sedang ditimbuni kertas-kertas kerjamu – menatapku seolah bertanya; apakah kita pernah bertemu. Aku mengulum senyum. Ingin kubilang padamu, beriringan dengan tawa kecil yang terdengar hambar, jika aku bukan perempuan yang mampu membuat lelaki mengingatku pada pertemuan pertama. Ingin kukatakan padamu, bersamaan dengan lengkung senyumku yang terlihat pahit, jika aku bukan perempuan yang bisa membuat lelaki diam-diam mencari tahu tentangku, dan segera meminta nomor teleponku dari kawanku. Aku tidak semenarik itu. Tapi, aku hanya membisu dan mengambil duduk di hadapanmu yang masih melempariku dengan tatap bingung itu.

“Tidak. Aku hanya perempuan penjaja cerita, yang mencari orang untuk mendengar kisah-kisah. Apa kamu bersedia?”
Kamu tidak menjawab, dan aku tetap saja bercerita. Kuceritakan padamu kisah ini; tentang seorang perempuan yang gila, karena mengatakan pada orang-orang jika ia kehilangan matanya. Padahal jelas sekali, kedua manik hitam matanya masih terpasang di kelopak matanya yang menghitam karena lelah menantang malam. Perempuan itu bilang, ada dua alasan kemungkinan matanya lenyap; pertama, karena matanya menempel pada layar ponselnya sendiri yang menampilkan nama seseorang. Kedua, karena telah bersarang di hati seseorang.
Kamu mendongak. Kutemukan kejut di wajahmu yang penuh dengan garis-garis letih. Kamu menyahut, akhirnya kamu ingat. Aku tersengat, apa kamu tahu jika tanganmu yang tergenggam sekarang, sebenarnya menyimpan manik mataku? Lalu, kamu meneruskan ucapanmu. Kamu pernah bertemu denganku – tapi bukan aku. Sorak girang yang gaduh di ruang hatiku seketika lesap.
“Aku pernah bertemu denganmu, seseorang mirip kamu. Ia adalah perempuan dari masa laluku,” ujarmu, lirih; mungkin mulai dikoyak kenangan yang melarutkanmu. Kamu pun terus bercerita tentang seseorang lain – yang perlahan terdengar samar dan tak lagi kudengar.
Dalam gelap yang mengggulung, aku hanya melihat diriku yang runtuh di matamu, yang tak tahu ada cinta yang perlahan luruh, karena terus menunggu. Apa kamu pernah tahu?

Teruntuk Al, ini seranting kisah yang rapuh lainnya. Kutulis pada suatu sore yang cerah, tapi aku mendengar guruh bertalu di kejauhan. Mungkin ada yang tengah meneriakkan rindu.

0 Comments:

Post a Comment