“...dan malam ini aku terbangun.
Mendengar lengking suara seorang perempuan meminta tolong. aku lantas berlari
keluar dari mimpi. Perempuan itu terkapar, dihajar seorang pria yang telah ia
tikam sampai berdarah."

Apa kamu pernah dengar, Ver, tentang air mata yang turun dari mata sebelah kiri. Itu tangis yang terbit dari kesedihan, dan aku telah mencongkelnya. Membuangnya jauh-jauh.
Dadaku
bergemuruh. Kelindan kisah yang pernah ia sampaikan hari kemarin, berlari-lari
di telingaku. Aku belum lupa ceritanya tentang seorang lelaki yang mengejarnya
hampir delapan tahun lamanya, mendapatkannya, menawarkan sebuah rumah kecil,
yang berakhir menjadi terungku baginya. Ia mengendap dalam sebuah ruang kamar
hingga menjadi tulang; menangis sembunyi-sembunyi di bawah kolong berbau arang;
meraung bersama mata yang menyala merah nyalang; bersama seorang lelaki yang
kerap menjadikannya samsak dan berteriak jalang.
Apa kamu pernah lihat, Ver, tentang
air mata yang turun perlahan menjadi darah. Padahal sebelumnya adalah hujan yang
muncul dari ucap cinta.
Aku
meremas pundaknya yang berguncang. Ketika ia mendongak ke arahku, baru
kupahami; kesedihan paling dalam ada di tiap tetes air matanya. Kedalaman luka
ada pada raung tangis seorang wanita. Pada sebuah malam yang membiru; oleh
memar dan lebam. Tapi ia hanya menyengir lebar, matanya yang hanya tinggal satu
menatap lurus ke arah jendela luar yang mengarah langsung pada teras rumah. Aku
terhenyak; ketika kutengok keluar, aku melihat bola mata kirinya tertancap di
atas kuku tajam seorang lelaki yang sudah mati olek tikaman – tepat di
jantungnya.
0 Comments:
Post a Comment