Friday 24 April 2015

Membincangkan Luka

"…and I foresee the dark ahead if I stay.” – Fergie
Katanya, kemarin aku mengobrolkan tentang cinta, lalu berbicara mengenai rindu. Lantas, mengapa sekarang aku membincangkan luka. Kamu bertanya, sesungguhnya apa yang hendak aku kisahkan. Aku mematung, mungkin kamu lupa, di balik rindu yang berusaha terus-menerus merawat cinta, di situ sudah tumbuh luka yang diam-diam. 
Aku menemukan luka, hampir di tiap cerita yang kubaca. Dan, semakin banyak luka yang membekas jadi lebam, ketika itu mampir di cerita cinta. Sebagian besar luka itu menyulap diri jadi kenangan, rindu, waktu tunggu, angan, harapan, kunang-kunang, senja, hujan, purnama, pelangi, dan lain-lain. Tapi, ia lebih sering mengubah diri menjadi kamu.
Baiklah, aku bisa memberimu banyak buku yang menceritakan kisah apapun dan akhirnya ada luka yang menyelinap di antaranya, atau bahkan menjadikan luka sebagai akhir ceritanya. Aku pula bisa mengatakan padamu beribu curahan hati yang menyinggung luka, biasanya disertai air mata, erangan pilu, isak yang mengiris kalbu. Tak jauh-jauh dari memainkan hati, rahasia, dan waktu.
Namun, luka yang kutangisi di ujung malam saat aku melihat ada kelebat senja, terasa janggal. Aku mungkin akan luka, ketika kamu memilih seseorang lain bukan aku; tapi itu bukan luka yang membunuhku. Aku mungkin akan lebam, ketika kamu mengatakan kita hanya sebatas tatapan punggung saja, bisu dan tak saling menatap; tapi itu bukan lebam yang selamanya. Aku akan benar-benar luka, saat tahu kamu terluka karena bersamaku hanyalah memanen luka.
Aku pernah bilang, jika aku kerap melihat luka pada rasa yang bersikeras menyebut dirinya cinta. Karenanya, cinta dan luka sesungguhnya adalah teman akrab. Ketika aku memutuskan mencintaimu setiap harinya tanpa kamu tahu, sesering itulah aku menyapa luka. Mungkinkah jika luka tumbuh subur karena dirawat oleh cinta, kamu tergelak dalam tawa.
Hari ini aku bangun dengan sejuta rasa akan luka, terus bertanya apakah kamu bahagia hari ini, sudahkah kamu tersenyum, benarkah semuanya baik-baik saja, dan mungkinkah tiadanya aku adalah alasanmu menjalani hari tanpa luka?  Aku membiarkan diri dilumat tanda tanya, bimbang yang menimbang, dan keraguan tak berkesudahan. Katanya, aku bisa mengakhiri luka ini dengan mudah; berhenti mencinta. Tapi, bukankah setiap orang lebih memilih meniti luka dibanding meninggalkan cinta?
Hai, masih ingatkah pertama kita bertemu? Saat matamu bilang, cinta adalah metafora dari luka. Dan aku menyetujuinya. Kisah dongeng selalu bagus karena berakhir bahagia. Sedangkan kita tak pernah tahu jalan cerita kita seperti apa. Tapi dongeng adalah cerita yang ditulis manusia, dan cerita kita ditulis oleh Tuhan, itu lebih istimewa. Terima kasih untuk luka-luka yang ada; sebab itu merangkai cinta.
This entry was posted in

Yang Disimpan Buku Tentangmu


Kemarin hari buku. Kamu bilang padaku sembari tertawa, bagaimana jika kamu adalah buku. Bab mana yang paling kusukai, jenis buku apakah kamu, konflik seperti apa yang mungkin terjadi, cerita yang dimulai darimana, dan bagaimana kisah itu berakhir. Aku mengatupkan buku. Berusaha mencari-cari matamu, membisikkan hal yang mungkin tak kamu tahu; selama ini, kamu adalah buku itu sendiri; yang tak pernah usai kubaca. Lalu, aku membuka acak lembar buku yang adalah kamu. 
Kamu; adalah buku lama yang sudah menguning di sisi-sisinya, bahkan ada beberapa sobekan atau lipatan pada lembar halaman tertentu. Kavernya bahkan sudah sedikit buram oleh waktu, dan punggung bukunya sudah sedikit rusak dimakan rayap. Juga, pada beberapa bab penting, ada bekas noda kopi yang tertumpah atau jejak air mata yang mengering. Untukku, kamu adalah buku yang seperti itu.
Kamu; bukanlah buku yang selalu kubaca menjelang tidur atau membuka pagi. Kamu ialah buku yang yang tidak terlalu tebal, yang selalu ada di tiap tas kegiatanku setiap harinya – kadang terbaca, kadang tidak. Bagiku, kamu adalah buku yang seperti itu.
Kamu; ialah buku yang akan dipertimbangkan untuk menghuni gudang atau kardus yang siap diloakkan. Atau sebagai ganjalan pintu  atau bangku tua yang berderit. Menurutku, kamu adalah buku yang seperti itu.
Kamu yang masih disibukkan dengan berbuku-buku kerjaan, menengokku dengan tidak bersemangat. Seburuk itukah kamu jika diibaratkan sebagai buku di mataku? Hari itu senja, dan aku beringsut dari balik timbunan buku, menghampirimu. Mata malam milikmu menghampiriku, lantas kujelaskan ini padamu;
Aku selalu menyukai buku lama yang sudah renta oleh zaman. Karena ia adalah jenis buku yang paling dicari, yang keberadaannya tak lagi di rak-rak toko buku ternama. Menemukannya adalah perjuangan; jika tak ada di toko buku virtual, berarti ia tersimpan dan terawat di museum bahasa atau sastra, atau di perpustakaan kolektor buku, atau mungkin di rak buku salah seorang kutu buku. Dan, memilikinya adalah pengorbanan. Itu adalah kamu, sebuah buku yang istimewa.
Aku memiliki buku favorit, tidak terlalu tebal. Namun, aku membutuhkan waktu lama untuk menghabiskannya. Karena aku takut membacanya terlalu cepat, dan ceritanya usai. Aku hanya ingin buku itu ada menemaniku pergi ke manapun, karena buku itu membantuku membunuh waktu, mengusir bosan, dan bersamaku melakukan banyak hal lainnya di senggang dan luangnya aku. Aku tak ingin ada kata ‘epilog’ yang kubaca dari buku itu; aku ingin cerita itu terus berlanjut. Ini adalah jawaban ketika kamu bilang cerita seperti apa dirimu saat menjadi buku. Kamu akan menjelma cerita yang tak pernah ingin selesai kubaca, kamu terlalu menarik untuk diakhiri.
Tapi, selalu ada buku yang mewakili kenangan. Seperti kenangan, lebih baik ia bermukim tetap di masa lalu dan tak kembali. Tempat bagi kenangan yang menyerang adalah gudang tua yang terkunci. Itu juga adalah kamu; tentang bayangmu yang berusaha kuusir pergi di tiap mimpi, tentang namamu yang berusaha kuhapus tiap tereja, dan tentang kamu yang berusaha kulepas tiap permainanmu dimulai. Layaknya setumpuk buku yang ingin kubuang; tak pernah terjadi, karena buku-buku itu mengingatkanku pada luka yang masih saja kupelihara.
Kamu diam, membiarkan kita berdua menjadi bisu layaknya buku-buku. Dan, jika itu adalah bisu yang seperti buku, berarti bisu itu bercerita, mungkin tentang kita, atau juga bukan. Mungkin akan kuakhiri dengan kalimat yang paling sering kita temukan pada buku-buku cinta yang menggalau ria; kamu adalah yang kerap aku tulis, dan aku adalah yang tak kamu baca.
This entry was posted in

Yang (Masih) Tertinggal di Ruang Kelas


Siang-siangku kerap dihabiskan dengan sederhana; aku melalui jalan yang sama, menyinggahi rutinitas hari yang mengulang, dan berakhir pada rumah. Tapi, siang itu – ketika terik masih mengusik letih seperti biasa-biasa, aku melirik pada sebuah belokkan yang akan menuntunku kembali pada sebuah gedung sekolah jika aku meniti langkah pada jalan panjang di belokkan itu. Lagi-lagi, rasanya sudah lama sekali, setelah aku menanam kenangan selama tiga tahun di sana, dan merapikannya setiap hari. 
 “…kira-kira, kapan terakhir kalinya kamu kembali ke sekolahmu dan mengatakan rindu pada guru-guru?” Suatu waktu, pertanyaan itu menelisikku, ada banyak kenangan yang tak terurus, yang teronggok begitu saja kubiarkan dimakan waktu. Lalu, lama-lama usang, hingga aku hanya bisa meraba-raba kelebat bayangnya. Dan perlahan, itu bisa menyiksa.
Pada siang yang sama, ada sapaan senyum yang dilempar seseorang di tepian jalan. Samar, aku mengenalinya sebagai guruku. Itu senyum hangat yang memeluk; minta aku untuk pulang, sekadar bercengrama sekali lagi tentang aku yang dulu selalu duduk di bangku kayu urutan kedua dari depan, menjawab soal-soal di kertas bagaikan mengarang cerita, paling menyukai nasi goreng kantin lengkap dengan segelas teh bercampur susu, melontarkan ide-ide di kantor guru, murid yang langsung pulang ke rumah sehabis bel usai pelajaran berbunyi, menjadi sasaran empuk untuk ditanyai jawaban saat ujian, bercurhat ria di toilet sekolah, dan yang menangis saat kejutan ulang tahun dari rekan-rekan kelas. Aku terkesiap, nyatanya ingatan itu masih begitu segar terjaga.
“…sekali-kali main dong ke sini.”
Aku melempar tas ke sembarang sudut di kamar; ada resah yang memburu. Lintasan bayangan tentang pesan-pesan singkat yang kerap kutukar bersama guru-guruku, menyuarakan satu hal sama; bermainlah sejenak ke tempat aku dulu pernah menyemai cinta dan menimba kenang. Semesta seakan memanggil-manggilku. Siang yang sama, yang belum habis, aku mengurung diri di kamar berpendingin, membuka halaman-halaman majalah edisi terbaru yang selalu dipastikan ada di lemari buku aku – yang sebentar lagi rubuh saking berat beban buku yang ditanggungnya, membahas mengenai hari kelulusan dan persiapan pesta prom. Aku tertawa; lirih dan menutup lembar majalah itu. Sebab, tiap kalimat yang tercetak berisi hal-hal apa saja yang akan kamu rindukan dari kehidupan sekolah, apa yang akan kamu lakukan untuk persiapan pesta perpisahan, dan buku tahunan. Bagaimana jika kubilang, pada sepotong siang itu, aku tengah dihajar kenangan?
“…kapan kita foto bareng lagi dengan seragam SMA?”  
Sebuah komentar di akun instagramku yang kuterima malam itu, dari seorang adik kelasku yang masih saja mengingatku. Nyatanya hari itu ia tengah meniti lembar potretnya denganku. Ada banyak sekali rindu yang minta aku hadir untuk menggenapinya. Dan, karenanya, aku menggantung angan, tulisan ini mampu menyentuh kamu, yang selalu mempunyai ruang di hatiku; guru-guruku, teman-teman kelas, sahabat-sahabat khususnya di sekolah tempat aku pernah ada. Aku mencintai kalian, dan akan segera mengatur waktu temu. Salam rindu.

Monday 20 April 2015

Jangan Lupa Bahagia Hari Ini


Kita berdua tahu, hari ini Senin; waktu ketika bilik kerja kita tergantung kata ‘jangan menganggu’, tertimbun kesibukkan, dan terpasung tenggat-tenggat waktu yang memacu kamu bagai robot. Tapi ini sudah malam, saat senja sudah lewat – berarti kamu telah pulang, beringsut menuju bangku malas dan bergelung dalam istirahat. Sudah ada jingga yang menyentuhmu bak rumah. Lalu, hadir gelap malam yang berusaha membisikkimu untuk lelap. Dan jika kamu pertanyakan mengapa aku hadir sekarang, karena ada dongeng pengantar tidur untukmu. Maukah kamu mendengarnya sebelum kecupan hangat Ibumu di dahi kepalamu menutup hari ini? Akankah kamu mendengarnya sebelum selimut tebal membungkus tubuh mungilmu purnama ini? Inginkah kamu mendengarnya sebelum kita bertemu dalam mimpi-mimpi? Kamu tertawa; sebagai jawaban jika kamu akan menarik bangku, menyeduh secangkir earl grey dan mendengarkan. 
Baiklah, akan kumulai dengan kata-kata yang paling klasik; pada suatu hari. “…ada seorang pemilik toko yang menyuruh anaknya pergi mencari rahasia kebahagiaan pada salah seorang paling bijaksana di sebuah kastil. Anak itu bertemu dengan si bijak. Tapi, si bijak tak memiliki banyak waktu untuk mengobrol dengan si anak. Si bijak pun hanya memberi dua sendok teh berisi dua tetes minyak, sembari berpesan pada si anak agar berjalan-jalan selama dua jam di kastilnya sekaligus tidak menumpahkan tetes minyak. Ketika si anak kembali, utuh dengan dua tetes minyak di atas sendok, si bijak bertanya apa yang si anak lihat. Si anak menggeleng, ia tahu kastil itu bagus, tapi ia tidak menikmatinya karena terlalu fokus pada kedua sendok. Si bijak pun menyuruh si anak untuk berjalan-jalan sekali lagi dengan dua sendok tetes minyak yang sama, tapi kali ini si anak harus menikmati pemandangan kastilnya. Setelahnya, si anak pun kembali. Ia sudah bisa bercerita tentang keindahan kastil, tapi dua sendok tetes minyak itu sudah tidak ada. Si bijak hanya berkata: ‘rahasia kebahagiaan adalah dengan menikmati segala hal menakjubkan di dunia ini, tanpa pernah melupakan tetes-tetes minyak di sendokmu’.”*
Hari ini aku tertegun oleh kisah pendek itu. Kerap aku menganggap setiap hari yang ada adalah sama. Tanpa tahu jika setiap hari yang sama bisa terjadi karena orang-orang tidak menyadari hal-hal indah yang terjadi dalam hidup setiap harinya; seiring terbitnya matahari.* Dan, tahukah kamu; hari ini aku bahagia – walau aku bangun dengan sejuta perasaan muram, tapi pada akhirnya aku bahagia. Karena setiap detiknya adalah berbeda, kesempatan baru, dan yang istimewa. Karena ada momen yang menjejak, cinta yang menyapa, dan puisi yang menyisa. Karena ada kamu, yang aku tahu masih di sana; terjaga dan membaca. Kamu; yang menjadi alasan fajar tersenyum, senja menyinggah, malam meneduh, hujan turun, dan hari yang bahagia. Jadi, jangan lupa bahagia hari ini, karena bukankah kamu tahu aku di sini; setiap harinya ... mencintaimu. 

*kisah 'si anak-si bijak' (yang kuceritakan kembali di sini dengan versi pendek) dan nukilan diambil dari The Alchemist karya Paulo Coelho
This entry was posted in

Thursday 16 April 2015

Tiga Pertanyaan Perihal Kamu


Pada sebuah petang yang terasa asing – karena jingga yang harusnya singgah sejenak, justru menguning, aku menemukan kalimat ini di kepalaku; “…puisi adalah tempat paling hening bagi cinta untuk sembunyi.” Aku rasa, itu yang menerbitkan tanya pertamaku padamu:
…jadi, sampai kapan cinta  memilih sembunyi?
Tanpa kamu tahu, pertanyaan ini muncul pada satu di antara banyak puisi yang diam-diam kutulis; dan tak pernah terkirim. Aku pernah bilang padamu, aku bukan penyair – karenanya tidak selamanya tulisanku mampu berbunyi, ia justru pandai bersembunyi. Tapi mengapa harus puisi? Karena, rasa ini adalah puisi*.
Lalu kamu bisikkan padaku pada waktu-waktu letih, langit punya jawabannya. Saat kudongakkan kepala pada payung biru berluaskan cakrawala itu, aku hanya menemukan kosong – segala yang menarik telah habis dipinang olehmu. Itu mengingatkanku pada menanti; tak pernah terlalu cepat atau terlambat, selalu ada waktu yang tepat untuk rasa yang siap tertambat. 
…jadi, walau hanya bayangan yang hadir mengiringi malam?
Itu pertanyaan kedua, darimu; setelah kubilang, kamu adalah yang menjelma bayang pada malam aku memejamkan mata, dan yang teringat ketika pagi aku terjaga. Dan, pertanyaan sederhana yang paling menarik di antara pertanyaan-pertanyaanmu yang membentuk cerita-ceritaku. Apa yang terlintas di kepalamu untuk kata ‘bayangan’?
Aku pernah membaca cerita pendek tentang seorang perempuan yang mencintai lelakinya yang sudah tiada – hari-harinya hanya dipenuhi hadir bayangan si lelaki lewat bau tubuhnya yang menyisa di antara pakaian-pakaiannya, rutinitas di rumah, dan banyak lainya yang melekat pada kehilangan, tapi tidak si bayangan. Sampai akhirnya, si perempuan melukis tubuhnya sendiri – lukisan seseorang yang dicintainya dan menjadi gila. Begitu mengerikannya sebuah bayangan. Lagipula, bayangan kerap menakutkan, itu frasa yang sering dipakai oleh anak-anak untuk melukiskan hantu-hantu. Ataukah, justru bayangan adalah keindahan; karena ia menunjukkan kamu hidup. Karena ia menapak setia kemanapun kamu pergi, serta memastikanmu akan keberadaan cahaya. Tak peduli bayangan itu berumah pada kenangan, atau pula kesedihan. Ia selalu punya cerita – yang bagiku, itu berarti kamu.
…suatu malam, aku bermimpi tentang perempuan yang menangis. Lalu kamu bilang, kamu mengalami sejumlah mimpi buruk. Mungkinkah itu kamu?
Pertanyaan terakhir, lagi-lagi darimu. Kujawab; mungkin saja itu aku, mungkin saja itu perempuan lain, mungkin saja itu karakter permainan, mungkin saja itu tokoh khayalan. Tapi, mungkin saja itu memang aku, yang berusaha menyapamu – menyampaikan rindu-rindu. 
 *ada sebuah gambar mengenai ‘understand poetry’, yang mungkin bisa menjelaskan ini, kamu bisa menghubungiku

This entry was posted in