Saturday 19 September 2015

Kamu yang Mengajakku Jadi Juliet


Kusen jendela yang sudah usang itu menimbulkan bunyi berderit tiap dersik ribut yang menyertai hujan menderas di luar halaman rumah. Rintiknya memercik mengenai lantai yang menggigil. Kalau mereka yang bilang komposisi hujan adalah satu persen cairan dan sembilan puluh sembilan persennya kenangan, dan kita sepakat tentang itu, berarti lantai rumahku kini berserakan ingatan masa lalu. Aku berniat untuk mengusirnya pergi – dengan alat pel – tapi yang kenangan temukan tentangku justru tubuh beku yang dibungkus mantel tebal yang sudah kumal, duduk di atas sofa yang sisi kulitnya sudah robek di mana-mana dan membiarkan busa yang membuat gatal penciuman itu bebas mengudara.
Di luar dingin. Aku paham mengapa kamu lebih memilih membangun kamar lengkap dengan selimut hangat di ruang kepalaku dan tak berniat pergi. Berlari-lari disana tanpa henti. Kamu tumbuh subur di sana – sebab aku selalu memberimu makanan; sececap rindu. Kamu berteriak keras memanggilku tiap kali lapar karena aku coba melupakan kamu yang ada di sana – jadi inilah alasan suaramu mengikuti ke mana-mana. Kamu menggedor-gedor dinding-dinding kepalaku ketika aku mulai menekanmu untuk tenggelam dalam pikiran sibukku – jadi ini sebab nyeri yang menjalariku pada tiap usaha melenyapkanmu. Aku memejamkan mata, dan dingin itu merasuki tulang rusukku. Aku menggigiti bawah bibirku, tapi sia-sia. Hujan tidak memberi ampun.
Gunturnya yang bertalu menunjukkan kemahaannya berhasil membunuh senja hari ini. Singgasana sore dipegang hujan yang ingin balas dendam kepada siapapun yang  bisa menitipkan kenangan sesuka hati tapi tak berusaha menghadapinya, termasuk kepada Bumi yang tidak pernah sadar jika langit mencintainya. Aku pun membiarkan kamu hidup di kepalaku, memelihara dan merawatmu sebisa mungkin – karena aku sadari, setengahnya aku sudah berhasil kamu miliki, dan membuangmu adalah keputusan yang membelahku jadi dua. Membuatku tak sepenuhnya hidup. Tapi, apakah kamu tahu ada setengahnya aku dalam genggaman tanganmu atau saku celana jeans hitammu?
Ini seperti kita bermain peran dalam sebuah drama. Kamu yang berani meminum racun untuk mencari semesta lain tempat kita bisa berdua saja, dan aku mengikutimu dengan menusukkan diri pada pedang. Tapi, setelah dramanya usai, aku cinta padamu hanya permainan kata.
Dan, aku masih berdiri di atas panggung seusai latihan yang menyentuh larut malam, mengenakan pakaian putri, berbisik, mungkinkah kita bisa tetap dalam kepura-puraan drama dan hidup selamanya di sana yang katanya menjanjikan akhir bahagia. Kalau syaratnya harus mengubah diri menjadi vampir, atau tenggelam di tengah samudera luas berpegunungan es, aku akan mencoba untuk menyanggupi diri. Sebab, mana yang nyata dan yang tidak kini hanya dipisahkan dinding yang begitu tipis. Bisa saja kita salah melihat, yang kita bilang tidak nyata dan hanya cerita, sesungguhnya mengandung kebenaran. Salah satunya adalah cinta yang kita temukan secara bebas diungkapkan dan diperlakukan sejati justru mudah kita dapati dalam dongeng.
Belum ada tanda-tanda malam akan mengalah pada mendung milik hujan. Ia tetap saja menyandera langit, merebut sedikit demi sedikit singgasana yang tadi direbut paksa hujan. Deras yang tadi tampak mulai melembut, menuju reda. Aku gemetar. Kenangan yang diwakili hujan kini berhulu pada malam yang gelap. Akankah ingatan yang meminangmu juga menjadi demikian akhirnya; hitam, muram, dan tak lagi bisa dilihat karena sudah tenggelam.
Kalau begitu, inginkah kamu menyelami khayalan paling liarku? Dan, mati di sana.

0 Comments:

Post a Comment