Saturday 31 October 2015

Air Mata yang Bercerita Tentang Malam Paling Heningnya



Kawanku yang paling asing itu, pada suatu hari yang datar tanpa kejutan, bertanya padaku bagai mengajakku menantang terik dengan kembang api. Kira-kira seperti ini; apa yang terjadi pada malam-malam paling sunyimu yang tak kutahu?
Aku menarik lengannya, membawanya ke sebuah ruang yang hanya ada aku dan ia. Jika ada yang lain, itu adalah sepasang mataku yang bertanya-tanya ada apa. Sampailah aku hanya berdua dengannya, pandanganku berusaha berbicara menyampaikan tatap tanda tanya yang saling berlesakan menuju padanya. Sedangkan ia membiarkan bisu bermain menjadi raja dan mengizinkan rasa penasaran melakon sendiri dengan tingkah tak santun, ia seolah berbisik; ceritakanlah.
“Malam itu, aku lagi-lagi teringat. Kita saling berlomba siapa yang terlihat tidak peduli, dan aku jatuh berkali-kali. Aku bukan peserta yang baik dalam kontes semacam ini, jadilah kita memperlakukan rindu tanpa temu, selain prasangka-prasangka yang sama sekali tak membantu. Kita pernah lebih dari sekadar melalui hari-hari yang panjang tanpa apa kabar, tapi berusaha menjadikan diri masing-masing terbiasa dengan kehilangan dan ketidakhadiran. Nyatanya, keberadaan bukan menjadi perhitungan kita di urutan pertama.” – di sini, aku berkaca-kaca dan berdesis pada kawan asing itu, aku mendebat arti selamanya dan sejatinya yang sempat seseorang tawarkan pada pertama kali bertemu.
“Malam itu, aku tiba-tiba teringat. Dan, walau temu itu akhirnya mewujud, masih ada kegelisahan dan resah yang menyisa. Bergeliat tanpa henti mengusung terka-terka penuh tanda tanya, apakah temu tadi cukup meninggalkan kesan yang bisa menyulam kenangan kecil yang mampu mengejar terus-terusan tiap malam agar melahirkan rindu lainnya. Nyatanya, tak ada kepedulian atau segenggam kecil kekhawatiran tentang apakah salah satu di antara kita benar-benar baik-baik saja setelah itu.” – di sini, aku menangis dan berbisik pada kawan asing itu, aku rindu seseorang dengan wujudnya waktu dulu.
“Malam itu, aku lantas teringat. Cinta kita bisa digambarkan dengan adegan film yang teramat sederhana seperti ini; aku membongkar lemari bajuku, mencari pakaian paling sesuai, membuka saluran Youtube dan belajar merias diri dengan cara paling sederhana, melatih senyum di depan cermin, memikirkan sepanjang malam topik apa yang bisa menahan seseorang lebih lama dan berbagai siap-siap lainnya yang memakan waktu berjam-jam untuk memenuhi temu lima menit kita yang singkat. Dan, kamu datang begitu saja, tanpa tawaran makanan-minuman, memulai obrolan sambil lalu, pulang dan lupa menawarkan kebersamaan menuju rumah yang selamat. Nyatanya, artikel di majalah remaja yang kubaca itu benar, kalau otak tak pernah bisa menahan rasa bahagia akan cinta selama lebih dari satu tahun, tak heran jika cokelat manis dan bunga indah hanya bertahan enam bulan pertama.” – di sini, aku terisak, dan berkata pada kawan asing itu, aku takut mencinta seseorang yang tak menemukanku di tengah keramaian atau melihatku di antara silau cahaya.
Kawan asing itu mematung. Ia masih menerungku dirinya dalam diam. Kata-kata atau suara pun tak satu pun yang ingin merusak isak. Takut kalau-kalau air mata marah dan meraung histeris, berteriak mengapa ingatan bisa menghajar hati seseorang hingga babak belur dan mengorbankan air mata sebagai cerita akhirnya. Tapi, aku bukan orang yang bisa berlama-lama dalam sunyi yang bisa menyiksa.
Cinta itu, kawanku, seperti hidangan di atas meja. Perlahan dingin, dan kau tak lagi lapar*. Atau, dalam prakteknya bisa bagai timbangan rusak, yang hanya berat di salah satu bagiannya walau sudah diperbaiki dan ditimbuni dengan cara apapun. Ada jenis perasaan yang mungkin hanya aku yang punya terhadapnya, dan ia tidak. Namun tak apa, pada luka, aku belajar ulang cara jatuh cinta.”

*sajak Aan Mansyur, dalam bukunya 'Melihat Api Bekerja'

Mengawini Kesedihan



Bagaimana harusnya tempat bagi kesedihan? Saat itu aku ‘hilang’ di pinggir kota, dan menemukan sebuah kafe yang penerangannya bergantung pada lampu remang tepi jalan. Di dalam kafe tanpa jendela dan berdinding kayu berpelitur itu, tiap mejanya hanya diberi sebatang lilin minyak, yang daun apinya bergerak-gerak dijilati dersik malam. Letaknya tepat berseberangan dengan sungai paling besar di kota itu. Aku mengambil bangku di teras kafe, tak ada pelayan yang datang menanyai apa yang ingin kupesan. Tak heran, gantungan kayu bercetakan ‘tutup’ bergoyang-goyang di depan pintu kafe. Baiklah, ini paduan paling sunyi yang kutemui sampai malam ini; riak-riak sungai yang permukaannya memantulkan purnama pucat, bersama kafe tua yang sudah tutup – bau asap rokok yang bercampur dengusan nafas putus asa masih tercium, bahkan aroma kepul hangat kopi hitam juga terhidu; menempel di dinding-dinding kayu yang debunya menebal. Kutahan diri untuk tidak memejamkan mata, dan diajak kenangan yang setia di sana pergi entah ke mana, sedangkan aku ke mari untuk memburu keasingan yang kurindu.
 Dan, tiba-tiba seseorang duduk di hadapanku. Muncul dari mana yang tak kutahu.
“Kamu tak berani menyentuh banyak di kafe ini. Tidakkah batang-batang lilin minyak yang masih menyala di kafe yang sudah tutup ini menarik perhatianmu?”
“Coba kamu tanyakan hal sama pada air mata, mengapa mereka tak tertarik dengan kesedihan,” jawabku hampir asal.
“Aku rasa, seperti itu memang kesedihan diuraikan. Ia tidak membuatmu menangis atau melandaikan air mata. Kesedihan adalah wujud paling maha dari setubuh sunyi, luka, harapan, putus asa, amarah dan berbagai dentam rasa lainnya yang saling berseteru dalam dirimu tapi tak kunjung tergenapi. Kamu malu, juga sesak merasa kalah, lantas menyembunyikannya dari orang yang paling kamu sayang.” Ujarannya terbelah menjadi satu persatu kata yang menjelma silet kecil yang menubi menghujam ulu hatiku. Sudah bermalam-malam air mata itu menggumpal hingga kehilangan ceritanya sendiri mengapa ia turun, hingga bahasa yang paling tepat untuk air mata yang lupa pada alasan ia tumpah adalah kesedihan.
Aku tertawa. Orang itu menajamkan tatapannya, lurus padaku dan kudapati bibirnya bergetar seakan menahan sesuatu begitu tegarnya. Aku terpana.
“Kesedihan itu, wahai perempuanku, wujud paling mengerikannya adalah tawa.” – yang tak diiringi bahagia seutuhnya, ingin kutambahi demikian. Tapi, diam mengunci bibirku kemudian. Mendadak saja obrolan ini seperti undangan terhormat bagi duka paling hitam untuk berkunjung, dan aku sama sekali belum siap.
Bagaimana harusnya tempat bagi kesedihan? Saat itu, lilin-lilin minyak yang menyala di tiap meja kafe di ruang dalam yang gelapnya mengental dan di teras kafe yang hitamnya memekat, mati dalam satu gerakan waktu yang serempak. Menyisakan kesunyian yang memasung jiwa yang tinggal sendirian di sana – itu adalah aku, karena orang tadi sudah lenyap menjelma bayanganku sendiri. 

Catatan yang tertinggal:

"Tempat seharusnya bagi kesedihan, ada pada bulir air mata terakhirmu, yang mungkin sudah lupa kapan kamu teteskan. Karena kamu berharap tak mengingatnya lagi, sedangkan kamu tak pernah tahu begitulah cara kesedihan tumbuh; disembunyikan menahun hingga kamu biasa akan kehadirannya. Ah, saat itu kita berdua tahu, yang paling membuatmu bahagia adalah yang sekaligus menjadi kesedihanmu paling dalam."
This entry was posted in

Perihal 'Aku Cinta Kamu'



Seharusnya aku tidak mengisahkannya di sini. Lebih baik kita membuat janji lewat pertukaran teks singkat melalui jalur pribadi, mengatur sebuah pertemuan tertutup di kafe pinggir kota yang kupilih; yang dindingnya berwarna krem dan digantungi potret-potret foto sepia, pelayannya mengenakan pakaian bernada muram, lalu asing dan keganjilan saling meningkahi orang-orang yang datang ke sana. Kafe yang menjadikan kesedihan sebagai menu utamanya. Sebab, ini kisah yang awalnya dilabeli rahasia – kudapati dari perempuan yang mulutnya berbau alkohol di suatu malam, dan seraya menghisap tembakau, ia menceritakannya padaku.
“Sudah punya pacar? Ah, biar kuganti pertanyaannya, adakah yang sudah berani-beraninya bagai pangeran yang baru memenangkan pertempuran dengan naga, mengatakan cinta atau mengutarakan sayang padamu?”
Kubiarkan koor suara ramai lelaki-lelaki paruh baya yang melontarkan rayuan murahan pada pelayan perempuan yang menyajikan minuman berwarna, tawa keras remaja-remaja tanggung di pojok ruang, bisik-bisik gosip sekelompok wanita dewasa bersepatu selop tinggi berwarna merah, sebagai jawabannya. Ia menengok padaku dengan mata sayunya yang seakan siap tidur saat itu juga. Aku tetap diam, dan wajahku terang-terangan menunjukan ketidaknyamanan. Tapi, nada suaranya yang terdengar serius – bahkan tegas ketika mengajakku terlibat dalam obrolan, membuatku bertahan. Ia melanjutkan.
 “Jika pada suatu masa, di tempat yang sudah kamu khayalkan dan jadi nyata, bersama orang yang kamu pilih atau entah memang namanya ada di kitab penyatuan milik Tuhan – “ ia tertawa ketika mengucap sebutan agung itu; Tuhan. Sembari terbatuk dan membuang puntung rokoknya yang masih menyala. Pandangannya menerawang ke atas ruang yang dijilati lampu warna-warni yang membuat sakit mata.
“...mengatakan ‘aku menyayangimu’ padamu, coba tanyakan pada ia yang berbisik demikian; sudah berapa perempuan yang mendengar kalimat itu selain dan sebelum kamu. Tak apa bukan kamu yang jadi pertama, perkaranya bukan itu. Tapi, apakah kamu yang menjadi terakhir yang mendengarnya, ataukah kamu hanya berpura diperlakukan seperti yang pertama, tak berbeda dengan yang lain-lainnya.” Suaranya serak, mendekati putus asa. Dengan sedikit kasar, ia memantikkan api pada ujung tembakau barunya. Seketika asap tembakau pun mengepul, membumbung tinggi, lalu lenyap bersama udara pengap ruang riuh itu. Aku merasa kejanggalan menekan dadaku, kita membicarakan hal-hal yang begitu sepi di ruang yang berteman akrab dengan ramai. Ini tidak ramah terhadap perasaan, aku ingin beranjak. Tapi tangannya yang lebih besar dan kuat dariku, menahan lenganku dengan satu sentakan.
 “Jangan pernah percaya pada lelaki yang mengatakan ‘aku cinta kamu’ sehabis seks. Karena bisa saja besarnya cintanya diukur dari seberapa besar ukuran payudara dan pinggulmu,” tukasnya tegas, tapi masih kutangkap getar di akhir kalimatnya. Aku tertegun, sekuat apapun ia, aku yakin masalah apapun itu telah berhasil menyentuh titik paling rapuhnya.
Aku mencoba meraih tangannya yang terkepal, tapi ia menepisnya cepat. Ketika aku berusaha mencari-cari matanya, kudapati pandangannya sudah berkaca-kaca. Ia berdiri tiba-tiba, memesan satu botol minuman yang bagiku entah. Lalu menyambarnya dari nampan pelayan, pergi meninggalkanku begitu saja. Aku hendak menyusulnya ketika secarik kertas yang sudah diremas hingga berbentuk bola, teronggok di atas bangku yang baru ditinggalkannya. Aku membuka kertas itu, merapikannya – dan kesan pertamaku adalah, itu sebuah surat.
Kapan terakhir kali kamu bilang pada perempuanmu yang kamu pinang untuk menemanimu hingga hari tua, bahwa kamu berterimakasih pada mereka, karena telah melahirkan peri-peri kecil untuk mewarnai hari-harimu? Selain merutuki dan mempertanyakan mengapa gaun-gaun kecil mereka yang dikenakan saat gadis dulu untuk menggodamu tak pernah lagi terlihat dipakainya, lantas berganti menjadi daster longgar yang tak menarik. Kadang kita lupa, mereka abai pada perawatan diri mereka karena memastikan rumah tetap hangat ketika kamu pulang, peri-peri kecil tetap aman di istana mereka, dan kebutuhanmu tetap penuh saat kamu minta. Saking sederhana, dan di matamu itu hal remeh temeh dibanding perempuan lain yang duduk di atas meja kantormu dan menunggu untuk kamu santap sebagai selingan makan malam.
Dan, ini juga untuk kamu, yang dua belas tahun lalu mengatakan ‘aku mencintaimu’, dan sekarang berbisik padaku dengan mata asingmu yang seolah bilang padaku jika kamu tak lagi melihatku seperti pertama kali kita bertemu. Lalu, aku masih saja mengingat bagaimana binar dan semangatmu mengucapkan sumpahmu di altar yang menjadi saksi selamanya kita berdua. Kini, itu hanya jadi kaset rusak yang diputar di ruang kepalaku saat mengenangmu.
“Aku mencintaimu.”
Kudengar bisik seorang lelaki di samping mejaku. Lengkap dengan mata dan tangan lelaki itu yang melata di tubuh perempuannya. Aku tersengat, kutatapi lelaki itu bergantian dengan surat koyak di genggaman tanganku.
This entry was posted in

Friday 30 October 2015

Perempuan yang Mengusap Air Matanya Berkali-kali


Aku memanggilnya perempuan bermata malam, bukan karena manik dan bola matanya hitam, atau buta oleh  burung gagak hitam mematuk biji matanya, hingga meninggalkan lubang gelap yang menganga. Melainkan, air mata yang keluar terus-menerus tanpa henti, seakan kesedihan begitu berpora dan kedukaan tumbuh subur dari dalam matanya. Tapi, air mata itu tak pernah benar-benar jatuh melandai hingga melewati lehernya. Ketika air mata itu turun dan saling menyatu di ujung dagunya, mengalir pelan ke lehernya dan akan menyentuh dadanya yang terbungkus kemeja gelap, perempuan itu akan tertawa. Lalu, si air mata itu pun lenyap. 
Banyak yang bilang aku gila – dan orang-orang selalu takut pada kegilaan, tanpa tahu kewarasan dihasilkan dari kegilaan-kegilaan yang diterima dan disepakati bersama lalu menjadi kelaziman – terutama karena aku menceritakan perihal si perempuan bermata malam ini pada mereka. Tentang perempuan yang ada ketika malam melarut, di dalam cermin rias kamarku. Ia bersandar, seraya mendongakan matanya. Seakan mencari langit malam, lalu berharap salah satu dari bintang yang bergelantungan di sana meminang bola matanya, jadi ia tak perlu lagi menitik satu persatu air mata.
Akhirnya pada malam ke sekian ini, aku memulai cengrama dengannya. Kuperhatikan mata sembabnya tidak kunjung merah walau meneteskan berbotol-botol, berember-ember, bergalon-galon air mata tiap malamnya. Aku pun mengetuk-ngetuk kaca cermin, berusaha menarik perhatiannya.
Lebih banyak tentang kapan pertama kali ia memiliki mata yang menghasilkan air mata seperti itu, apakah itu kutukan? Ia tidak menanggapi, kecuali terus menurunkan air mata dan tertawa sebelum mencapai dada. Aku semakin penasaran. Siapa gerangan yang membuatnya seperti itu, ataukah memang ia terlahir dengan mata yang terus menderaskan air mata?
“Kamu mengingatkanku pada seorang lelaki yang padanya tak pernah sempat kusampaikan jika matanya begitu indah, lebih dari sekadar cermin atau jendela yang menempel di tubuhnya. Matanya yang berhasil membuatku menyimpan pertanyaan hingga hari ini perihal apakah cinta tetap bisa dikatakan demikian jika sunyi yang kupilih sebagai cara mengungkapkannya. Jangan bilang ini cerita remaja patah hati akibat pendam rasa yang tak sampai, Lelaki Bermata Malam. Sebab, kuberikan setiaku padanya dalam tunggu yang tak ia harapkan, kuuraikan akhirnya walau terakhir kami bertemu jawabannya adalah matanya yang sulit sekali kucari, dan hanya menyisa tatap yang kurindu. Tak apa, biar sunyi yang merenda akhir ceritanya dan cinta ini masih kupelihara. Walau ada sesal, mungkin seharusnya kubiarkan saja diam mengunci langkah. Tapi, mataku terlalu liar ingin menyapanya tiap malam.”
Perempuan bermata malam itu tiba-tiba menengok ke arahku. Menatapku cukup lama dengan matanya yang basah karena entah. Baru kusadari, ini pertama kalinya mata kami bertemu setelah belasan malam aku menemaninya – jika bisa disebut demikian, karena aku hanya duduk di sampingnya, lalu mengamati guncangan di pundak mungilnya ketika tertawa. Dan, aku tak pernah merasa sunyi begitu menepi, lalu diam-diam berdentam memasuki rongga dadaku dan berumah di sana. Sedangkan, air matanya semakin banyak. Menciptakan kabut.
Aku dengan pongah berusaha melawan kabut dan senyap yang saling bergulat mengaburkan pandanganku, dan memaksaku meluncurkan air mata. Aku tetap menajamkan pandang, memicingkan mata walau aku merasakan mataku mulai berair. Aku mendapati si Perempuan Bermata Malam menitikan air matanya. Dan, kali ini tanpa tawa yang mengusap air mata itu pergi. Kini, ia menatap lurus ke arahku. Matanya memerah, perlahan tetesnya berubah jadi darah. Kemeja hitam yang dikenakannya ia singkap dengan sengaja, dan mataku terbelalak olehnya. Dadanya penuh luka, tak bisa kubedakan mana kulit dan daging – penuh lubang yang matanya bilang dari janji yang tak pernah tergenapi, berbau busuk yang matanya katakan dari harapan yang tak kunjung menuai jawaban. Itu luka yang belum mengering, yang dari dada menggerogoti jantungnya. Dengan melihatnya saja, nyeri berkelindan menginjak-nginjakku.
Ketika aku membalikan tubuh dan tak ingin melihatnya, aku merasakan ada cairan hangat yang turun dari ujung mataku. Aku menyekanya dengan punggung tanganku.
Darah. Bukan air mata.
Mataku menjelma dua cermin kecil, ada bayang lelaki yang begitu kukenal di sana yang memudar dan leleh dalam darah. Dadaku sesak. Kurasakan sakit yang sudah menahun tak pernah kutemukan penyembuhnya mulai menjalar sekali lagi.
Luka.
Aku gemetar. Kuarahkan tubuh sekali lagi ke cermin, tak ada lagi si perempuan bermata hitam. Hanya udara dingin yang menyelinap masuk dari jendela yang tidak kututup rapat. Dan, sunyi yang tertawa-tawa bersama gerak jarum jam yang melambat. Tiada siapa-siapa di dalam cermin itu, kecuali aku.
This entry was posted in