Friday 21 October 2016

Sayang, Ini Bagian-bagian Liar Dariku yang Tak Pernah Sempat Kamu Tahu


Begini, sayang. Kita berlima – tengah berkumpul lengkap untuk pertama kalinya pada semester ini. Berbincang tanpa arah yang jelas selama lebih dari lima jam. Aku bilang, kita menjadi dekat karena tanpa sengaja satu sama lain mampu menemukan keanehan masing-masing dan melihatnya sebagai sesuatu keunikan untuk ditemani. Kawanku tertawa, menimpal, “Setiap orang punya keanehan-keanehannya sendiri. Dan, kamu hanya butuh mengenali dua orang yang mengetahuinya untuk tahu kapan kamu harus menjadikannya bagian dari hidupmu: yang menjauhi keanehan itu, atau justru belajar mencintai keanehan itu.”
sumber gambar: pexels.com
Lalu, sayang. Aku mengatakannya pada kita satu persatu: keanehan sudah jadi makanan kita setiap hari, yang kita santap bersama telur dadar favorit di piring melamin putih yang sudah retak karena dibeli dengan harga diskon di mobil truk biru yang keliling rumah. “Kita melihat keretakan masing-masing serupa keanehan,” kataku dengan delapan mata mengerubungiku.
Lantas, sayang. Kapan kita benar-benar membuka retakan itu – 
kapan kamu berani mengakui keliaran yang kamu pelihara dalam dirimu? 
Aku penasaran alasan mengapa piring yang kita beli bisa retak. Aku hanya tahu ia retak baru pagi ini, tiba-tiba saja. Kamu pun heran. Sejak kapan. Tak ada yang tahu. Sama seperti kita yang tidak tahu mulai tanggal berapa keliaran yang berupaya aku kamu sembunyikan tumbuh jadi monster yang menelan diri sendiri? Kita berlima hening. Es krim yang kita beli dengan harga murah, mencair pelan-pelan bagai jam pasir yang menunggu kapan kita mendiamkan kegelisahan dengan mencoba lebih jujur pada diri sendiri?
Maka, sayang. 
Tak ada yang berani memberi suara pada perasaan-pikiran liar untuk bicara. 
Tiada yang juga benar-benar mau mendengarnya. Aku bilang – kita seperti pergi ke pesta topeng. Katanya kamu mencintai seseorang di sana, kamu ingin mengenal dirinya lebih daripada yang ia tunjukkan ke orang-orang. Tapi kadang kali kamu yang mengucapkannya, tak memahami sebetulnya yang kamu katakan. Keinginan mengenal lebih karena perasaan yang orang bilang cinta – berarti lebih dari sekadar mengetahui ketakutan dan kelemahannya, tapi juga menerimanya. Satu paket dengan keliaran-keliaran, yang ia punya.
Tapi, sayang. Kita berlima masih diam. Begitu juga kamu. Kenyataannya, orang-orang bilang ingin mengenal lebih tapi tak pernah cukup siap. ‘Kelebihan-kelebihan’ itu nyatanya terlalu banyak baginya – bagi kamu. Lalu sering kali akhirnya kita menekannya agar tidak keluar, jadi yang baik-baik saja. Sayang, ketahuilah, sampai di sini, tak ada cinta yang namanya apa adanya. Kita hanya berusaha menekan apa yang liar, apa yang kata orang-orang tidak sesuai, apa yang kamu bilang ingin kamu ketahui tapi sesungguhnya tak siap – agar diam-diam bisa sesuai dengan kriteria yang tak pernah kamu ungkapkan untuk menyenangi hati orang yang kamu rasa, kamu cintai.
Jadi, sayang. Berhenti bilang kamu menyayangiku apa adanya. Aku bukan apa adanya, kamu hanya tidak mengenaliku sebagai ada apanya yang utuh. Berhenti pula untuk setelah ini memintaku membongkar keliaran dan kamu bilang pasti bisa menyetujuinya.
Soalnya, sayang. Bagaimana jika di awal pertemuan kita, aku segera menarik tanganmu, membawamu ke sebuah resto asing dan segera bertanya tentang apa pandanganmu mengenai 32 tahun Soeharto yang sempat membuat kakekku hilang, berapa jumlah perempuan yang diam-diam ingin kamu tiduri dalam hidupmu, mengapa kamu masih bertahan dengan agamamu sekarang, pernahkah kamu berpikir nabimu adalah seorang alien dan kitab suci yang kita baca berkali-kali tanpa benar-benar mengetahui maknanya selain hanya karena kebiasaan adalah hasil penafsiran yang salah dari orang-orang dulu sebelum kita, apa pikiranmu tentang anak-anak, masa depan, budaya, dan, dan, dan.
Pertanyaannya, sayang. Apakah kamu siap dengan keliaranku yang ingin mengikatmu di atas kasur motel asing dan membiarkanmu berteriak minta tolong sembari aku mencongkel kedua matamu yang kubilang begitu indah tiap lampu dimatikan? Apakah kamu cukup kosong untuk menerima kenyataan aku mencintaimu agar memiliki kesempatan untuk membunuhmu – sehingga aku memiliki kehidupan sekaligus kematianmu? Apakah kamu cukup kuat jika aku menyeretmu keliling melihat-lihat betapa kesedihanku menjadi Tuhan dan kehilanganmu menjelma jadi impian sekaligus ketakutan, sehingga aku ingin memberimu ciuman yang tak pernah kamu lupakan tapi sebagai stempel selamat tinggal? Aku menyimpan seribu keliaran dalam diriku yang menunggu kamu tahu – tapi kupikir kamu cukup takut untuk mengetahuinya barang satu saja.
Karena, sayang. 
Kamu pergi sebelum aku sempat mengutarakan apa pun selain kelebihan yang kujual berulang kali depanmu untuk membuatmu jatuh cinta. Lama akhirnya kusebut itu sebagai cinta dan kesialan-kesialan. Dan malam ini aku bertanya, kapan aku berhenti jadi perempuan bodoh yang memilih menghindari keliaran demi melihatmu tinggal?
sumber gambar: entrepreneur.com
 Sebab, sayang. 
Aku lelah mencintai lelaki cerdas, kaya, tampan, hebat di ranjang, puitis, pintar jadikanku bak putri, relijius, tubuh kotak-kotak, rapi, lincah, harum, mapan, keturunan kerajaan, sayang keluarga, punya Ferrari, dan yang mereka bilang sebagai syarat kesempurnaan lainnya. Aku ingin memiliki cinta sederhana pada seorang lelaki yang masing-masing dari kita mengakui keliaran yang dipunya dan tetap jatuh cinta.
Sampai kemudian, sayang. Aku tak tahu siapa yang memulai. Tapi salah satu di antara kita berlima, mulai memutar botol air mineral bekas di atas meja. Yang ditunjuk mulut botol, akan dipaksa untuk mengakui keliaran rahasia yang dipunyainya. Lalu, kita semua mendengar hal-hal paling gelap, yang setiap kalimatnya adalah kejutan: jatuh cinta pada pacar orang lain, membeli barang-barang mahal di luar gaji buta hanya demi reputasi beberapa menit di depan orang-orang berpakaian perlente yang kamu sebut sebagai klien, dikejar lelaki pemilik Mercedes tapi sinting tapi kamu menikmatinya, mengolok-olok perempuan lain dengan sebutan nakal sedangkan dulu kamu kerap meminta lebih ketika ciuman lelakinya hanya sampai di dahimu saja, memakan junk food setiap hari dan bilang program dietmu tetap berjalan lancar, pernah seminggu tidak memakai bra di kantor, diam-diam tak pernah berhenti membuka profil mantan yang berkali-kali kamu sebut hidung belang, dan, dan, dan. Ketika salah seorang kawan menangis sembari bercerita – tiba-tiba aku teringat padamu.
Kamu, sayang. Yang akan kuakui sebagai keliaranku nantinya, pada giliranku bicara.


Cerita Kecil Tentang Gadis yang Kerap Kutemui di Toilet Kantor


Aku tak pernah benar-benar segera bekerja saat sudah sampai kantor. Kira-kira lima belas menit lamanya ini yang kulakukan: membeli roti dengan topping sosis ayam bersaos (sesekali sandwich seharga sepuluh ribuan) di kantin asing yang baru kukenal semingguan, menyalakan laptop, menyambar koran terbaru seraya mendesah atau menggeleng kesal tiap membaca judul headline dan subjudul-subjudul di halaman muka, dan sesekali mengecek ponsel – berharap ada satu pesan darimu; tapi biasanya tidak. Lalu, aku akan menghabiskan lima menit di bercemin di toilet, memoles bibir dengan lipen merah tua favoritku, menjepit poni, dan menyapa seorang gadis yang sudah siaga di bilik toilet. Tiap pagi aku sering berpapasan dengannya tengah mengganti tisu toilet jadi yang baru atau membersihkan bilik, sesekali memastikan persediaan sabun masih ada.
Para pekerja keluar masuk bergantian menggunakan bilik toilet, dan melakukan temu singkat seperti ini dengannya: menukar senyum sopan dan satu-dua kali mengucapkan selamat pagi. Tidak ada yang benar-benar memerhatikan. Apa yang dilakukannya bukan sesuatu istimewa seperti berhasil menyelesaikan target sebelum deadline, menghasilkan lebih dari sepuluh konten yang laku untuk diklik perharinya, dan sejenisnya. Semuanya terasa tak jauh beda dari hari-hari sebelumnya sampai suatu pagi ketika aku sedikit terburu-buru, karena sempat telat sepuluh menit, gadis itu menahanku. Aku masih ingat ketika aku memalingkan muka dari cermin toilet, dan benar-benar menatap ke matanya. Itu mata yang cukup tua dan sedikit lelah – seperti sudah lama melihat bagaimana dunia terasa begitu keras melawannya.
Mbak, karyawan baru di sini ya? Sebelumnya saya tak pernah lihat. Mbak kerja di apanya
Aku berani bertaruh, ia mengumpulkan keberanian yang sudah ia kumpulkan selama berhari-hari ini memandang penasaran padaku, sampai akhirnya itu selesai dalam satu tanya. Ia menghindari tatapanku, cukup ketakutan – aku merasa ia memandangku begitu terhormat dan bersalah karena telah berani bertanya sedangkan ia bukan apa-apa. Aku terkesiap.
Ingin sekali aku meyakinkannya untuk lebih tenang dan bilang, 

orang-orang harus belajar untuk berhenti melihat seseorang dari berapa banyak ijazah yang berhasil dikumpulkannya atau titel yang tengah diembannya, dan mulai menaruh perhatian pada bagaimana orang berusaha keras meraih impiannya dan kebaikan-kebaikan yang ia lakukan untuk orang lain. 
sumber gambar: tumblr.com

Gadis itu menatapku lagi – menunggu. Kujawab langsung, dan tiba-tiba aku merasa tidak ingin terburu-buru. Aku perlu ada di sana – mengetahui apa yang sepasang mata miliknya simpan: ada setengah binar yang takut untuk bermimpi, tapi sekaligus menyimpan harapan besar di sana yang diperangkap ragu-ragu dan keputusasaan yang sepertinya datang begitu sering.
Begitu ya, Mbak. Mbak jadinya di sini gara-gara tugas sekolah atau memang kuliah? Hem, Mbak, kalau untuk bisa kerja kantoran kayak orang-orang di dalem, butuh ijazah S1? Harus kuliah ya Mbak? Kalau SMA enggak bisa ya, Mbak?
Tanyanya sekali lagi – takut-takut. Tapi ada kelegaan di nada suaranya. Itu seperti pertanyaan yang sudah lama disembunyikannya, yang tak pernah ia beri suara untuk bicara, yang ia simpan lamat-lamat dari para pekerja yang lalu lalang di toiletnya, lalu akhirnya menemukan waktunya padaku. Akhirnya aku berbincang dengannya sekitar lima menit dan segera ia akhiri ketika pekerja lain masuk. Aku pamit dan masuk ke dalam ruang yang kubayangkan diintipi gadis itu sebelum ia pulang dari membersihkan toilet. Diam-diam ia menjinjitkan kakinya untuk bisa menembus pintu kaca yang bagian atasnya tidak buram untuk mengamati para pekerja yang sibuk di depan komputer dan laptop, lalu menitipkan impiannya di antaranya. Memandang takjub tiap pekerja keluar dari ruangan itu dan bermimpi suatu waktu doa-doanya sebelum tidur bisa jadi nyata. Impian yang mungkin ia peluk sendiri dan tak pernah ia sampaikan pada orang lain – tapi aku menangkapnya. Ia punya angan-angan sederhana: ijazah sarjana dan kerja di kantor.
Berminggu-minggu setelahnya. Aku tak pernah melihatnya lagi. Aku pun sudah mulai melupakannya, sesekali teringat padanya dan kupikir ia mungkin sudah mendaftar di salah satu sekolah tinggi untuk mengejar angan-angannya yang masih tergantung di udara. Tapi, aku bertemu dengannya lagi ketika aku pindah ke gedung kantor sebelah. Ia sedikit lebih cerah dan sudah bisa tersenyum lepas saat menyapaku. Tidak sekaku dulu.
Mbak pindah ke sini toh? Oh ya Mbak kuliah di mana? Uang pangkalnya berapaan sih Mbak? Semesternya? Itu berapa lama ya Mbak? Mbak kalau ijazah D3 doang bisa enggak Mbak?
Aku mengulum senyum. Ingin kukatakan begitu bahagianya aku masih bisa bertemu dengannya dan ia tidak pernah berhenti memelihara mimpi-mimpinya. Satu persatu aku jawab pertanyaannya, ada kekecewaan luka di sana ketika mendengar jumlah nol yang kusebutkan. Lalu kubilang, ada banyak pilihan universitas di luar sana, dan wajahnya terangkat – seperti menemukan dukungan. Pekerja lain sudah masuk ke dalam toilet dengan tiga bilik. Ia pun cepat-cepat mengepel lagi. Aku membungkus pandangku dan melangkah keluar.
Sejak itu, aku tak pernah bertemu lagi dengannya – karena aku tak lagi mengantor. Tapi, aku sering kali teringat padanya sesekali. Biasanya ingatan yang datang bersama doa kecil semoga mimpi yang tak pernah ia sebutkan terang-terangan padaku itu – lahir kembali dalam wujud utuh. Dan hari ini aku membuka buku, menemukan tokoh seorang gadis dengan semangat tak pernah padam, dan aku membayangkannya berdiri di salah satu halaman kampus dengan topi toga – memberitahuku dengan lembut, betapa setiap harinya sesungguhnya adalah terima kasih. Yang tertimbun keluhan-keluhan, sesekali caci maki. Sampai aku butuh usaha keras untuk menemukan cara bagaimana bersyukur.
Aku pengen jadi kayak Mbak.
This entry was posted in

Tuesday 18 October 2016

Dijual Rumah dengan Segala Kehilangannya


Ada yang ingin kuceritakan padamu. Sekitar tujuh hari yang lalu, aku singgah sebentar ke rumah salah seorang senior. Katanya ia baru saja pindah, aku tak pernah menanyakan alasannya mengemas seluruh pakaian dan barang-barangnya hanya untuk menempati rumah kecil yang sudah tak diurus pemilik sebelumnya selama lebih dari tiga tahun. Kupastikan bukan karena uang – karena seniorku tidak menjual rumah miliknya. Ketika aku sampai di sana, koper-koper bajunya masih tergeletak di ruang tengah yang sempit dengan hanya satu sofa yang busanya sudah keluar ke mana-mana. Ia baru selesai mandi saat aku menerobos masuk pagar rumahnya yang tak terkunci. Kami saling bertukar kabar, dan belum sempat aku minta disuguhi teh tawar hangat, ia sudah mengajakku pergi: ke rumah lamanya. Hal mengejutkan, rumah yang ditinggalnya itu begitu terawat. Ia mempersilaku masuk, dan rentetan setelahnya sulit kuungkapkan padamu: ia masuk ke kamarnya dan membawa satu boks dus. Isinya bingkai-bingkai foto, jepit rambut, kaos-kaos yang kelihatannya belum dicuci jika dicium dari baunya, dan hal-hal lainnya. Lalu ia menyambar sebuah album yang berisi potret adik perempuannya yang baru meninggal sebulan silam. 
sumber foto: sailorjennie.com
Aku terkesiap: ia menghindari kenangan hanya untuk menemukannya kembali.
Aku pulang dengan perasaan gelisah. Kamu tahu, aku jadi teringat tetangga di kampung halamanku. Tetangga yang rumahnya terletak di paling ujung kompleks, hampir satu deret perumahan menyebut si tetangga itu gila. Karena hampir tiap petang, ia selalu duduk di teras rumahnya, menangis dan tertawa seraya memutar video keponakkannya yang meninggal bertahun-tahun lalu. 
Aku terkesiap kedua kalinya: ia sengaja menyeburkan dirinya dalam duka untuk merasakan kehadiran seseorang itu kembali.
Aku cepat-cepat masuk ke dalam rumah, mengunci rapat-rapat jendela. Tiba-tiba aku ketakutan. Padahal aku tahu tidak akan ada yang akan masuk – maling sekalipun, apa yang ingin ia curi? Aku membeli rumah ini setahun lalu dari iklan di koran lampu merah: dijual, rumah yang lengkap dengan semua kenangannya. Aku cuma punya kenangan. Tapi, aku masih saja menutup semua pintu, dan menggembok pagar. Menyelindung di kamar bersama pikiran-pikiran yang tak pernah sendiri; ditemani ingatan-ingatan tentang kamu. Aku meraba-raba meja kecil di samping tempat tidur, mencari obat yang diberi dokter seminggu lalu. Meneguknya cukup banyak tanpa membaca keterangan dosisnya. Setelah aku cukup tenang, aku menyambar ponsel, memutar lagu-lagu yang biasa kudengarkan sejak kamu pergi*. Meraih buku-buku puisi yang kubaca sejak kamu beranjak. 
Aku terkesiap ketiga kalinya: aku memeluk kehilangan demi menegaskan setidaknya aku pernah memilikimu, walau sekali saja, dulu. Sudah cukup.
*kalimat yang dinukil dari puisi Lang Leav

Sunday 9 October 2016

Sirkus Jatuh Cinta



sebelum mengucapkan selamat tinggal, aku melontarkan pertanyaan itu, dan jawabanmu adalah gema tanpa makna. aku sendiri, seolah telah berteriak di hadapan mulut jurang yang kosong – hanya untuk mendengar gaung kata-kataku sendiri berulang-ulang*
Aku mengatupkan cinta dan kesialan-kesialan Lang Leav. Tanyanya selalu terasa sama, padahal sudah kesekian kalinya aku berburu buku puisi yang berbeda – apakah kerap begitu: tidak akan pernah selesai selama aku belum percaya kamu membiarkan punggungmu yang bicara padaku. Aku membuka layar sekali lagi, menekuri tulisan yang belum genap, sama seperti rumah tanpa jendela yang masih berdiri dan aku yang masih hidup dengan kebahagiaan yang tak pernah lengkap. 
sumber foto: favim.com

“Mungkin aku mencintaimu, kamu mencintaiku harus datang bersamaan dengan tanda tanya,” desisku entah pada siapa – angin enggan berbincang, orang-orang asing tanpa sapa, dan musik-musik yang dimainkan dengan nada janggal. Aku menghirup aroma tembakau yang dihembuskan lelaki di belakang mejaku – tiba-tiba saja aku menyukai hal-hal yang seharusnya kubenci: mendadak saja aku masih mencintai orang yang sudah lama pergi.
Aku berpikir tentang napas dan dada yang sesak, bukan karena serentetan penjelasan ilmiah tentang reaksi dan produksi hormon ketika seseorang bersedih yang menjadikan demikian. Tapi tentang ruang kosong yang biasanya diisi perasaan-perasaan yang buatnya tenang, kini ditempati hal yang terasa asing: kehilangan-kehilangan. Aku menghirup dalam-dalam asap tembakau yang mampir sebentar – rasanya sementara yang begitu kamu? Atau memang segalanya hanya terasa salah?
Dan kamu masih serupa gua besar yang luas sekali yang kutemukan dalam penjelajahan tanpa peta, perangkapnya adalah tiba-tiba. Tapi aku tak pernah menyesal, itu gua tempat aku bisa memeluk diri sendiri dengan begitu nyamannya. Lalu setelah lama di sana aku baru menyadari, aku mengucapkan cinta berulang-ulang dan hanya aku sendiri yang mendengarnya. Dan suaraku yang memantul pada dinding yang membalasnya.
Aku menarik diri dari teras kafe. Hendak menuju halte bus, menunggu bus rongsok yang tak mengenalku begitupun aku padanya, datang menjemput. Hampir tengah malam. Dan aku teringat padamu: Kamu adalah bekas lipstik yang tertinggal pada secangkir kopi yang isinya sudah setengah dan mendingin. Kamu adalah percakapan basa-basi untuk menciptakan kita baik-baik saja. Kamu adalah perjalanan tengah malamku yang liar dengan mobil hitam berkap terbuka. Kamu adalah lagu sedih yang kuputar-dengarkan sebagai lagu cinta romantis: yang paling kusuka.

*judul dan paragraf awal yang dicetak miring dalam tulisan ini terinspirasi dan dikutip dari puisi Lang Leav dalam bukunya 'Love and Misadventures'

Tawa Pincang dalam Tokoh Lelaki Cerita-ceritaku



Suatu waktu, aku berkumpul dengan teman-teman pada salah satu tim proyek kepenulisan yang obrolannya selalu membuatku hidup. Ketika bahasan kita mulai lepas dari hal-hal teknis dan tenggat waktu yang mencekik, aku menyeletuk; kira-kira, bagaimana melarikan diri dari seseorang yang melulu membentuk tokoh-tokoh lelaki dalam cerita-ceritaku. Seorang temanku lantas melirik padaku dengan pandangan terkejut, ia tahu aku telah gagal menjadikan tulisan-tulisanku sebagai tempat sembunyi – semakin lama justru makin hening, dan aku mati di dalamnya. Ia menanggapinya datar, “Coba kamu mainkan PoV 3, bukan PoV 1. Itu bisa membantumu mengambil jarak dan jeda dari si aku-nya dia.”
Setelahnya, perbincangan balik ke tempatnya bermula. Namun pelan-pelan aku tak lagi ada di sana – suara-suara hanya bagai latar yang timbul-tenggelam kedengarannya. Kafe yang dindingnya bertempelan coretan dan ilustrasi gambar jejepangan itu, tiba-tiba mengantarku padamu yang mengelola pemberitaan terkait budaya Asia Timur. Aku terhenyak – gerimis mulai turun malu-malu, bulirnya menempeli jendela kaca berukuran besar yang membingkai kota. Jalanan basah, hujan benar-benar tumpah. Aku cepat-cepat membungkus pandangan. Melipat tangan dan berupaya tenggelam dalam bahasan yang semakin seru bergulir di sekelilingku.
Tapi ia tidak pernah menyelamatkanku. 
sumber foto: favim.com

“Jadi, apakah kamu juga demikian? Mengencani dua pria dalam waktu bersamaan, sama seperti kebiasaanmu membaca dua buku yang berbeda dalam satu hari yang sama.”
Tiba-tiba kawanku tertawa – aku mengekorinya, terdengar hambar. Aku memang bukan lagi di sini, walau mataku masih menempeli lalu lalang pelayan kafe yang wajahnya mulai kusut. Aku menopang dagu, kubiarkan bagian ingatanku yang lain, berpisah sejenak dari kepalaku yang berusaha keras mempertahankanku tetap terjaga dalam obrolan itu.
“Sebab, membelah diri jadi dua bukan cara manusia hidup dan berkembang. Lagipula, itu bukan keahlianku – dan tak berniat untuk kuasah. Menyatu, dan tidak pernah beranjak lagi, 

memilih jadi setia adalah jenis tantangan tanpa akhir, penakhlukkannya membutuhkan waktu selamanya, yang membuatku untuk tetap tinggal.”

Rasanya aku sulit bernapas. Aku tidak mengatakannya. Kuangkat saja sebelah tanganku untuk memesan sepiring camilan. Teman-temanku tidak curiga – tak mungkin kukatakan pada mereka, di sini, tepat di meja segi empat panjang ini ada perempuan yang megap-megap karena dihajar kenangan.
Aku lupa menanyakan hal yang sama padamu. Perbincangan singkat yang berakhir begitu saja – masih janggal, seperti ending cerita menggantung yang kadang kala tidak kusuka. Lagipula, itu memang belum selesai. Ada kenyataan lain yang masih kusimpan; kesulitan mencumbui pria lain yang kubuat sendiri di dalam ceritaku. Terakhir kali kuciptakan lelaki yang bermain piano tua di sebelah altar gereja, langit-langitnya berlubang dan dari celah kecil itu masuklah berkas cahaya bulan yang samar-samar menemani permainannya. Tapi aku hampir terbunuh ketika berupaya mencintainya dan meniupkan roh padanya agar bergerak, karena selalu saja gagal. Sebab, cerita-ceritaku selalu berujung padamu – tokoh-tokoh lelakiku mengubah diri jadi kamu akhir-akhir ini. Jadi, tanyakan saja pada mereka soal keraguan-keraguanmu.
Seorang pria, seniorku, menepuk bahuku – ia adalah orang yang sama, yang pernah menyuarakan padaku untuk menguraikan sepotong rasa dalam pengungkapan, jangan sampai cinta bersembunyi selamanya dalam sesal-sesal yang didekap kata terlambat. Ia sampaikan padaku, dengan tatap lurus seakan menerobos dinding pertahananku dan ia berhasil menemukan ada yang luka di sana, “Mungkin tak akan sembuh. Tapi kukira begini, karakter lelaki itu, si dia itu, kamu preteli satu-satu. Dipadu dengan karakter lain-lainnya, mungkin akan menghasilkan sosok yang sama sekali lain. Dalam artian, kamu memanfaatkan ingatan yang menyakitkan itu sebagai kekuatan untuk menciptakan karakter yang lain...”
Aku diam – dan kita berdua tahu jawabannya; aku tak betul-betul mampu melakukannya. Mendadak, ia bangkit dari bangkunya, menyambar sekotak rokok di atas meja, lalu sebelum pamit pulang dari aku dan teman-teman, ia berbisik, 

“Bagiku kini, kenangan; sekalipun menyakitkan, bukan untuk dilupakan. Biarkan saja itu ada, dan hidup selamanya dalam kepala kita. Sesekali jadi tulisan. Sesekali menemani kesendirian.”

Ia berlalu. Aku mematung. Termenung. Kudapati ia berjalan sedikit menyeret – ia hanya mengenakan sandal karet yang alasnya berwarna biru, dan hanya sebelah di kaki kirinya. Kaki kanannya dibiarkan telanjang. Satu lainnya sudah hilang, dan sisanya, tak ingin ia buang. Katanya, kesepian si sandal kiri mengingatkannya pada hal-hal lain yang belum selesai tentang hatinya.
Kita pun tertawa; pincang.

*terima kasih untuk Niduparas Erlang

Saturday 8 October 2016

Suaramu yang Kudengar Tiba-tiba Menyelip Di antara Denting Piano




Belakangan ini aku suka sekali menulis ditemani 27 May, dan bagai kebiasaan orang-orang; aku memintanya agar terus di sini dan mengulang dirinya tanpa jeda bersama sepaket cerita yang dibawanya. Sahabatku geleng-geleng kepala lantas menyeletuk, katanya ia punya saran manis untuk aku yang mahir dalam menyepi.
sumber foto: pinterest.com
“Mungkin kamu bisa mempertimbangkan seorang pianis untuk mendampingi cerita-ceritamu. Bayangkan kamu mendeklamasi nada-nadanya, dan ia memainkan tokoh dalam kepalamu dengan cara yang berbeda. Itu akan jadi resital dan pembacaan hening paling diingat. Lalu, tiap ia duduk di balik piano itu, kamu berdiri di sampingnya, setia membantunya membalik halaman-halaman partitur. Pada progresi-progesi yang tak terduga yang tiba-tiba menyerang, kamu bisa mengecupnya dengan cara bersahaja lewat puisi.”
Lalu, aku teringat padamu. Kamu pernah berusaha merekam suara hujan untukku – dan aku memutarnya seribu kali lamanya, berusaha meraba apakah ada tawaran merajut kenang bersama di sana.

Namun, rekaman itu sudah berhenti, hujan tetap turun, berita tentang seorang pianis yang menghadiahkan sepotong komposisi di tanggal pernikahannya bukan lagi hal yang mengejutkan, dan aku melayang di antara tulisan-tulisan yang tidak pernah kuselesaikan. Perihal kamu.

Aku mencoba melarikan diri dari mata sahabatku yang menunggu. Kupandangi cangkir melamin putihku yang berisi kopi penuh – kamu tahu aku tak pernah ingin mengganti earl grey, aku hanya senang melihat hangat cairan hitam itu mati pelan-pelan dalam dingin; sebab rasanya kisah kita bagai bercermin padanya.
Ingatan tentangmu; singgah, sekali lagi. Dan aku tak berusaha menepisnya. Kunikmati saja seperti penungguan lampu kota, mungkin karena sepanjang menanti aku tahu ada harapan di seberang jalan. Sampai semuanya menyerah pada tanda tanya.
“Aku tak membutuhkan nada-nada dari lelaki pianis paling andal. Untukku, suaranya – suara dia, suara kamu – yang memanggil namaku seraya mengetukkan punggung jarinya ke meja kerjaku, adalah sepotong nada paling indah yang pernah kudengar. Suaranya – yang menyapaku tanpa rencana, sekadar ucapan selamat terbit dan benamnya matahari, ialah musik favoritku yang ingin kuputar berkali-kali. Dan, karenanya, percakapan dan perbincangan bersamanya – bersama dia, bersamamu – adalah yang mampu menghidupkan cerita-ceritaku. Komposisi yang menerima tepuk tangan paling banyak sekalipun tak mampu membuat sebait puisiku bernyawa, karena puisi-puisi itu tak punya rumah di sana, ia pulang padanya – pada dia, padamu.”

“Bagaimana jika selamat tinggal adalah ucapan yang dilantunkan suaranya?”

“Bukankah lagu paling manis sekalipun hanya bermain sekitar 3 sampai 5 menit? Tapi kamu masih mencintainya bukan?”
Mari kumulai ini dengan satu pertanyaan – baiklah, kamu akan berdesis sembari memicingkan mata, memutar ulang tentang berapa tanya aneh yang kerap kuajukan padamu secara tiba-tiba, mungkin kamu belum lupa, terakhir aku mengirim berbagai tanya-tanya ke ponselmu yang nyatanya dibaca oleh seseorang bukan kamu, ia pun melilitkan diri dalam bingung, lalu melemparnya padamu, kamu hanya diam dan membiarkan deretan tanya yang menubi itu menggantung tanpa jawaban sampai surat yang akan kuawali dengan pertanyaan ini sampai di pangkuanmu. Kurasa kamu memang tidak mengantungi jawabannya, sebab kamu sendiri adalah teka-teki. Juga serupa puzzle dengan bentukan ganjil.