Friday 29 December 2017

Sayang, Ada Bagian Dari Diriku yang Tak Pernah Rapi Kususun

Aku duduk di ujung kasur, bersebelahan dengan jendela berkaca buram akibat embun dan sisa rintik gerimis yang mengering di sana tanpa sempat kubersihkan. Kulempar ponsel ke atas nakas dan mematikan koneksi jaringan. Terlampau banyak mulut-mulut yang berebut mengambil tempat, sedangkan layar ponselku tak pernah punya cukup ruang – alhasil mereka menempeli sekujur tubuhku lalu menelanjanginya, lantas membuat siapapun berpikir: kamu tidak lagi butuh tayangan infotainment ketika sudah memiliki media sosial. Kamu dan aku bisa kapan pun naik panggung. Ponsel itu masih bergetar. Aku beranjak. 
sumber foto: wisegag.com
Belakangan aku merasa berantakan, seperti ada bagian dari kedalaman yang tak pernah rapi walau sudah disusun berulang kali. Kehilangan masih mengisi segar di rongga dadaku. Dua proyek yang menungguku masih berdebu di atas meja kerja. Panggilan-panggilan mulai berhenti kujawab. Ajakan bertemu pelan-pelan kutepis. Janji-janji yang kubiarkan berserakan dan tak kutepati. Aku mendongakkan kepalaku – kembang api di mana-mana, tahun baru sebentar lagi menyapa hai, namun aku selalu merasa bagai dipeluk selamat tinggal. Aku terbayang seseorang dengan busa kopi yang tidak sengaja tertinggal di pucuk hidungnya. Kemudian, aku memeluk pulang diri sendiri.
Sudah lebih dari tiga bulan aku menghentikan kebiasaan membaca puisi keras-keras pada seperempat malam – salah satu caraku memberi terapi pada bagian-bagian dari diriku yang menolak damai. Tapi aku masih ingat barang satu kalimat yang bicara soal hal-hal yang diselindung rapat orang-orang dan menyebutnya: rahasia. Katanya, ia adalah doa yang minta diampuni dari kerinduan. Buatku, adalah sesederhana jawaban baik-baik saja.

Semuanya terasa janggal ketika aku berdiri terlalu dekat dengan tahun yang sebentar lagi sekarat. Obituari yang terlalu cepat, kesedihan yang terasa begitu melekat, ciuman-ciuman yang berubah sepat, dan mendadak sepi begitu gaduh meminta dekat. Kamu tahu, langit malam seakan runtuh dan gelapnya begitu pekat  memangsaku dari dalam. Aku lupa caranya menjadi hangat.

Aku kembali ke kamar. Menarik selimut tidur hingga sedagu. Kuhidupkan radio peninggalan marhum kakekku. Sepotong lagu hits dari penyayi solo laki yang kupikir seksi, melantun memecah sepi yang tak mau menamatkan diri. Aku teringat benam senja di lantai tiga gedung kampusku, siluet seorang pria yang duduk di bahu jendela kamar apartemen seraya menelisik pandang pada pantulan cahaya matahari jelang petang, dan surat-surat sore dari orang asing yang tak pernah memberikan alamat balasannya. Aku pun terlelap, bermimpi menemukan peta harta karun yang tidak membawaku kemana-mana.

Aku terbangun menjelang subuh – keringat memandikan tubuhku dan aku menyadari sesuatu di pinggir pagi yang masih perawan. Kau pun tahu: ini tulisan yang jumpalitan melompati pikiranku ke pikiranmu, lalu seterusnya begitu. Dan ia menikmati dirinya yang sesekali tak memiliki tujuan, sebab orang-orang sekali saja butuh tersesat untuk kemudian menemukan.

catatan
: akhir-akhir ini aku merasa begitu berantakan, ada kegaduhan di kepalaku yang menolak diam bersamaan dengan angka-angka tenggat yang menghantuiku tiap malam, ditambah suara-suara orang di luar sana yang melebihi volume keras lagu dangdut tetanggaku yang diputar hampir tiap sore, dan pada ujung hari, aku menyadari aku berputar-putar pada kehilangan dan kesedihan yang tak kuketahui asalnya dari mana, tapi tumbuh subur seperti kenangan buruk yang kusiram dan kupupuki terus-terusan di belakang rumah
This entry was posted in

Saturday 23 December 2017

Nikotopia dan Kenangan yang Memanjang Tentangnya

Aku sedang menunggu jajanan Taiwan temanku ketika kabar itu datang. Rasanya seperti hujan siang yang mampir tiba-tiba dan kau tak sempat mengangkat jemuran yang sebentar lagi kering. Layaknya keberangkatan seseorang yang negeri nun jauh, dan kau terlambat memberikan pelukan selamat tinggal karena itu bukan adegan film yang mana kesempatan selalu datang lebih dari dua kali. Bagai kopi yang mendingin karena tertinggal lama di meja selasar rumah dan kau lupa membawanya masuk. Lalu, setelahnya yang ada di ruang kepalamu hanya pengandaian-pengandaian.

Aku mengenalnya tepat seminggu sebelum Natal tahun lalu. Ia menghubungiku mengajak bertemu – alasannya sederhana: ia penasaran dengan tulisan-tulisanku, ingin mengenalku, dan tahu aku punya akses yang cukup dekat dengan tempat tinggalnya. Kami sempat mengobrol singkat lewat telepon dan ia bilang menyukai suaraku. Kami pun bertemu, membahas proyek yang tengah dikerjakan masing-masing serta kemungkinan untuk berkarya bersama dengan nama samaran.
Sewaktu itu, bersama sahabatnya yang juga temanku, kami bersepakat akan menulis trio: membuat sebuah novel horor yang disukai pasar, tahun depan ketika satu sama lain sudah selesai dengan kesibukan yang dipunya. Setelah diskusi hangat itu, kami jalan berbarengan menuju toko buku dan mengomentari tiap buku yang ada – sebegitu hebohnya hingga kami setuju toko buku adalah surga kecil yang membuat kami lupa sejenak tenggat-tenggat yang menghajar kami dari belakang. Ia menemaniku membeli boneka Santa dan kereta rusanya untuk hiasan Natal.
Kami pun berpisah – sebelum kemudian ia menghadiri salah satu talkshow yang menjadikanku narasumbernya. Ia paling aktif bertanya. Kuingat dulu ia pernah bilang bagaimana pun harus memiliki satu buku aku untuk dibaca, dan pada kesempatan itu aku menghadiahkannya novel pertamaku. Ia begitu bahagia sembari mengatakan akan membantuku membuat video trailer untuk buku terbaruku nanti. Dan, kudengar ia menelurkan buku antologi terbaru yang kubeli dan kujanjikan akan kuulas di blogku nanti. Ia banyak membahas cerita dibalik penulisannya serta impiannya menembus salah satu penerbit mayor. Kami saling menukar dukungan, membagikan cerita, dan mendiskusikan banyak hal. Dari kerja sama yang merepotkan dengan beberapa pihak sampai film-film yang jadi favorit dan menggairahkannya. Hingga kuingat pesan obrol kami terakhir yang saling berjanji: see us on top, Ver.

Aku membaca ulang pesan obrol itu tertanggal 30 Agustus 2017, tadi pagi sehabis bangun tidur ketika aku mendadak merindukannya dan merasa bahwa ia masih ada, dan sesekali akan mengirimiku pesan bertanya perihal novel-novel baru yang akan kutulis dan skenario yang sedang ia kerjakan. Mataku basah. Kabar itu kuterima malam kemarin saat dua teman membawakan kabar kepulangannya padaku, kemudian aku merasa malam terasa lebih panjang dari biasanya.

Seorang kawanku bilang, kawanku pergi ke toko buku siang itu dan mendadak memandangi lama sekali buku antologi yang bertuliskan nama dia. Tidak tahu apa yang mendorongnya demikian hingga kabar itu juga mampir padanya. Mungkin itu pertanda semesta, semacam bahasa alam yang mengabarkan ada seseorang yang sudah sampai rumah Tuhan hari itu.
Tak pernah terlintas sepintas saja di kepalaku akan menulis obituari yang isinya ingatan-ingatan indah tentangnya secepat ini. Temanku baru saja selesai mengambil pesanannya dan menghampiriku yang mematung di depan ponsel – berusaha mengirim pesan pada sahabat-sahabat untuk memastikan kabar itu hanya hoaks-hoaks. Namun jawaban sama kerap kuterima, ikhlaskan sebab ia sudah damai di sana.

“Ver, kamu masih mau nangis? Kita menepi aja dulu.”
“Enggak. Ia tidur damai selamanya di sana, tapi bagiku ia selalu bangun di kepala dan hati orang-orang yang mencintainya.”
“Tentu, Ver.”
“Lagipula, aku menolak ucapan selamat tinggal padanya. Untuknya: selamat jalan. Sebab ia tidak pergi meninggalkanku dan orang-orang, ia hanya sedang menempuh jalan menuju istana Tuhan lebih dulu dibanding aku dan yang lain. Sebab kematian bukan perihal kepergian dan tangisan, melainkan cara Tuhan memberi kesempatan bagi orang-orang untuk memaknai kehidupan.”

Aku dan temanku pun berjalan menelusuri pohon natal besar yang terpajang di tengah taman, menuntaskan perayaan Natal kecil yang tengah aku dan temanku nikmati sejenak. Sembari kuputar ulang kenang-kenang akannya, yang terasa tak pernah habis, sebab ia senantiasa hidup di kedalaman doa-doa dan harapan baik yang mengantarkannya pulang. Aku memanggilnya sahabatku, Kak Niko.
In Memoriam Nikotopia
22 Desember 2017
Sabbe Sankhara Anicca

Thursday 28 September 2017

Eva Novira Afiati: Menjaga Eksistensi Tari Tradisional adalah Keharusan

Diiringi tepukan kendang dengan irama khas gamelan Bali, Eva memadukan gerak dinamis pinggul, bahu, tangan, dan kepala dengan begitu enerjik. Melangkah ke depan-belakang hingga samping kanan-kiri, gadis dua puluh tahun itu berpindah-pindah membuat formasi tertentu bersama ketiga temannya. Kebaya biru cerah bergaya khas Pasundan dengan selendang yang membaluti lengannya, Eva dan teman-teman tampak menawan membawakan tarian di atas panggung pementasan. Sepintas, gerakan bahu yang kerap dipakai membuat penonton menebak itu adalah Jaipong dari Karawang. Namun jika dicermati, latar musik yang menonjolkan suara kendang itu sekilas mengingatkan orang-orang pada tari Ketuk Tilu dari Sunda. Nyatanya bukan.

Eva berbisik di belakangku yang tengah menikmati dokumentasi pementasan tarinya, bahwa itu adalah tari bajidor kahot. Sebuah tari yang lahir dari perkawinan Jaipongan dan Ketuk Tilu, sepenggal tari yang tercipta dari kombinasi dua kekayaan tari tradisional dua daerah Karawang-Sunda. “Bajidor Kahot adalah tari kreasi yang memadukan dua tari daerah. Ia indah sekaligus menantang. Serta tentunya, salah satu favoritku!” ujar Eva terdengar nada antusias yang menyelip pada ucapannya.

Berawal dari Bajidor Kahot, seorang gadis remaja bernama lengkap Eva Novira Afiati akhirnya bercerita banyak perihal pekerjaannya sebagai pelatih tari daerah di Sanggar Tari Karina Enterprise. Ia tuturkan bagaimana tari tradisional dari daerah-daerah memberi cermin akan kekayaan Nusantara, serta berbagi pandangan mengenai eksistensinya di tengah modernitas zaman. 

Menemukan Diri Sendiri dalam Jaipong
            “Sudah sekitar empat tahun aku gabung di Sanggar Tari Karina sebagai pelatih Jaipongan. Aku enggak serta-merta terjun begitu saja ke profesi ini, perjalanannya panjang. Kalau dibilang suka dengan tari tradisional, sudah dari SMP aku tertarik. Cuman, belum benar-benar ngelirik. Bahkan dulunya aku itu lebih fokus modern dance, sebelum akhirnya aku nyoba tari daerah dan nemuin kalau passion aku di sini. Aku pun jatuh cinta dan memilih serius menggelutinya lebih dari sekadar peserta ekskul sekolah,” buka gadis kelahiran Wonogiri itu. 
Eva dengan kostum tari Jaipong (foto: dok.pribadi)
            Berkat keseriusannya itu, semasa sekolah ia kerap meraih juara satu diberbagai perlombaan tari bersama timnya. Mulai dari juara satu FLS2N tingkat Kabupaten Tangerang tahun 2011 dan 2013 sampai meraih peringkat pertama di ajang perlombaan opening BFI Finance 2015. Melihat prestasi Eva, sekolahnya pun merekomendasikannya untuk bergabung di sanggar tari Karina Enterprise binaan pemerintah daerah Kabupaten Tangerang. Ia pun dipercaya melatih tari tradisional Jaipong setiap akhir pekan dengan durasi kurang lebih dua jam setiap pertemuannya. Sekarang ini, sudah ada sekitar empat puluh anak muda yang menjadi murid tetap Eva.
            Ia pun mengakui, memperkenalkan dan mengajar anak-anak tiap minggunya bukan perkara mudah. Bahkan sangat melelahkan, karena tantangan terbesarnya tidak hanya membawakan gerakan-gerakan, tapi juga mencari tim gamelan yang bisa memainkan aransemen musik Jaipongan yang apik nan sesuai dengan tarian. Namun Eva menolak menyerah, ia melihat Sanggar Tari Karina adalah surga kecil yang memberi cermin akan kekayaan tari dari Indonesia. Maka ia akan berjuang mempertahankannya, menyuburkannya, dan melestarikan apa yang ada di dalamnya sebagai hadiah sederhananya bagi budaya Nusantara di tengah gerusan modernitas era milenial.

            “Jaipongan bukan hanya soal gerak, tapi juga musik. Jaipongan adalah hasil harmoni dari keduanya. Dan, dalam menyajikannya aku dan teman-teman enggak mau setengah-setengah. Biasanya aku dan senior-senior akan saling bantu, jadi walaupun capek enggak akan kerasa banget. Mungkin itu juga salah satu alasannya aku bertahan. Jaipong bukan cuma tempatku jadi diri sendiri, tapi juga wadah aku menemukan teman sebagai saudara, dan sahabat sebagai keluarga kedua.”


Tari Modern vs Tari Tradisional
            Bicara jauh soal profesi Eva sebagai pelatih Jaipong, Eva mengaku jika mengajak anak-anak milenial sekarang untuk belajar tari daerah adalah pekerjaan rumah yang perlu diberi perhatian. Ia mudah sekaligus menyulitkan. Mudah di satu sisi dikarenakan masih banyak lingkungan yang kental dengan kebudayaan daerah, sehingga orang tua dan sekolah-sekolah mendukung untuk mendorong anak-anak yang ada belajar tari tradisional. Sementara itu, kesulitannya terletak pada anak-anak itu sendiri yang kerap dikendalikan oleh mood instan dan lebih tertarik belajar cover dance Barat maupun Asia Timur. Eva sendiri sesungguhnya memahami hal itu. Mengingat ia sendiri dulunya pernah menyemplungkan diri pada dunia tari modern sebelum memutuskan serius memelajari tari daerah bukan untuk hobi saja tapi juga pelestarian budaya.

            “Pada dasarnya mengapa modern dance lebih menarik perhatian anak-anak remaja, karena musiknya mudah untuk di mix and match, diaransemen ulang sesuai keinginan dan gaya. Beat musik modern pun lebih ramah dengan telinga remaja-remaja. Berbeda dengan tari tradisional, yang kerap memiliki pakem-pakem tertentu baik dari segi musik maupun gerakannya,” papar perempuan yang mengidolakan Didik Nini Thowok ini.

            Namun Eva secara tegas mengatakan jika alasan tersebut tetap tak bisa dijadikan dasar untuk meninggalkan tari tradisional. Kalau dibilang kurang menarik, Eva bisa memberikan segudang alasan bahwa tari daerah tidak kalah keren. Contohnya Jaipong, salah satu tari daerah tersebut memiliki beragam gerakan yang bisa dipilih dan tidak akan membosankan. Bahkan Jaipong telah mengalami perkembangan sesuai zamannya. Jika dulu Jaipong lebih sering dipentaskan buat upacara-upacara hingga terkesan kaku, sekarang sudah ada Jaipong Ronggeng. Ialah jenis Jaipong yang lebih modern dan sengaja dipentaskan untuk hiburan. Belum lagi tiap pelatih Jaipong biasanya memasukkan sendiri kreasi dan ciri khas mereka ke dalamnya, membuat Jaipong punya tampilan berbeda-beda di panggung. Di titik inilah, Jaipong sebenarnya luwes dengan zaman. Eva pun menantang anak remaja sekarang untuk membuat cover dance Jaipong kreasi sendiri.

            “Aku marah kalau ditanya ‘apakah tari tradisional akan eksis hingga ke depannya?’. Pertanyaan itu seakan mendesak kita untuk menjawab ‘iya’ atau ‘tidak’. Padahal bukan kedua itu jawabannya. Buatku, bukan perkara tidak akan eksis atau bakal eksis, melainkan memang ‘HARUS’ eksis. Karenanya ini jadi peer kita bersama, menjadikan pelestarian budaya bukan sebagai pilihan tapi kewajiban. Sekaya apa pun budaya Nusantara akan lenyap jika tak ada yang menjaganya tetap lestari. Ini memang ajakan klasik, tapi akan selalu relevan: kalau bukan kita, siapa lagi?” tandas Eva, tegas.


Tidak Ada Penari yang Gagal
            Berkenaan dengan semangat Eva untuk menjaga eksistensi tari daerah, Eva tidak hanya mengabdikan diri menjadi pelatih tari Jaipong. Ia bersama teman-teman di Sanggar Tari Karina juga aktif pergi mengunjungi sekolah-sekolah untuk menawarkan pembukaan ekskul tari daerah bagi sekolah yang belum memilikinya. Di tengah giatnya Eva mengenalkan tari daerah pada anak-anak milenial lewat jalur sekolah dan sanggar, membuat Eva menemukan banyak fakta penuh kejutan. 

Eva bersama teman-temannya ketika membawakan tari Jaipong untuk pembukaan rapat besar suatu perusahaannya (foto: dok.pri)

            “Kupikir salah satu penyebab tari daerah sulit menjadi tren di kalangan milenial karena kita kurang melihat tari daerah sebagai budaya bersama untuk diperjuangkan kehadirannya. Misalkan, aku masih banyak menemui sekolah yang menolak menyediakan ekskul tari daerah, alasannya macam-macam termasuk tidak ingin menyediakan dana tambahan. Ini fakta menyedihkan. Solusinya, pemerintah bisa mengeluarkan peraturan pada sekolah-sekolah untuk mewajibkan adanya ekskul ini dan harus mengalokasikan dananya.  Itu dari segi lingkungannya, harus mewadahi dan kondusif. Lalu untuk anak-anaknya, kita bisa memperbanyak kompetisi bertemakan tari daerah, sehingga mereka bisa tertarik untuk belajar demi ikut lomba. Tentunya juga dengan melakukan promosi besar-besaran akan tari daerah, untuk mengubah stigma bahwa tari tradisional itu kuno nan sulit jadi keren dan mudah,” tutur mahasiswa semester satu jurusan manajemen di STIE ISM itu.

            Bagi Eva, orang-orang yang mengatakan tari daerah itu sulit, adalah orang-orang yang malas mencoba. Tidak ada yang sulit, hanya mereka yang tidak membangun niat untuk itu. Oleh karenanya, Eva kerap menyuarakan pada anak didiknya bahwa tak ada penari yang gagal ataupun jelek tariannya. Semuanya tergantung seberapa besar kita menaruh ketulusan untuk memelajarinya dan membawakannya. Ia juga berpesan, sebelum menari yang harus dipersiapkan dan dipikirkan bukan hanya soal gerakan yang sudah dihafal, melainkan juga apakah hati, niat, dan mood sudah  benar-benar ada di sana? Jika iya, ingin menggeluti tari daerah atau budaya tradisional apa pun, pasti bisa. Karena apa saja yang berangkat dari hati selalu berbuah keajaiban. Sebab apa pun yang berawal untuk persembahan bagi negara tercinta Indonesia, pasti selalu ada jalannya.
            Waktu sudah menunjukkan setegah tiga siang ketika akhirnya kami mengakhiri obrolan sarat inspirasi itu. Sebelum benar-benar pamit, kusempatkan diri mengatakan pada Eva jika Indonesia butuh anak muda milenial seperti dirinya. Bahwa di tengah maraknya berita mengenai pencaplokan budaya negeri oleh tetangga, serta kepunahan-kepunahan budaya di pelosok Nusantara, sebenarnya Indonesia masih punya harapan. Jadi ketika ditanya apakah budaya tradisional masih punya tempat di hati generasi milenial? Masih. Kehadiran remaja seperti Eva sudah membuktikannya.
Maka, selama harapan itu ada dan kerap dipelihara oleh anak-anak muda layaknya Eva, kekayaan budaya tradisional Indonesia niscahya terawat dan terjaga. Kita hanya butuh mulai dari diri sendiri, sekarang, saat ini juga demi hari esok dan masa depan panjang Indonesia nanti.(*)

--
*artikel ini keluar sebagai juara 1 lomba menulis feature dalam ajang Festival Budaya Nusantara UMN 2017
*terima kasih untuk Eva, yang sudah meluangkan waktunya untuk kuwawancara demi keperluan artikel, serta untuk Ghea Chyntia yang membantu mencarikan kontak Sanggar Tari dan narsum yang kubutuhkan


This entry was posted in