Friday 4 August 2017

Tentang Berita Obituari yang Kau Gunting Dari Koran Kemarin Dan Kau Kliping

Belakangan ini sejak sebulanan lalu, aku menua di sepanjang Slipi-Tanah Tinggi. Aku menggantung kepulanganku pada halte berlantai seng kotor, tempat kucing-kucing liar memilih tidur seraya menciumi tas orang-orang yang sekiranya cukup iba untuk memberi mereka makan. Aku meletakkan keberangkatanku pada halte setengah jadi, tempat bus-bus kosong menunggu orang-orang menemani kesepian di dalamnya. Lalu hampir setiap hari aku melakukan perjalanan yang memanjang karena kemacetan, yang memendek oleh pikiran-pikiran yang mampir mengajak bicara. Sesekali bentuknya pertanyaan yang mendesak dicari jawabannya di antara desak orang yang bersikeras masuk walau tubuh bus sudah begitu penuh, decak orang yang tak dapat bangku, depak orang yang meminta ruang lebih luas; tidak pernah mudah. Sedangkan kau dan aku tahu, semesta punya kegemaran membubuhi tanda tanya pada banyak hal tanpa menyediakan jawabannya. 
sumber gambar: http://www.visit-petersburg.ru/

hampir belasan tahun, aku mengingatnya tak pernah absen dari sesal-sesal yang masih menolak hangus. bagaimana caranya bebas mengikuti hati tanpa terbawa menuju tempat aku kehilangannya?

Aku membenarkan posisi tasku yang terasa begitu berat ketika kauberdiri di dalam kendaraan besar yang kelelahan tapi lupa caranya istirahat di tengah kota yang tak pernah tidur. Sesekali mencari hiburan kecil mengintipi isi pesan singkat yang dipertukarkan orang-orang yang masih melongok layar kaca ponsel di mana dan kapan pun sekeliling menjepitnya. Atau mencuri dengar radio yang hidup tak mampu mati pun segan yang terputar dengan sedikit sekali daya. Atau menerka mana orang yang berpura terlelap agar tak dipilih petugas untuk bangun memberi tempat. Tiba-tiba saja aku teringat dia yang menggunting obituari dari kertas koran kemarin malam, lalu mengklipingnya bagai koleksi jurnal ilmiah yang disusunnya sedemikian rapi. Kutengok pemandangan di luar jendela yang berlari menjauhi laju bus, kautahu sampai di titik ini aku menemukan jika manusia memiliki hobi menyimpan apa-apa yang menyakiti mereka.

aku selalu merasa sempit, kau tahu – disesaki tanggung jawab yang sekarang meminta jadi nomor satu, kenangan-kenangan yang sudah teronggok jadi sampah sekaligus saksi atas kebodohan dulu-dulu. tapi, memikirkannya membuatku selalu cukup luas untuk memberinya tempat. bagaimana kau sanggup hidup hanya memilikinya sebagai masa lalu?

Kenek bus membelah jalan yang dipenuhi gelantungan kepala orang dengan mata jatuh di atas layar. Berjalan tak peduli dengan permisi yang bagai cicit tikus yang tak kedengaran sebelum akhirnya terlindas ban mobil pada pertengahan malam. Berbicara kemudian dengan sang supir sebelum kemudian kembali dan mengumumkan pemberhentian bus yang berubah rute. Aku diturunkan pada halte asing yang lenggangnya terasa ganjil. Mendadak aku lupa alamat rumahku, bagaimana cara pulang. Dan teriakan kehilangan mendadak terdengar begitu nyaring.

dia adalah bukti aku pernah mencintai seseorang begitu dalam hingga tenggelam dan tak tahu cara berenang dengan benar agar semuanya selamat di permukaan. bagaimana kau menjalani setiap hari dengan ingatan yang terus memberi tahu kau sebenarnya adalah sudah mati?

Seseorang asing menghampiriku dengan sepeda motornya. Dia berhenti sejenak, kupikir hendak menjemputku. Namun tidak, dia hanya mendekat menelusuri wajah pucatku lalu bertanya, “Apa kau baik-baik saja?”
--
*ditulis setelah membaca 'perjalanan lain menuju bulan' karya Aan Mansyur
*mengenang seorang pria yang pernah menghubungiku untuk meminta tolong agar aku bisa mengontak seseorang yang dia bilang ' pernah kucintai dengan sangat salah'. 
*beberapa potong kalimat di tulisan ini pernah kuposting dalam stories media sosial aku ketika sedang menaiki bus trans dalam perjuangan pulang yang melelahkan 
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment