Tuesday 29 November 2022

Cerita Pulih

Pandemi membuat berita kematian jadi makanan sehari-hari. Nyawa mendadak berubah menjadi angka statistik. Semua aku saksikan dari layar kaca televisi dan gulir layar ponsel setiap hari, tapi tak tebersit jika maut akan sampai juga di sini. 


Malam itu, November 2020, aku mendengar kabar berpulangnya ayah untuk selamanya. Dokter bilang henti jantung, aku tiba-tiba saja hancur. Rumah mungilku hanya tersisa aku bersama ibu sendiri. Tidak ada lagi bau tembakau ayah yang bercampur aroma kopi pahit pada pagi hari, alunan musik berbahasa Mandarin, hingga teriakan ayah bertanya mau sarapan apa hari ini. 


Hidup yang sudah tidak baik-baik saja akibat dunia yang terjangkit penyakit, kini makin terasa berat. Duka menyelimuti tiap sudut rumah, kehilangan mengoyak jiwaku habis-habisan. Ditambah lagi pandemi yang mengharuskanku berdiam tanpa ke mana-mana. Aku seperti terkurung dalam cangkang yang memintaku menghayati kesedihan. 

sumber foto: thewingedchild



Pada akhirnya, aku sering menangis tanpa alasan hanya dengan melewati jalanan yang biasa kulalui bersama ayah, melihat cangkir ayah yang kosong, kasur ayah yang mendingin, dan lainnya. Sampai suatu hari, kupikir ingin menyusul ayah di surga. Saat itulah, ibu merangkulku dan bilang, “Kamu tidak harus lari dari kesedihan, kamu menghadapinya.”


Ibu mengajakku membereskan barang-barang peninggalan ayah. Kami membongkar lemari baju, kotak obat, rak sepatu, dan lain-lain. Proses berberes itu tak pernah usai, karena setiap kali satu barang ditemukan, kami akan membahas kenangan tentang ayah. 


Lalu, perlahan kami menantang diri sendiri menjalani hal-hal yang biasanya dilakukan bersama ayah - pergi ke restoran vegetarian di kawasan kuliner Kota Tangerang, mengisi bensin, menonton olahraga, mengganti bohlam, memperbaiki motor ke bengkel, dan banyak lainnya. Aku paham ibu mencoba membuat kenangan baru tanpa ayah denganku. Beliau mencoba hadir utuh seakan bilang, ketiadaan ayah tidak membuat keluarga kami pincang. “Orang datang dan pergi, yang tersisa selayaknya saling menemani satu sama lain,” ujar ibu. 


Melihat ibu, aku pun belajar untuk bangkit. Aku menyibukkan diri dengan pekerjaan dan proyek-proyek penulisan kreatif yang kusukai hingga mulai menerima ajakan jalan bersama teman. Hari demi hari berganti, dan waktu perlahan pun menyembuhkanku.


Kini sudah dua tahun lamanya sejak ayah meninggal, aku masih terluka, tapi luka itu tak lagi sampai membunuhku. Semua berkat kekuatan dari ibu dan penghiburan dari teman, sahabat, dan rekan sekitar. Aku belajar jika kehilangan memang meninggalkan kesendirian dan kesepian, tapi ia bisa dipulihkan. Terutama dengan kebersamaan tulus dari orang-orang terdekat. 


Keluarga kecilku mungkin tak lagi lengkap pada libur lebaran ini, tapi aku sudah merasa lebih hidup seiring dengan dunia yang perlahan sembuh. Ayah mungkin tidak berada di dunia, tapi aku tak menganggapnya meninggalkanku. Beliau hanya pindah dari semesta menuju surga dan hatiku. Penerimaan ini membawaku pada kemenangan sesungguhnya - lepas dari kemelekatan, yang tersisa hanya keikhlasan. 


*Tulisan ini berhasil keluar sebagai 5 cerita pilihan Kompas dalam kompetisi 'Berbagi Kemenangan, Berbagi #CeritaPulihmu' yang bisa dibaca juga melalui tautan di sini

 

This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment