Thursday, 11 June 2015

Melawan Naga


“…sedang mengasingkan diri ke gunung, untuk mencari ihwal cara melawan naga. Menarik sekali untuk tahu apakah kamu menemukannya atau tidak. Itu alasanku berkunjung di malam yang membuta, aku harap kamu tidak keberatan dengan beberapa tembakau,” ujarnya sembari mengambil duduk di lantai dingin selasar rumah. Mengeluarkan sekotak tembakau dengan cetakan foto leher seseorang yang terkena kanker larynx, lalu mulai menyesap salah satu di antaranya – ia memejamkan mata, sebelum beberapa detik kemudian kepul asapnya membumbung tinggi dan ia tertawa melirik ke arahku lewat sudut matanya yang masih saja berkesempatan menggoda. 
Mengetahui aku hanya mengenyitkan wajah karena berusaha halau dari menghidu asap yang naik ke udara, lelaki yang lebih memilih lantai dibanding bangku plastik yang kutawarkan itu, membuang puntung tembakaunya yang baru dihisapnya seperempat.
“Sudah malam ke berapa kamu sulit tidur?” tanyanya sambil memutar sepasang matanya kea rah langit malam yang polos oleh bintang.
Belum sempat aku menyahut, ia kembali menambahkan sambil mencondongkan tubuhnya padaku. “…biar kuganti pertanyaannya, pada malam seperti apa saja, kamu meringkuk di balik selimut, mengirimkan emoji bahagia ke orang-orang sedangkan kamu menangis diam-diam. Isak paling heningmu bahkan terdengar hingga ke telingaku.”
Aku terkesiap. Hanya seseorang yang pernah kupanggil alien, yang mengetahui aku memiliki kebiasaan buruk di pertengahan malam – meraung-raung mempertanyakan apakah aku akan lelap dalam tenang hari itu. Kamu tahu, terlalu banyak monster di kepalaku dan hantu-hantu yang berseliweran dari masa lalu. Ia tampak marah, diambilnya sekali lagi batang tembakaunya. Kali ini ia membuang kepulnya tepat di hadapan wajahku, yang membuatku terbatuk berkali-kali.
“…dengarkan aku, Sayang. Aku tidak menunggu orang yang membawa teka-teki dan segala kerimbunan ragu milik mendung, tidak meruangkan waktu di antara jam sibuknya yang sialan, serta menyatakan cinta padamu tanpa berusaha mengetuk pintu rumahmu dan bilang; aku ke mari dengan alasan sederhana ingin melihat senyummu dan memastikan kamu bahagia hari ini.”
Rasanya aku ingin menghajarnya. Aku butuh benar-benar mendaki gunung, menemukan wahyu suci untuk mengalahkan naga yang menyemburkan api di perkampungan. Dalam hal ini, meninju mati ia yang mengembuskan asap di depanku.
“Sayang, kamu juga perlu tahu, malam tak hanya buta, tapi juga tuli,” bisikku, tanpa lupa untuk beraninya mengambil paksa tembakau dari jepit bibirnya, dan membuangnya ke seberang kali. Di luar dugaan, ia tertawa. Sekali lagi, mata jenakanya yang penuh goda itu disarangkannya padaku. Kamu lupa, aku punya cerita purba sebelum kamu – yang mungkin salah satunya adalah pernah mencintainya; yang gagal karena tiap melihatnya aku seperti ingin membunuhnya, aku hanya takut itu juga terjadi padamu.
Kita diselimuti diam yang merajai sebelum akhirnya ia meraih satu tanganku. Aku bisa merasakan kulit tangannya yang gigil oleh sengat udara malam. Ia membuka telapak tanganku, lalu meletakkan bungkus tembakau di atasnya. Lantas, pergi begitu saja. Kukira aku tak butuh tembakau-tembakau itu. Aku hendak melemparnya ketika bungkus itu terbuka dan menyembulkan secarik kertas yang sudah koyak, namun di permukaannya bertulis-tangannya.
tapi, aku menunggumu. tak apa, aku hanya tak ingin terlambat mengatakannya.
Aku tidak lelap hingga pukul empat pagi. Nyatanya ada yang lebih melelahkan dibanding bertarung dengan naga; menimbang-nimbang sekali lagi cinta yang katanya diucapkan dengan juang, tapi memintamu tidak menunggu, dan cinta yang tidak diucapkan penuh juang, tapi ia menunggu. Aku tak paham, yang kutahu hanya cara melawan naga adalah tak berhenti berjuang, dan tahu pasti siapa yang menunggu di kastil sana. Jika tidak, lebih baik mati dalam api yang disemburkan naga. 

karena ada yang bilang, puisi adalah bentuk marah dengan cara yang paling ramah, aku rasa sebagaimana pun itu juga terjadi pada cerita
This entry was posted in

Tuesday, 9 June 2015

Rumah yang Menunggumu Pulang


“…wait for me come home.” – Photograph, Ed Sheeran
Di balik pintu kayu dengan cat hijau yang sudah mengelupas di sisi-sisinya, aku bersembunyi sembari menyarangkan mataku pada seorang pemuda di seberang kompleks perumahan. Pemuda itu tengah membungkukkan tubuhnya di hadapan Ibunya, sembari meraih tangan beliau untuk diciumi punggung tangannya. Arkian, mereka saling menukar peluk dan aku bisa melihat si pemuda berbisik sesuatu, sebelum langkah beratnya bersama tas punggung besar membawanya pergi tanpa berbalik lagi. Itu bisik janji, jika ia akan pulang. Aku dikurung menung cukup lama, sejauh dan selama apapun perjalananmu, pada akhirnya kamu akan pulang. Karena jejak dan tapakmu sejatinya mengelana dalam putaran yang berujung rumah. Terlebih ketika kamu tahu, ada yang sabarnya menunggumu untuk menghadiahimu peluk di selasar rumah.
Hari yang sama; aku ingin mengajakmu berbincang tentang seiris cerita dalam sebuah film*, tentang seorang Ayah tunawisma, seorang wiraniaga (yang dianggap menganggur karena hanya menjual satu alat pemindai kepadatan tulang yang tak laku-laku secara serabutan), ditinggal istrinya, dan harapan yang dimilikinya hanya satu; anak laki-lakinya. Ia tak punya rumah – membuat ia harus berjuang bersama anaknya untuk mencari tempat tinggal. Dan, pinggiran jalan bukan pilihan yang tepat bagi tubuh kecil anaknya. Nyeri, mengetahui akhirnya si Ayah mengunci dirinya dan anaknya di sebuah toilet umum pria, dan menjadikannya sebagai rumah. Setelahnya, si Ayah berjuang kembali mencari suaka yang disediakan pemerintah – terkadang ia mendapatkannya, kadang juga tidak. Tak ada bentuk rumah hangat dengan perapian yang pasti untuk mereka mukimkan. Segalanya terasa tidak pasti, setiap harinya mereka tak tahu kemana harus berpulang. Tapi, yang membuatku berteman dengan air mata di layar kaca adalah cakap sederhana si Ayah pada anaknya; “Apa kamu bahagia bersama Ayah?” Si anak tanpa banyak berpikir, mengangguk dan menjawab iya. “Kalau begitu, baiklah. Itu sudah cukup,” ujar si Ayah. Kamu tahu, mereka memang tidak memiliki rumah; rumah berbata, berdesain interior di dalamnya, berisi perabotan, dan berkeramik pada umumnya – tapi mereka membangun rumah lain; yang pondasinya dibuat lewat letup hangat yang mengudara lewat pelukan, tatap mata yang menggelar jembatan tempat cinta berjalan. Mereka memiliki apapun yang diperlukan untuk membangun utuhnya sebuah rumah. Menjadikan rumah hidup, tempatmu ingin segera pulang.
Dan, hari itu juga, aku menerima kabar ada seseorang lain yang pindah ke rumah lain. Tempat rumahnya jauh, tidak di sini, tidak memiliki alamat pasti, tidak di Bumi, tidak di dunia, tidak di semesta ini. Itu rumah yang tak bernama, tapi kerangkanya, jendela dan pintunya diciptakan dengan penuh sempurna antara seseorang itu dan Tuhan. Kamu bisa menebak seperti apa gambaran rumah itu, indah dan istimewanya begitu maha. Bahkan kamu hanya bisa menyentuhnya lewat daras doa paling hening. Ia berpulang.
Karenanya, kamu tidak mengucapkan selamat tinggal bagi mereka yang berpulang ke rumah Tuhan. Kamu mengatakan selamat jalan, sebab mereka hanya meninggalkan rumah berdinding dan berlantai di dunia, untuk pindah ke rumah baru yang sudah disiapkan Tuhan untuknya. 
Selamat kembali ke rumah; kepada siapapun yang merindukan pulang.  
Untuk seseorang, yang pada matanya, aku kerap tersesat, tapi ia membangun rumah di sana untuk disinggahi dan membantuku menemukan jalan yang benar menuju pulang. Mungkin suatu waktu nanti, setelah letih menapaki jalan yang panjang dan waktu juang yang memilin-milin, kita akan kembali ke rumah, duduk di berandanya dan bercerita tentang serumah kenangan yang mengental bersama bercangkir-cangkir earl grey, atau semangkuk puding. 
*film The Pursuit of Happiness; sangat direkomendasikan!
This entry was posted in

Sepasang Perempuan yang Bercerita Tentang Kisah-kisah Luka


Saat kubilang sepasang perempuan; itu berarti sahabat jauhku dan aku – kita kopi darat berkali-kali, dan itu kerap terjadi menjelang malam melarut. Dan, tempatnya bukan di klub dengan bergelas minuman berwarna ditemani lelaki tampan alpha male yang ditemui di bar, kafe bersama tampilan band indie, pesta di lobi hotel atau kolam renang, melainkan sederhana; di ruang kamar berpendingin, dan menggoreng telur mata sapi, atau sesekali kita memasak indomie. Semudah itu untuk tersenyum di tengah udara malam nan dingin yang melayap ke mana-mana dan seindah itu untuk bahagia di antara kantuk yang sesekali menyerang. Kita saling mengambil duduk, dan cerita-cerita tentang bagaimana cinta memainkan luka pun berkelindan. Meningkahi hati yang diam-diam mencoba memahami bagaimana ia masih membuat diri bertahan pada orang yang hari-harinya menjadi alasan kita menuai luka. 
 “…aku rasa kita berdua pernah mendengar salah satu lagu country* yang bilang, lebih baik ia terluka daripada tidak merasakan apa-apa sama sekali. Itu benar. Lelaki itu seperti datang ke hadapanku, berdiri dengan tegasnya berkata aku sudah tak ada apa-apanya lagi di matanya. Dan pergi menjauh dariku adalah hal pertama yang akan dilakukannya. Lalu, aku masih di sini dengan segala kebodohanku bilang padamu; aku bahkan tetap menyimpan segudang cara mencintainya, yang berhasil membuatku tak bisa beranjak darinya hingga saat ini.”
Aku memainkan ujung rambutku – tak ada yang bisa kulakukan kecuali memakan habis ceritanya, dan akhirnya menangisi luka yang kita bebani bersama. Ini hanya terlalu nyeri, mengetahui seseorang yang mengucapkan selamat tinggal padamu, adalah orang yang dulunya pernah bilang kamu satu-satunya di hatinya. Hati tak pernah salah, begitu pula Tuhan. Mungkin pena takdir yang bergeser tiba-tiba, membuat gempa kecil mendadak – yang menyisakan retak, pertanda pisah adalah cara lain menemukan sejatinya cinta.
“…sampai akhirnya aku menemukan satu hal, mungkin alasan mengapa kita tidak bisa meninggalkan orang yang membuat kita terluka adalah karena ia juga orang yang sama yang membuatmu bahagia.” Lalu, kisahnya usai. Namun aku tahu, tidak berhenti. Kita saling memahami diam berarti suara yang berkisah dengan bahasa lain. Ketika ia menyinggung barang sejenak tentang lirik lagu, aku jadi ingat salah satu pelagu* yang bagiku ia lebih seperti pemuisi yang bermusik – karena lirik-liriknya tak hanya bercerita, tapi juga memiliki nafas tubuh puisi – yang mengatakan di salah satu lagunya, jika tak apa seseorang yang dicintainya melukainya, yang terpenting orang itu menunggunya pulang ke rumah terlebih dulu. Aku sampai pada satu pemahaman, jika kita tak hanya lebih memilih luka dibanding meninggalkan cinta. Tapi, bukankah luka-luka itu membuatmu hidup? Mereka juga yang pada akhir cerita, menuntunmu pada putri sepatu kaca dan pangeran berkuda.
“…tak tahu cerita yang mana, hanya saja aku tengah menunggu. Terkadang itu menyiksa, tapi aku menikmatinya. Itu caramu berjuang, membuatmu memahami apa itu setia. Kamu akan belajar bagaimana memperlakukan rindu dan cinta lebih bijaksana.”
Sahabat jauhku – yang padanya aku mengagumi manik mata hitamnya yang mengilat ketika dijepret menjadi lembar foto, dan beningnya membuatku ingin bercermin di sana selamanya – tersenyum padaku, ia beringsut ke dekatku dan berbisik; menunggu seseorang itu pekerjaan hati. Kamu bisa tahu apakah orang itu layak ditunggu atau diperjuangkan, ketika kamu mengetahui ia menjadi salah satu alasanmu tersenyum dan bahagia.
Dan malam itu, kita menjelmakan rangkulan jadi pelukan erat yang baru usai saat subuh bertandang. Kita memulai janji jika luka tidak membuatmu semakin runtuh, itu mengingatkan hatimu hidup. Satu lagi, yang terpenting, luka yang paling dalam adalah yang menunjukkan bahwa cintamu mendalam. Karena itu, hatimu pernah dan selamanya jadi yang istimewa. Kita pun saling menukar cinta.
Kepada Alberta Angela – sahabat jauh yang kupanggil Alaya; perempuan yang berbagi hal-hal manis. Itu obrolan singkat yang meninggalkan makna selamanya. Aku selalu menanti pertemuan kita dan mengekalkannya jadi kenang hingga pukul satu pagi.

*dua lagu yang dibicarakan di sini adalah lirik lagu Ed Sheeran dan Lady Antebellum. 

Saturday, 6 June 2015

Gudang


Untuk sebuah ruangan yang terletak paling pencil dan menyudut di rumah kamu, kamu menyebutnya gudang. Biasanya ia dibiarkan berpenerangan remang; dengan cahaya tak tercukupi, juga pengap oleh timbunan debu yang menebal, dan senyapnya diwarnai oleh cicit tikus. Celah yang ada, adalah tempat laba-laba bersarang. Isinya selain dipenuhi stok barang, terkadang juga rumah bagi benda-benda yang terasa sulit dan berat untuk dibuang karena berbagai alasan, dianggap mungkin akan berguna di lain waktu – tapi akhirnya kamu melupakannya dan teronggok menahun di sana. Dan, tanpa kita tahu sejatinya gudang, sesungguhnya seperti tempat tinggalnya kenangan. 
Debu di gudang membuatmu terbatuk. Kenangan di hati kerap menjadikanmu terantuk.
Kamu punya daftar benda-benda yang tua, yang rongsok, yang kamu kira sudah tak berguna lagi saat ini, yang akan terlupa, dan membuangnya ke gudang – sembarang arah, melemparnya begitu saja. Tapi, pilihannya adalah menggudangkannya, bukan menjadikannya sampah di pinggir jalan atau tong-tong berbau busuk. Bahkan, dari gudang, pilihannya bukan pada gerobak sampah – melainkan toko loak, karena yang dijaga dalam gudang setidaknya punya nilai-nilai yang lain. Dan, kita berdua sadar, itu cara yang sama memperlakukan kenangan.
Benda-benda saling beradu siapa paling sepuh di gudang. Ingatan-ingatan saling bertemu siapa paling rapuh di liang luka.
Kamu diam-diam punya senarai kenangan yang purba, yang membuat hati ringsek, yang kamu rasa harusnya ditepikan dibanding mati terlimbur terlalu dalam olehnya, dan kamu menyapunya ke ruang paling hitam dan sepi – berharap ia mati oleh gelap dan dicekik sunyi, seperti sifatnya gudang. Ia menampung tempat debu saling berjejal, dan hewan kecil malam membangun keluarga – ada gudang kecil yang disiapkan hatimu untuk benda bernama kenangan ini. Kamu menaruhnya di gudang, karena tahu, suatu saat kamu akan membutuhkannya – seburuk dan serusak apapun benda itu, kamu hanya tak tahu pasti kapan harus mengambil dan menggunakannya lagi. Tapi yang penting, betapa luka dan lebam yang dimilikinya, ia tetap pernah mendaraskan cinta. Betapa tua dan kuno benda di gudang, ia tetap pernah berguna dan meninggalkan cerita.
Kenangan adalah ingatan yang basahnya begitu purnama. Gudang adalah tempat yang berusaha mengeringkannya.
Buat kamu di sana, terkadang aku ingin menanyakan koleksi benda apa yang kamu miliki di gudang. Mungkin saja ia bisa menunjukkan padaku pertanda kenangan seperti apa yang ingin kamu simpan.
This entry was posted in

Dongeng 'Pada Suatu Hari'


Pada suatu hari, 
 Perempuan itu menata alat masaknya yang terbuat dari plastik dan berwarna pelangi, dengan apik. Menunggu lelakinya pulang. Sementara itu, ia menyibukkan diri menggunting dedaunan kering yang dijadikannya sayur, menuang beberapa tetes air ke penggorengan alumunium dan menyulapnya jadi minyak, lalu memasak. Menyajikan hidangan terbaiknya. Lalu, sore bersambut dan dibiarkannya senyumnya melayap ke mana saja mengabarkan ia telah sedia dengan rentang peluknya untuk lelaki yang ditunggunya.
Aku terbangun dari tidur siangku – yang memanjang hingga petang menyentuh pangkuan. Dan, aku baru saja bermimpi tentang permainan pangeran-putri yang kerap kumainkan dulu. Kamu tahu, kenangan selalu mengenai masa lalu, tapi ia tak menjadi sepuh hingga melepuh oleh waktu. Seperti saat kamu menemukan potret foto seseorang yang sudah sepia, ia tidak merenta karena lupa, kuningnya justru menunjukkan betapa kenangan tumbuh subur di sana. Dan, sekali lagi olehnya aku diajak kelana menuju silam, kembara kembali pada lampau.
“Siapa ingin jadi putri?”
Itu yang ditanyakan kawanku sebelum memulai permainan. Setiap anak mengacungkan jarinya ke udara. Hatiku mengangguk. Menjadi putri adalah tentang gaun cantik, mahkota di kepala, hidup di kastil, memiliki tujuh kurcaci yang lucu, punya sepatu kaca yang melegenda, sihir ajaib yang mampu menyulap labu jadi kereta kencana dan tikus-tikus jadi kusir yang tampan, ibu peri di sisimu, dan pangeran dengan kuda putihnya.
“Siapa ingin jadi pangeran?”
Itu yang ditawarkan kawanku setelahnya. Setiap anak kembali mengacungkan jarinya ke udara. Hatiku diam. Menjadi pangeran adalah tentang pedang dan parang, melawan naga, misi-misi, belajar tahan dari semburan api, pergi berperang, mencari sepatu kaca yang hilang, menghadapi nenek sihir, ciuman sejati yang mematahkan mantra jahat, dan putri dengan segala perjuangannya.
“Siapa yang siap bermain?”
Itu yang diajak kawanku pada akhirnya. Setiap anak langsung mengacungkan jarinya ke udara, mengggoyang-goyangkannya dan bersorak ria. Hatiku gelisah. Lalu, menjadi putri dan pangeran yang mengekalkan cinta, adalah permainan. Bukankah segalanya adalah permainan, asalkan kamu bisa memainkannya dengan baik dan benar. Dan, saat kamu adalah anak-anak, kamu adalah pemain terbaik – dan kamu tidak akan merusaknya, karena bermain baik dan benar. Kamu menikmatinya; karenanya kamu tidak menghabiskan waktu dalam sia-sia. Itu jenis permainan yang kamu, aku, dan siapapun merinduinya – yang bebas.
Kamu tahu, aku selalu berangan saat-saat itu dihadirkan sekali lagi – waktu ketika kamu bisa menyatakan cinta tanpa berpikir apakah waktunya tepat, perlukah cokelat, haruskah lilin di malam yang romantis, ataukah dandanan sudah sempurna, kamu hanya perlu mengucapkannya untuk mengungkapkan kasih sayang dan lawanmu menerimanya apa adanya dengan ketulusan yang sama – tanpa mempertanyakan hal lainnya yang menggugat.  Waktu ketika kamu bisa mendaratkan ciuman tanpa bergelisah apakah akan menjadi masalah, mengapa harus demikian, mencari alasan yang tepat, kamu hanya perlu memejamkan mata dan mencium keningnya untuk menguraikan jika kamu ingin bisa bermain bersamanya selamanya. Waktu ketika kamu bisa memberikan pelukan tanpa menyelipkan senarai maksud lain yang berbahaya, kamu hanya perlu merentangkan lengan, merangkulnya dalam peluk erat dan melepasnya dengan canda tawa yang terasa bodoh; tapi saat itu dunia hanya milik permainan mereka yang berbahagia. 
"Di dunia anak-anak, dongeng yang berakhir bahagia itu menyulap jadi nyata."
Lamunanku sirna. Panggilan dari luar kamarku untuk segera keluar dan bersiap menyantap makan malam sudah menyahut. Aku beranjak keluar dari kamarku beriringan dengan suara sayup yang kudengar dari dinding belakang rumah; gurau canda dan tawa suara anak-anak yang timbul-tenggelam mengantarkan malam ke peraduannya.
Akhirnya, ibu sihir berhasil dikalahkan. Pangeran pun mengajak putri untuk tinggal di istananya. Mereka hidup bahagia. Selamanya.
This entry was posted in