Kini,
kamu sedikit lebih segar. Air mukamu sedikit lebih cerah. Kamu merasa bahwa
kata-kata sudah menarik sebagian dari beban yang ada dalam otakmu. Kamu kembali
menulis. Menulis lebih banyak. Kamu ingin lebih banyak yang dikeluarkan. Lalu,
tiba-tiba kulihat kamu kadang kala terdiam lalu menulis lagi. Saat itu, aku
bertanya, apa yang kamu pikirkan ketika diam itu. Lalu aku tahu dari matamu,
matamu berbicara banyak. Kamu memikirkan. Kamu kembali teringat bagaimana kamu
begitu rapuh dengan beban itu. Kamu menjalani setiap waktu dengan terpaksa.
Seperti robot. Semuanya terjadwal. Hanya menunggu seseorang memencet tombol Off
untuk mematikanmu. Malam hari. Lalu, On pada pagi hari. Hanya saja, kata-kata
telah memberimu kekuatan dan keyakinan bahwa itu semua hanyalah berupa warna.
Saat itu, kamu duduk di bangku ruang tamu. Sendirian. Bola matamu menelusuri
setiap huruf berderet tanpa gambar di koran. Tapi, aku tahu, otakmu tidak.
Lalu, kamu terlihat begitu gelisah. Aku melihatmu seperti sedang menunggu.
Ketidakpastian. Ibumu mengira dirimu sakit, menyuruhmu meminum obat. Kamu
bingung. Apakah dirimu sedang sakit atau tidak. Tapi, kamu yakin, fisikmu tidak
sakit. Lantunan lagu yang kamu putar di lewat telepon genggammu itu sepenuhnya
list lagu mellow terus bernyanyi. Kamu semakin terpuruk. Kamu berniat dan
hampir saja memutuskan untuk mengurung diri di kamar. Tidur tanpa tidur. Tapi,
pikiranmu memaksamu untuk tidak melakukan itu. Matamu berbisik pada telingamu.
Bahwa ia akan menangis dan menangis untuk hal yang tidak dibanggakan. Kamu akan
kecewa dan semakin membenci dirimu sendiri. Akhirnya, kamu tetap masuk ke dalam
kamar, tapi tidak untuk menyendiri. Kini, hanya duduk bisu diam di depan
komputer. Dan disanalah ceritamu dimulai mengapa kamu bisa sesegar ini, teman.
Dan kamu tidak pernah tahu mengapa tiba-tiba kamu ingin duduk di depan komputer
berdebu itu, tapi, aku tahu, itu karena jiwamu dimiliki oleh kata-kata. Karena
kamu ialah penulis…hanya saja akhir-akhir ini, kamu lupa. Mengapa aku tahu
semua tentangmu, teman? Itu karena aku adalah sebuah pena. Pena yang selalu kau
bawa dan kau kaitkan di kerah atau kantong bajumu. Tanpa kau sadar, kau selalu
membawaku. Dan aku selalu memperhatikanku. Maka itu, aku menulis kisahmu dengan
tinta yang sebenarnya hampir kering ini…untung saja, kamu segera sadar sebelum
aku benar-benar mongering. Terima kasih, Teman…
Saturday, 10 September 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Comments:
Post a Comment