Ada
satu keadaan dimana hatimu memaksamu untuk tidak bercerita. Bercerita mengenai
penat ini. Mengenai masalah ini. Mengenai beban ini. Bukan karena suatu alasan
mulia yaitu tidak ingin berbagi beban dengan orang lain. Bukan karena tidak
ingin menjadikan orang lain sebagai tempat sampah. Bukan karena ingin
menyembunyikan. Bukan karena itu…bukan. Tapi, karena hatimu memang ingin
menyimpannya. Bukankah orang bilang, turutilah kata hatimu. Hanya saja, hati
bukan tempat untuk menyimpan. Melainkan merasa. Semua beban yang beratnya tidak
bisa diukur dengan satuan-satuan fisika itu, mencari tempat untuk bermukim.
Otak. Pikiran. Tempat yang tepat. Strategis. Pikiranmu menumpuk. Sakit rasanya.
Pusing. Bingung. Otakku mendesakmu untuk mengeluarkan buah-buah pikiran kiriman
hati yang tak bertanggung jawab atas perintahnya. Namun, kamu tetap tidak bisa.
Bertumpuklah. Penuh. Akhirnya, kamu menyibukkan diri, melupakan pikiran sendiri
yang terus merengek. Kamu membaca. Berusaha menggantikan pikiran beban itu
dengan dunia fantasi. Yeah, berhasil. Hanya saja, sementara. Kamu berusaha
melewati setiap detik. Setiap menit. Setiap jam. Menuruti apa yang
diperintahkan orang lain yang masuk ke telingamu. Mencoba melaksanakan apapun.
Kesibukan apapun. Asalkan terlupakan. Namun, ia tidak akan pernah lari. Terus
di dalam dirimu. Pikiranmu. Maka, pelarianmu atasnya hanya berlangsung
sementara. Kamu mencoba mengalirinya, dengan lagu. Gagal. Karena itu membuatmu
semakin terhanyut. Semakin terpikirkan. Tapi, lagu tetap saja kau nyalakan. Kau
putar. Kamu sedikit lagi menjadi gila. Kamu ingat, besok akan ada ulangan, kamu
semakin kesal, berarti kamu harus menghafal. Tiba-tiba, kamu duduk diam di
depan komputer. Kamu pandangi komputermu yang berdebu itu. Tuts-tuts keyboard
komputer yang tidak pernah kau sentuh lagi. Debu semakin alma semakin tebal
sejak sebulan yang lalu kamu tidak pernah lagi menulis. Kamu ingat, dulu
sekali, saat ada yang ingin kau keluarkan namun sebenarnya tidak bisa, kamu
selalu bawel dengan kata-kata. Melukis beban itu dengan huruf. Mengukir masalah
itu dengan rangkaian kata. Kamu merindukan itu semua. Kamu bersihkan debu-debu
itu dan jari-jarimu dengan cepat menari-nari di atas tuts keyboard. Begitu
lincah. Kamu merasakan kembali lagi hidupmu. Nyawamu. Jiwamu. Kamu merasakan
bahwa beban itu menjadi terasa begitu
ringan. Ternyata hidupmu memang bernafas dengan kata…buku hanya suplemen, tapi
menulis ialah roh…akhirnya kamu bisa mengeluarkan beban itu tanpa mengeluarkannya…rasanya
sedikit lebih baik. Kamu memang penulis, teman…larilah bersama
kata-kata…bersembunyilah di dalam rahim kata-kata. Karena kamu terlahir dengan
kata-kata, teman…nah, kini jiwamu telah lebih baik, maka itu, tersenyumlah,
jalani detik ini dengan menjadi jiwa yang lebih baik dari detik
sebelumnya…tersenyumlah, biarkanlah berjalan dan mengalir seperti detik waktu
mengalir tanpa memperdulikan apa yang terjadi sepanjang ia berjalan. Lalu
ingat, bahwa kamu akan selalu kembali pada kata-kata…
Saturday, 10 September 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Comments:
Post a Comment