Tuesday 31 January 2012

Or We Just A Stranger?


Spread ur Love , and everything will going well !
This post special dedicated for my @Skeight21 class (my junior high school class memory) that have some earthquake on the road of our friendship ... and also for those who feel the same feelin' ...
Akan ada banyak ketika-ketika. Akan ada terlalu banyak ingatan. Akan ada banyak sekali titian kata tuk wakilkan warna pelangi. Akan ada lebih banyak hujan tuk dapatkan semua yang banyak itu. Aku menutup diari yang bertuliskan sebuah lirik lagu yang membuat angka duapuluh satu terbungkus menjadi angka satu. Aku membuka folder bertitle ‘foto bulan june’. Ingatkah apa yang terjadi bulan Juni tahun lalu sebelum kita semua melangkah sendiri-sendiri menuju gedung pendidikan baru? Ingatkan, sesungguhnya, walau langkah kita sendiri-sendiri, kita menatap langit yang sama, yang satu? Kita semua tertawa. Yang tulus, bukan tawa kaku yang dilukiskan topeng di iklan-iklan. Kita semua merangkul. Yang membangun, bukan yang menekan hingga terjatuh. Kita semua tersenyum. Yang lepas, bukan yang terpaksa karena menyembunyikan luka. Kita semua satu. Bukan satu yang terpecah, yang menjadi satu sana, satu sini. Namun, semua kini dihiasi dan digantungi oleh kata tetapi. Tetapi yang menemani tawaan menjadi tawa yang menjelekkan. Tetapi yang bersama rangkulan menjadi rangkulan keretakkan. Tetapi yang di samping senyuman menjadi senyum keterpaksaan yang menyimpan ribuan kenangan akan benci yang menari-nari dibenak. Tetapi yang bersanding dengan satu yang menjadi satu yang seorang individual. Apa yang terjadi? Sekali lagi atau mungkin telah berkali-kali, Skeight21 kembali menjadi sebuah nama. Yang hanya tertampil di layar jejaring social, yang hanya sekedar kata terucap dan yang hanya formalitas tuk membungkus puing-puing yang berserakan. Sebuah nama yang kini tak lagi menembus hati tuk dicerna. Ini bukan perkara siapa yang salah siapa yang benar. Siapa yang mengecewakan siapa yang dikecewakan. Siapa yang menang dan kalah. Ini perkara apakah kita masih memiliki cinta atau tidak? Ada pintu kata maaf di depan yang berbisik pelan; Kita tidak pernah terlambat jika mencintai mulai detik ini juga. Atau jika tidak, ini ialah perkara, apakah kita adalah asing satu sama lain?
Hold my hand, let’s we put our hands up, the hands that hold one love. One love from the unity of Skeight21. Love that unite us, do you remember that tagline? The tagline from our graduate day. We never call it farewell party, we always call it graduate party, cause we knew, we never much capable to say good bye to each other. Cause, We still have a peaceful and fruitful love in our heart. Lemme see you put ur hearts up!! #np- Ariana Grande- Put Ur Hearts Up !

Saturday 14 January 2012

Gadis Hujan (3)


“Aku baru menyadari, betapa aku begitu mencintai hujan ketika aku sempat membencinya dan mengusirnya, lalu aku merindukannya.”

Aku berdiri dibalik jendela, menatap iri pada awan yang sedang kedinginan. 

Keadaan sekitar yang menggelap akibat cahaya abu merangkaka naik.

Apakah ada kata lain yang bisa kugores untuk melukisnya lebih baik? Mendung. 

Sebuah keadaan yang memberikan kita soal dan kita hanya mampu untuk sekedar menebaknya. 

Mengapa? Karena ketika aku menyentak rinitk air dan berkata; “Hujan.” 

Justru ia menghadirkan berkas cerah menggersangkan.

Lalu, ketika kukatakan; “Cerah.” Justru ia menurunkan air mata karena aku salah. 

Bukankah antara waktu yang mengisi, ruang yang mempertemukan dimensi yang mengelilingi kita juga seperti itu? 

Lalu? Kamu tahu jawabannya, ketika kamu berdiri di depan pintu yang mengubahmu untuk membenci hujan yang membuatmu melepaskannya atau yang mengubahmu untuk mencintai hujan yang membuatmu menginginkannya. 

Kamu hanya terjebak dalam rindu.

Gadis Hujan (2)


Ada satu bagian keping kecil dalam dunia khayalanmu dimana seseorang berdiri dibalik pintu dan tersenyum melihat sekelompok anak-anak tengah bermain petak umpet. 

Lalu, aku teringat satu potong senja yang menghadirkan memori itu kembali, ketika aku berdiri dibalik pagar usang yang catnya telah memudar.

Pandangan mataku menyusuri anak-anak yang tengah bermain sepak bola, aku pun berputar menebak masa depan waktu; lucu sekali ketika kita tahu salah seorang dari anak tengil yang bermain bola itu adalah seseorang yang akan menerima piala Ballon D’Or.

Aku dilempar kembali pada posisi realita. Melukis dengan cara pelukis kata. 

Aku berpikir mengenai terakhir kali aku bermain bersama suara tawa dan tangis dalam perang batu. 

Di bawah hujan. Kapan? Sudah begitu lama. Aku ingat, terakhir kali aku berlari di bawah hujan tanpa menangis bersamanya, 2 tahun yang lalu. 

Foto genangan air itu masih ada. Masih tersimpan. 

Yang menarikku. Aku ingat, aku menariknya karena ada yang menarikku. 

Ah, itu momen ketika semuanya berakhir dalam kata Selamat Tinggal.

Lalu, di sebuah siang yang gelap, aku berjalan di bawah hujan. Sendirian. 

Di sebuah komplek rumah. Sepi. Saat ini, aku baru menyadari itu, itu adalah terakhir kalinya aku hadir di antara hujan…beberapa bulan lalu…yang menyakitkan. 

Aku harus menutup ingatan ini lewat sebuah kenyataan bahwa momen terakhir itu…

“Ketika aku menangis bersama Bumi dan lewat hujan, Bumi menyeka air mataku.”

Gadis Hujan (1)


Akhir-akhir ini Bumi kerap kali menangis. Emosinya tak terkendali. 

Terkadang ia bisa tersenyum dengan hangatnya lewat mentari dan sejurus kemudian menangis lewat rintik airnya yang dingin seolah-olah bersua bahwa ia sudah lama bertahan pura-pura kuat layaknya es, beku, dan kini, ia mengeluarkan segalanya dalam bentuk lelehan air. 

Mungkin, seorang gadis yang selalu duduk dibalik jendela menikmati rintik air yang mengalir dari tempat tinggi ke rendah tengah merindukan untuk merasakannya.

Berdiri ditengah tarian angin yang kencang yang berkolaborasi dengan hujan. Lalu, pada suatu siang, ketika Bumi berkaca-kaca, gadis itu duduk di sebuah kendaraan bermotor, menunggu tubuhnya dibasuh air-air yang dengan pasti akan turun. 

Dan benar, hanya saja, kurang meraung-raung. Kurang histeris. Dua kali, suatu pagi ini dan siang itu. 

Walau harus menikmatinya seorang diri ditengah keramaian yang dirasakan hanyalah kesendirian. 

Ditengah kebisingan yang sebenarnya kepalsuan atas keheningan, semuanya melebur pada setiap bulir Kristal.

Mungkin, aku akan banyak menulis tentang hujan.

Tentang bagaimana aku diam di dalam ruangan tanpa ada celah ataupun sela yang mampu membuat mataku melihat dunia luar sana, tapi, ketika aku mendengar suara hujan itu, aku mampu merasakan apa yang sedang menjalar ke seluruh tubuhku, partikel yang kurindukan. 

Hanya mendengarnya saja. Suara itu seperti suara lonceng natal. Seperti suara tawa khas Santa. Seperti bedug lebaran.

Seperti petasan akhir tahun. Seperti tepukan bising barongsai. Suara-suara abstrak yang mewakili itu berbicara banyak.

Aku teringat akan gadis hujan yang kulukis dalam dua tulisan dalam diariku. 

Suara hujan berbicara banyak. Rintik hujan menyimpan banyak hal. Air hujan yang mengalir di tanah memecahkan banyak perkara. 

Semua tanda-tanda dan aktivitas hujan di pepohonan dan sekitar berhasil dengan mudah diterjemahkan oleh gadis hujan. 

Karena ia merasakan dua hal sekaligus dan terhimpit dalam ambang atas keduanya, sebuah rindu, kawan.