Wednesday 10 October 2012

Fall (5): Hujan Melukis Kamu



Ini cerita mengenai hujan dan kamu. Saat hujan ternyata mampu melukis kamu dan saat kamu dilukis oleh hujan. Lalu, saat aku meminta hujan untuk menghiburku, menggantikan dirimu.

Tahukah kamu, setiap hujan datang, langit tengah memberi tebak-tebakkan bagimu, ia menciptakan kelabu dan gumpalan awan hitam bergumul menjadi satu, menyembunyikan sinar matahari yang terkadang masih mencuri-curi celah untuk memunculkan sinarnya. Angin bertiup sedikit lebih dingin daripada biasanya, dedaunan berguguran diterpa angin yang kencang. Kadang, kamu berpikir, mungkin langit akan segera memuntahkan isi awannya, akan ada hujan, tapi, justru rintik hujan tidak pernah turun, langit hanya tengah bermain-main denganmu. Namun, saat kamu berpikir mungkin langit hanya mendung, langit justru menurunkan tetes-tetes airnya membasahi Bumi. Langit mendung kelabu sulit untuk ditebak dan itu seperti kamu. Itu kamu.

Aku sempat membenci hujan, aku mengusirnya pergi. Sama saat aku berusaha menghapus bayang-bayangmu yang menghantuiku setiap malam. Tapi, akhirnya, aku kembali merindukan hujan, merangkulnya hangat, karena aku tahu, aku membutuhkannya, jika tidak aku hanya akan menjadi kaktus kering di tengah gurun. Aku pun tahu, aku membutuhkanmu.

Tapi, saat aku melihatmu keluar dari kantin itu, berjalan keluar dari gerbang sekolah, bersamanya, bersama seseorang yang kamu bilang ingin kamu jaga, seseorang itu tertawa renyah mendengar candaanmu, dengan manik mata hitammu yang memantulkan binar setiap kali kutatap matamu, kamu memandangnya dengan penuh penjagaan dan ada rasa di dalamnya, aku tahu itu, karena aku pun memandangmu dengan cara seperti itu. Sebersit rasa sakit yang membuatku tercekat menyusup ke dalam diriku, mengapa bukan aku yang berdiri di sampingmu? Bukan aku yang mengobrol hingga berjam-jam bersamamu? Mengapa bukan aku?

Saat itu, aku menyadari satu hal, kamu benar-benar seperti hujan bagiku. Aku tidak dapat menggenggam hujan, tapi aku bisa merasakannya, menikmati setiap tetesnya saat aku berdiri di tengahnya, menyapa dan menemuinya, tapi, itu semua hanya momen singkat, hanya sementara. Kamu tidak bisa kumiliki, kamu hanya bisa kurasakan walau itu hanya sementara karena aku tahu, kamu sedang menunggu seseorang untuk dimiliki dan itu bukan aku.

Aku dilemma. Antara melepasmu atau memperjuangkan cinta yang bahkan aku rasa sudah meredup dan hampir mati sebelum aku sempat memulainya, bahkan sebelum aku sempat berusaha untuk meraihnya. Ini mungkin kisah cinta sederhana yang menyedihkan lainnya, seperti kisah-kisah sedih lainnya, aku hanya bertanya padamu dalam bisu; jika aku melepasmu, bisakah seseorang itu mencintaimu seperti aku bisa mencintaimu?

Aku tahu, aku mencintaimu. Mungkin jika aku melihatmu dalam buta, aku akan berusaha mendapatkanmu dalam genggamanku, tapi, di sisi lain aku tahu, aku tidak buta, aku tidak ingin mencintaimu dalam kegelapan dalam buta, maka itu, sampai saat ini, aku hanya memandangmu dalam jarak yang jauh, menganggumimu di balik jendela berembun di pagi hari dan jendela yang basah karena rintik hujan.

Sekali lagi, aku menemukan persamaanmu dengan hujan. Aku pun mengalami dilemma pada hujan. Aku selalu memperhatikan hujan setiap kali ia datang mengetuk Bumi dan menyiraminya begitu saja, terkadang, aku keluar hanya untuk menyapa hujan sekedar mengucap selamat datang dan berterima kasih karena telah menghadirkan kesejukkan, tapi, di samping itu, hujan tidak pernah benar-benar melihatku, memperhatikanku dan bahkan tidak menyapaku. Aku dilemma, apakah aku masih harus mencintai hujan, merindukan kesejukkan yang ditawarkannya sedangkan ia sendiri tidak pernah melirik sedikit ke arahku, baginya aku hanyalah objek untuk disiram oleh tetes airnya. Bukankah itu kamu? Aku selalu memandangimu, memperhatikanmu lewat sudut mataku yang berkaca-kaca dan menatapmu dengan binar harapan, tapi, kamu tidak pernah melihat ke arahku sejenak saja. Semuanya hanya berujung pada rasa yang semakin kacau dan lagu-lagu cinta yang kudengar untuk menemaniku setiap malam setiap kali aku mengetahui bahwa aku hanya bisa menggenggam bayangmu tapi tidak bisa dirimu yang nyata seutuhnya.

Walau rasa dilemma dan bimbang itu tetap ada hingga sekarang dan masih tetap mengiris hati yang terasa begitu pahit dan membuat bisu lidah yang kelu ini, bagaimanapun, aku harus menghadapimu, menghadapi perasaan ini, mungkin menekannya, menyembunyikannya selamanya atau menguburnya dalam-dalam. Dan, aku tersenyum, aku bukan mereka di luar sana yang akan menangis sepanjang malam, merutuki seseorang lain yang kamu cintai, hingga membiarkan cinta ini melukaiku begitu dalam dan membunuhku pelan-pelan. Aku akan menghadapimu dan melewati ini semua sebagaimana aku bertegur-sapa dengan hujan tanpa mempermasalahkan apakah ia balas mencintaiku atau tidak, maka, aku mengeluarkan cinta ini, bukan dengan membuangnya, bukan menghapusnya, melainkan mengeluarkannya dalam bentuk untaian kata, menghias kisah bisu antara kita dengan deretan kalimat, membentuk suatu cerita yang utuh, mengabadikannya, lalu menyimpannya dalam hujan.
 
Tapi, tahukah kamu, ada satu perbedaan antara kamu dan hujan, jika hujan harus kutebak akan kedatangannya, aku tak perlu menebak apakah aku mencintaimu atau tidak, karena, sesungguhnya dalam bisik kata bisu ini, dengarlah aku, Aku Mencintaimu.

Ini episode tentang kamu dan hujan. Hubungan kamu dan hujan yang kini kulukis dalam bentuk kata-kata yang menyeruak saat hujan datang dan hilang bersamanya saat ia lenyap…

2 comments:

  1. based on true story huh..????heheh

    ReplyDelete
  2. Yup haha . Every entry that label with 'Fall'is true story :)

    ReplyDelete