Ini cerita mengenai hujan dan kamu. Saat hujan
ternyata mampu melukis kamu dan saat kamu dilukis oleh hujan. Lalu, saat aku
meminta hujan untuk menghiburku, menggantikan dirimu.
Tahukah kamu, setiap hujan datang, langit tengah
memberi tebak-tebakkan bagimu, ia menciptakan kelabu dan gumpalan awan hitam
bergumul menjadi satu, menyembunyikan sinar matahari yang terkadang masih
mencuri-curi celah untuk memunculkan sinarnya. Angin bertiup sedikit lebih
dingin daripada biasanya, dedaunan berguguran diterpa angin yang kencang.
Kadang, kamu berpikir, mungkin langit akan segera memuntahkan isi awannya, akan
ada hujan, tapi, justru rintik hujan tidak pernah turun, langit hanya tengah
bermain-main denganmu. Namun, saat kamu berpikir mungkin langit hanya mendung,
langit justru menurunkan tetes-tetes airnya membasahi Bumi. Langit mendung kelabu
sulit untuk ditebak dan itu seperti kamu. Itu kamu.
Aku sempat membenci hujan, aku mengusirnya pergi.
Sama saat aku berusaha menghapus bayang-bayangmu yang menghantuiku setiap
malam. Tapi, akhirnya, aku kembali merindukan hujan, merangkulnya hangat,
karena aku tahu, aku membutuhkannya, jika tidak aku hanya akan menjadi kaktus
kering di tengah gurun. Aku pun tahu, aku membutuhkanmu.
Tapi, saat aku melihatmu keluar dari kantin itu,
berjalan keluar dari gerbang sekolah, bersamanya, bersama seseorang yang kamu
bilang ingin kamu jaga, seseorang itu tertawa renyah mendengar candaanmu,
dengan manik mata hitammu yang memantulkan binar setiap kali kutatap matamu,
kamu memandangnya dengan penuh penjagaan dan ada rasa di dalamnya, aku tahu
itu, karena aku pun memandangmu dengan cara seperti itu. Sebersit rasa sakit
yang membuatku tercekat menyusup ke dalam diriku, mengapa bukan aku yang
berdiri di sampingmu? Bukan aku yang mengobrol hingga berjam-jam bersamamu?
Mengapa bukan aku?
Saat itu, aku menyadari satu hal, kamu benar-benar
seperti hujan bagiku. Aku tidak dapat menggenggam hujan, tapi aku bisa
merasakannya, menikmati setiap tetesnya saat aku berdiri di tengahnya, menyapa
dan menemuinya, tapi, itu semua hanya momen singkat, hanya sementara. Kamu
tidak bisa kumiliki, kamu hanya bisa kurasakan walau itu hanya sementara karena
aku tahu, kamu sedang menunggu seseorang untuk dimiliki dan itu bukan aku.

Aku tahu, aku mencintaimu. Mungkin jika aku
melihatmu dalam buta, aku akan berusaha mendapatkanmu dalam genggamanku, tapi,
di sisi lain aku tahu, aku tidak buta, aku tidak ingin mencintaimu dalam
kegelapan dalam buta, maka itu, sampai saat ini, aku hanya memandangmu dalam
jarak yang jauh, menganggumimu di balik jendela berembun di pagi hari dan
jendela yang basah karena rintik hujan.
Sekali lagi, aku menemukan persamaanmu dengan
hujan. Aku pun mengalami dilemma pada hujan. Aku selalu memperhatikan hujan
setiap kali ia datang mengetuk Bumi dan menyiraminya begitu saja, terkadang,
aku keluar hanya untuk menyapa hujan sekedar mengucap selamat datang dan
berterima kasih karena telah menghadirkan kesejukkan, tapi, di samping itu,
hujan tidak pernah benar-benar melihatku, memperhatikanku dan bahkan tidak
menyapaku. Aku dilemma, apakah aku masih harus mencintai hujan, merindukan
kesejukkan yang ditawarkannya sedangkan ia sendiri tidak pernah melirik sedikit
ke arahku, baginya aku hanyalah objek untuk disiram oleh tetes airnya. Bukankah
itu kamu? Aku selalu memandangimu, memperhatikanmu lewat sudut mataku yang
berkaca-kaca dan menatapmu dengan binar harapan, tapi, kamu tidak pernah
melihat ke arahku sejenak saja. Semuanya hanya berujung pada rasa yang semakin
kacau dan lagu-lagu cinta yang kudengar untuk menemaniku setiap malam setiap
kali aku mengetahui bahwa aku hanya bisa menggenggam bayangmu tapi tidak bisa
dirimu yang nyata seutuhnya.
Walau rasa dilemma dan bimbang itu tetap ada hingga
sekarang dan masih tetap mengiris hati yang terasa begitu pahit dan membuat
bisu lidah yang kelu ini, bagaimanapun, aku harus menghadapimu, menghadapi
perasaan ini, mungkin menekannya, menyembunyikannya selamanya atau menguburnya
dalam-dalam. Dan, aku tersenyum, aku bukan mereka di luar sana yang akan
menangis sepanjang malam, merutuki seseorang lain yang kamu cintai, hingga
membiarkan cinta ini melukaiku begitu dalam dan membunuhku pelan-pelan. Aku
akan menghadapimu dan melewati ini semua sebagaimana aku bertegur-sapa dengan
hujan tanpa mempermasalahkan apakah ia balas mencintaiku atau tidak, maka, aku
mengeluarkan cinta ini, bukan dengan membuangnya, bukan menghapusnya, melainkan
mengeluarkannya dalam bentuk untaian kata, menghias kisah bisu antara kita
dengan deretan kalimat, membentuk suatu cerita yang utuh, mengabadikannya, lalu
menyimpannya dalam hujan.
Tapi, tahukah kamu, ada satu perbedaan antara kamu
dan hujan, jika hujan harus kutebak akan kedatangannya, aku tak perlu menebak
apakah aku mencintaimu atau tidak, karena, sesungguhnya dalam bisik kata bisu
ini, dengarlah aku, Aku Mencintaimu.
Ini episode tentang kamu dan hujan. Hubungan kamu
dan hujan yang kini kulukis dalam bentuk kata-kata yang menyeruak saat hujan
datang dan hilang bersamanya saat ia lenyap…
based on true story huh..????heheh
ReplyDeleteYup haha . Every entry that label with 'Fall'is true story :)
ReplyDelete