Maybe,
we just met once, but, please pretend this is love .
Berkas mentari baru saja menyapa kaca jendela kamarku yang berembun. Aku terbangun dengan sejuta mimpi tentangmu yang masih membekas di benak. Aku membuka jejaring mobile apps di ponselku, aku tersenyum, kamu memasukkanku dalam salah satu diskusi. Awalnya, aku tidak peduli dengan mobile apps itu, tapi, ketika aku tahu kamu ada, setiap hari aku mengaktifkan mobile networtku, menunggumu menuliskan pesan dan handphoneku yang bergetar memberitahuku. Mungkin bodoh, karena kamu tak pernah memanggilku sampai grup diskusi itu akhirnya mati, kamu keluar, semua anggota keluar dan, aku yang terakhir. Karena masih mencari jejak-jejak goresanmu di layar ponselku.
Cinta
kita hanya sebatas lirikan mata di tengah keramaian, senyuman bisu dan sapaan
nama tak berarti. Bahkan aku harus menyembunyikan itu semua dengan melakukannya
dari jauh dan tentu saja, diam-diam. Ini ironi terdalam. Aku tak tahu,
berkali-kali aku mendapati mata kita saling menyapa, dan tatapan teduh itu lagi
yang kutemukan. Apa ada cinta di sana? Pertanyaan itu ditelan oleh keramaian
dan lenyap di udara yang berjarak dan terbentang begitu luas di antara kita. Berkali-kali
juga aku harus segera memalingkan mataku sebelum keberanian menatapmu berubah
menjadi cinta yang semakin tak bisa kulukis.
Ini
benar-benar menyakitkan. Aku baru tahu, waktu untuk seseorang yang jatuh cinta
begitu menjerat, menukik lalu mencekik. Sama ketika waktu akhirnya membuatku
mengetahui ternyata ada banyak hati lain tempat kamu terpaut olehnya. Aku
segera berdiri di depan cermin lalu bertanya, apakah aku pantas bersanding
denganmu? Sedangkan tiga hati lain yang sempat kamu tunggui hatinya, begitu
sempurna dan memikat. Aku tersenyum hambar, wajahku pias, kerongkonganku
tercekat, aku tidak bisa sesempurna itu untukmu. Tapi, bukankah cinta itu
ketika kamu dengan sempurna bisa melihat ketidaksempurnaan seseorang sebagai
suatu hal yang sempurna?
Aku
tidak pernah memaksamu memilihku. Aku hanya ingin sekali sebelum aku
mengucapkan selamat tinggal, duduk denganmu di suatu sore di balik jendela yang
memantulkan cahaya senja yang berbaur dengan awan mendung sehabis hujan, dan
kita bersama meminum teh hangat kesukaanmu. Itu kebersamaan bisu yang sempurna.
Dan,
bersama tulisan ini, kuselipkan cinta di dalamnya…
0 Comments:
Post a Comment