Thursday 24 January 2013

Hujan yang Indah



“Kini hujan bukan lagi sekadar gerimis yang menggemaskan bagai kanak-kanak, melainkan berupa curahan air terjun disertai petir dan angin ribut.” –Kurnia JR
Beberapa hujan yang lalu, aku membongkar kembali kliping cerpen koran minggu. Hujan ‘ganas’ yang datang di awal tahun, Januari-Februari ini mengingatkanku pada salah satu cerpen berjudul ‘Hujan yang Indah’ karya Kurnia JR yang ditulis Agustus 2011. Setelah menemukan cerpen itu, di balik jendela yang menunjukkan air hujan yang jatuh dengan deras, aku membaca ulang cerpen itu, meresapi setiap kata yang dirangkai untuk melukis hujan dari dua sisi. Aku menyesap teh hangat sambil mengangguk-angguk, membaca kembali cerpen itu adalah cara menikmati hujan dengan cara yang berbeda. Sebab ini mengisahkan hujan yang lain.
“Apabila hujan turun, aku paling suka duduk dekat jendela sambil melipat tangan di meja. Kulayangkan pandangan ke luar sambil menyimak ketukan air tempias ke kaca.”- Kurnia JR
Ini cerita sederhana tentang seseorang yang menikmati hujan. Menggambarkan seorang penikmat hujan yang mendapati hujan turun di kotanya indah bak lukisan. Hujan yang selalu turun hampir semuanya gerimis lembut. Bertahun-tahun si penikmat hujan merasakan hujan indah hingga tahun-tahun yang terasa ganjil itu datang dan mengubah hujan yang selalu dikaguminya.
Metafora indah yang ada dalam cerpen ini terasa begitu tepat menggambarkan hujan di awal tahun ini sebagai ironi dari perubahan iklim. Tahun-tahun ganjil yang dimaksud dalam cerita adalah tahun-tahun seperti saat ini, yang menjadikan hujan tak lagi bersahabat, hujan mengundang genangan air berupa banjir. Hujan terasa menyakitkan karena sering kali yang turun adalah hujan asam. Hujan terasa menakutkan karena banyak gemuruh guntur yang mengagetkan dan kilatan petir yang mengintip dengan lirikan mengerikan. Tak ada lagi hujan yang indah yang didapat seseorang itu dalam cerita. Seseorang itu, mungkin juga penulis, merindukan hujan yang indah, seperti dulu. Mungkin aku juga, kita semua.
“Itu dulu, sebelum datang tahun-tahun ganjil ini. Pada awal tahun masih kukagumi Januari dan Februari sebagaimana biasa, tapi bulan demi bulan berlalu dan genangan air mulai terbentuk di sudut-sudut kota, bantaran sungai bahkan hingga di tengah kota. Kendaraan-kendaraan seperti berenang akibat banjir.” –Kurnia JR
Awal Oktober hingga Desember, aku menikmati hujan sejuk turun dengan lembut. Membasahi apa yang gersang dan kering ditinggalkan terik matahari. Lalu, awal Januari dan Februari, hujan turun seolah ingin menguasai Bumi dengan siraman airnya. Banjir dan banyak bencana tidak semudah itu membuatku membenci hujan. Aku mencari artikel penyebab banjir yang mengepung kota, penyebabnya sesungguhnya bukan hujan. Hujan lebih sering dikambing-hitamkan sebagai penyebab utama. Satu pertanyaanku, hujan yang menyebabkan banjir atau kita yang membuat hujan seolah-olah menyebabkan banjir? Itu dua hal yang berbeda. Aktivitas kita yang membuat Bumi tidak bisa mengaliri air hujan dengan baik. Kita menghambat proses melukis hujan yang indah dan menjadikannya bencana. Ketahuilah, cerpen ‘Hujan Yang Indah’ itu tidak menyalahkan hujan, justru ia menjadikan hujan sebagai bentuk ibarat untuk menyinggung ironi akan kehidupan kita hingga membuat alam merubah iklim secara tiba-tiba dan hujan turun dalam waktu kacau, tiba-tiba dan tidak tepat.
Maka, membaca cerpen itu kembali, aku menikmati hujan awal tahun ini dengan cara berbeda. Sebab ini hujan lain. Hujan dari sisi lain. Cerpen itu seperti gambaran hujan yang bercerita pada kita lewat seseorang bagaimana ia berubah, dari gerimis lembut seperti gadis kecil ceria nan pemalu menjadi hujan deras tak kenal reda yang mengundang air mata tanpa jeda. Dan, percayalah, hujan yang indah sesungguhnya akan selalu ada, jika kita menjaga.

Monday 21 January 2013

Tea in the Rain



“Untaian kata memiliki kekuatan. Kata mampu meruntuhkan senja, menggenggam hujan dan meretakkan malam. Tapi, tak pernah kuat hanya untuk sebatas menahanmu tetap di sini.” – di saat aku tengah merangkai aksara dan menghimpun paragraf

Biar rinai hujan menyampaikan sajak rinduku padamu. Maka itu, aku selalu membiarkan hujan turun. Karena mungkin saja, saat itu kamu tengah berdiri atau berada di balik jendela entah dimana, menegadahkan tanganmu menyentuh hujan, lalu kamu merasakan rintik hujan itu menyairkan bagaimana aku menyimpan rindu yang tersakiti di dalamnya.
Tirai gerimis jatuh di luar sana. Aku terbunuh setiap rintik gerimis itu jatuh. Mengetahui jika bulir air gerimis itu akan terlupakan. Hujan deras jatuh tak kunjung berhenti, air mata turun tak menuju reda. Aku terdiam di balik layar ponsel, mengetahui jika aku mengatakan ingin selalu menjadi hujan, berarti aku seharusnya siap untuk terlupakan. Sebab setiap hujan yang pernah datang pun terlupakan. Ponselku seolah berkata padaku, dalam waktu satu atau dua tahun lagi, kamu akan pergi, ke sebuah tempat yang jauh. Dan, tak ada yang lebih menyakitkan dari apapun dari kebersamaan bisu ini kecuali mengetahui kamu mencipta jarak begitu jauh dan tak kan pernah benar-benar melihatku sebagai seseorang yang membutuhkan secangkir teh hangat untuk menyejukkan hujan yang dingin. Aku pun akan segera terlupakan dalam detik waktu yang kuhitung dari hasil mengeja hujan.
Hujan. Ia mungkin saja terlupakan. Tapi, percayalah, setiap kali ia memiliki kesempatan untuk datang, ia selalu mengembalikan kenangan-kenangan semu tentang kita berdua yang tak pernah tersampaikan olehku. Hujan akan selalu ada, dimana pun kamu pergi, untuk mengingatkan kepingan kecil tentangku padamu. Tentang seorang gadis kecil yang selalu menulis sajak hujan untuk si pecinta teh.

Sunday 20 January 2013

Moves Like Salmon



"Perpindahan adalah sebuah ketidakpastian yang pasti."

Minggu lalu, aku menghabiskan sebuah buku dengan judul Manusia Setengah Salmon dari penulis humor Raditya Dika. Awalnya aku mengira buku ini hanya akan mengisahkan bab-bab kisah lucu, namun, di bab terakhir buku ini, aku belajar banyak hal dari kaca mata sederhana. Bab terakhir buku itu berjudul Manusia Setengah Salmon. Diceritakan bahwa suatu waktu, Radith menonton National Geography dimana tengah membahas tentang migrasi ikan Salmon. Dalam waktu tertentu, ikan salmon akan berpindah tempat, menyebrangi perairan dengan jarak lumayan jauh dan arus berat. Banyak salmon yang mati ketika perpindahan itu terjadi. Tapi, mereka tetap berenang untuk berpindah. Untuk mendapat makanan, untuk kelangsungan hidup dan habitat mereka. Apa pun arus rintangan yang ada, salmon tetap pindah.
Saat membaca bab itu, aku teringat akan sebuah lagu yang liriknya bercerita bahwa kita tak bisa hidup dalam sebuah kotak. Hidup kita tak hanya diukur dalam satuan meter persegi. Kita akan menjadi ‘diri kita’ ketika kita keluar dari kotak, keluar dari garis yang membatasi kita. Kita akan melihat apa yang tidak kita lihat dalam diri kita. Mungkin ini yang dinamakan konsep think out of the box. Yang mengajak pikiran kita untuk pindah dari ruang yang mengukung kita. Ini perpindahan menuju kebebasan. Ekspresif. Tapi, di mataku, kedua hal mengenai salmon dan lagu tersebut adalah lebih dari itu. Ini tentang bagaimana kita menikmati perpindahan yang terjadi bukan sebagai keharusan, tapi perpindahan yang membuat kita sekarang ini hidup dan menemukan keindahan-keindahan sederhana penuh makna. Ini esensi dari perpindahan itu.
Sesungguhnya, aspek terkecil hingga terberat pun mengalami perpindahan. Dalam bukunya, Radith menulis, makanan yang kita telan pun berpindah oleh gerak peristaltik, dari kerongkongan hingga mencapai lambung. Tiap pagi, kita berpindah, dari kamar menuju ruang makan, sekolah, tempat les atau ke mana pun. Hati kita pun mampu berpindah. Rasa dan logika berpindah setiap detik waktu yang berpindah jua, yang kata banyak orang disebut move on. Kita tak mungkin hidup tanpa adanya perpindahan. Mungkin perpindahan adalah suatu hal yang menyakitkan, karena ia menjadikan jejak-jejak yang kita buat sebagai berkas kenangan. Tapi, ketahuilah, salmon terus berpindah walau itu mampu membuat mereka mati, mereka berpindah untuk meraih. Jadi, bisa kita sadari, tak akan ada yang kita raih jika kita tidak melangkah pindah. Pindah mengajarkan kita untuk berani, mengenali apa itu resiko dan kemampuan bertahan.
Kamu akan tahu, keindahan tak perlu kamu cari, ia selalu tersimpan rapi dalam perpindahan. Kita berpindah bersamaan dengan pindahnya waktu. Dan, jika kamu menikmati proses perpindahan itu, percayalah kamu akan menemukan keindahan kecil di balik perpindahan itu. Perpindahan adalah sebuah keindahan, karena keindahan ditemukan saat kita berpindah.
Move is the only way to survive. You just need to enjoy it. It’s feel like shooting star. So, enjoy your moves.
This entry was posted in