Thursday, 26 September 2013

A Day Without Rain


Waktu terus merangkak, bergerak menyentuh berkas cahaya rembulan. Mengemas tiap senja. Menguntai kembali hangat mentari. Tak berhenti. Hingga aku mengetahui, tak ada yang menyeruak di antara sudut hati kita. Tidak sepotong hati sederhana, tidak jua sebongkah rasa. Bisu merajai kita. Diam menemani kita. Senyap melukai kita. Sampai kudapati, hanya ada jarak yang terus membentang, tak mampu dilipat waktu maupun kenang. Jarak terus tercipta tanpa tahu ia menghadirkan luka-luka tak terbaca. Menghasilkan berlembar-lembar rindu yang menebal. Kita bermuara pada satu kata; jauh.
I'll dissolve when the rain pours in
Namun, dalam sekap ketidak-mungkinan yang ada, aku masih menunggu. Walau kutahu menunggumu seperti berusaha menggapi bintang jatuh; terasa nyata, tapi hanya sebuah ilusi semata. Tanya kembali menyelinap di relung kalbu; akankah rasa ini akan lesap bersama hujan yang usai senja ini? Ataukah akan lenyap bersamaan habisnya cangkir teh hangat yang kamu sesap? Tak ada jawab, hanya tanya yang menggantung di udara. Menyisa luka. Tapi, sekali lagi, aku tak pernah lelah.
Potong kenangan tergantung di ruang pikirku. Aku menyadari, kenangan mana yang kumaksud? Bukankah cinta kita hanya sebatas sapaan hello dan sekedar ucapan hati-hati? Bagaimana kenangan bisa terasa begitu ranum di kalbu dan sukmaku ketika tak ada waktu nyata yang kita habiskan bersama? Teringat rasa ini hanya milikku; sebagai rasa yang tak terucap. Terselip dalam diam. Tersamarkan di cengkerama bisu antara hujan dan teh hangat. Lalu, sekali lagi, kenangan pada jejak waktu yang mana?
Kesadaranku kembali pada aku yang mengantuk di pojok bangku mobil. Aku menjejalkan earphone di kedua telingaku, lagu-lagu yang memutar memori silam mulai melantun. Arah pandaku seketika terlempar ke luar jendela. Bayangmu bergerak cepat di antara lalu lalang kendaraan. Dalam ramai, aku menemukanmu. Dalam sibuk, aku mengingatmu. Dalam luka, aku mencintaimu. Itu kenangan yang paling ranum; mencintaimu.
Photo credit : Taken by me. On my way to home, i sat in the bus and suddenly it's raining. I remember you, again.

Sunday, 15 September 2013

Sleepless Night


Berkas cahaya rembulan rebah di pangkuanku. Hangatnya terasa menjalar perlahan di sekujur tubuh. Kubiarkan waktu terus merangkak malam, tak peduli derik serangga semakin berisik di antara semak-semak. Aku sedang menunggu seseorang, ia hanya akan datang saat aku meluangkan waktu untuk bercengkerama dengan malam sunyi. Benar saja, ia datang, menyeruak di antara bayang-bayang gelap. Kami mengobrolkan potong-potong peristiwa.

“Siang itu, aku berdiri di bawah terik matahari. Langkahku tepat berhenti di depan sebuah bank ternama. Banyak orang berlalu-lalang keluar dari dalam bank, membawa seikat uang, sebundel amplop dan berkendara mewah. Di antara kendaraan keluaran terbaik itu, berdiri seorang nenek ringkih, berkerudung kuning. Ia berjalah tertatih dan mencoba menopang tubuhnya pada sebuah motor besar. Menegadahkan tangan dan berbisik ‘dana’ atau ‘makan’. Tapi, aku mendengarnya. Hanya bisik samar yang tenggelam dengan suara bising lalu lintas dan keramaian orang yang berdebat akan ekonomi. Tak ada pasang mata yang singgah barang sejenak untuk merangkul nenek itu. Terik matahari semakin membakar, mungkin tak hanya menghanguskan tubuh tapi juga memberangus hati orang-orang itu hingga tak mampu merasa.”
“Malam itu, aku tengah membeli makanan ringan di pinggir jalan. Aku melihat seorang kakek tua sibuk di sbeuah tempat sampah besar di depan pusat toko grosir barang sembako. Beliau mengais sisa pembungkus nasi yang masih utuh. Walau berminyak, bau dan amis, pembungkus nasi bungkus itu masih dicarinya. Ditumpuknya hingga menggunung, berharap akan menjadi gunung receh rupiah. Aku melihatnya, kakek itu juga menatapku. Aku tahu ia merasa malu, tapi ia tetap menyibukkan diri kembali dengan pembungkus-pembungkus sisa itu. Tanpa beliau tahu, hatiku runtuh saat itu juga menyadari tatap matanya yang begitu dalam, menyiratkan sejuta harap tak sampai yang begitu menyayat.”
“Sore itu, aku tengah duduk di atas motor. Langit sebentar lagi mengantar siang menuju senja jingga. Aku berhenti di sebuah kemacetan panjang, namun ada satu sepeda yang masih melaju di pinggir kemacetan yang ada. Sepeda itu dikayuh seorang kakek tua, membawa sejumlah koran. Si Kakek Loper Koran. Aku mengamati tulang-tulangnya yang rapuh, bekerja keras mengayuh sepeda dengan jarak tempuh yang tak pernah bisa kuterka. Setiap gowes sepedanya, membolak-balikkan hatiku hingga lebam.”
Aku selesai bercerita. Malam ini, tak ada kantuk yang hinggap di ruang pikirku. Seseorang itu hanya mengangguk, pandangannya nanar menuju bintang-bintang. Hatiku semakin gelisah, jauh kusadari, bukan karena peristiwa-peristiwa itu, tapi pada pertanyaan; bagaimana keadaan mereka sekarang? Tak ada jawab kecuali sunyi malam yang semakin menikam. Sayup kudengar bisiknya di telingaku; titipkan beribu doa pada Tuhan bagi mereka. Maka, aku pun memejamkan mata.
“Saat kamu terbangun di sebuah malam yang begitu larut, dan menyadari itu karena kamu menangis dalam tidur oleh mimpimu, tak ada hal terbaik yang bisa kamu lakukan kecuali berdoa.”
This entry was posted in

Thursday, 12 September 2013

Rain Fall (5)


Di lorong tunggu ini, aku mengais harap, terbunuh rindu
“I hope you know, everytime I don’t I almost do…” - Taylor Swift, I Almost Do
Aku duduk di sebuah lorong tunggu, membungkus diri dalam gumpalan kenangan. Terjerat dalam hitung waktu yang menyiksa; menyadari tak ada lagi sisa harap yang bisa kudekap. Aku selalu takut rasa itu akan lesap menyisakan ruang hati senyap. Lantunan lagu-lagu menari di telingaku, memainkan simfoni yang mewakili hati yang tengah berdarah ditingkahi luka. Detik waktu terus berjalan, lorong tunggu di tengah keramaian itu bergerak sepi. Meninggalkanku dengan genang air mata sendiri. Menunggumu adalah harap yang tak akan terpatri. Lorong tunggu itu berakhir dengan sunyi. Kamu tak pernah datang.
“This is the last time I’m asking you why, you break my heart in the blink of an eye…” - Taylor Swift, The Last Time
Aku menggenggam ponselku erat. Bayangmu hanya berkelebat tanpa satu pun yang singgah dengan nyata. Melemparku pada waktu lalu, saat aku berjalan di seberang kelasmu. Langkah kakiku terasa berat, karena aku tahu, ruang kelas itu tengah mengurungmu bersamanya. Sejak itu, aku tak pernah mendapati tatap teduhmu. Tak ada lagi hangat teh yang memeluk hujan.
“Dear you; a cup of tea. I’m no one special. Just another wide-eyed girl who desperately in love with you. Through rain, I slipped the unspoken love of you.”
Sekali lagi, aku menyadari, yang kubutuhkan hanya ruang bisu untuk mencintaimu. Cinta yang tak mampu kuterjemahkan. Sebuah rasa yang tersamarkan oleh hujan. Rasa yang sudah kutitipkan di antara rinai hujan sebagai cinta yang tak terucapkan. Biar rasa itu hanyut dan utuh menjadi kenang akan rahasia rasa. Walau saja kamu tahu, banyak hal yang tak kulakukan, sesungguhnya sempat ingin kulakukan, salah satunya; memberimu sebuah amplop yang dipenuhi puisi-puisi dengan sekantung teh di dalamnya. Kita tak perlu menjawab pertanyaan mengenai cinta, cukup duduk tenang di bawah senja di balik jendela, lalu menikmati secangkir teh hangat bersama.
“I know it’s simple name, everything has changed…” - Taylor Swift, Everything Has Changed
Tapi, kamu tak pernah datang. Lorong tunggu itu menyisa berkas-berkas sunyi yang hanya menusuk hati sore ini.