Thursday 28 November 2013

I Called Her Claudie

Ini malam yang dingin ketika aku mengawalinya dengan membongkar onggokkan kenangan yang dimulai tiga tahun lalu…
Aku membaca sederetan nama yang tercantum dalam selembar kertas. Selembar kertas yang tertempel di tembok utama dinding sekolah, aku menemukan namaku masuk dalam sebuah kelas urutan acak B. Dengan langkah gontai yang malas, aku melangkah ke lantai tiga, tempat dimana kelas baru menungguku. Mengambil tempat duduk di tengah- seorang diri. Dari balik bangkuku, aku bisa melihatnya, duduk di sebelah kanan di depanku. Rambut hitam lurusnya di kuncir dua, aku tersenyum. Entah, saat itu, seolah ada yang berbisik padaku; suatu saat nanti aku akan merangkai jutaan kenangan dengannya. Keesokkan harinya, aku menyapanya, menjadikannya teman. Lusa harinya, aku tahu dia adalah sahabatku. Hingga detik ini, aku menyadari suatu hal yang lebih penting, dia adalah bagian dari keping kenanganku.
Duduk di sebelahnya membuatku tahu satu hal tentangnya; ia suka menggambar. Ia menggambar setiap harinya, kapanpun – ketika bel istirahat berbunyi, kamu akan menemukan papan tulis putih yang sudah bersih, akan kembali tercoret oleh gambar-gambarnya. Ia menggambar apa saja, sampai suatu waktu aku memberinya tulisan-tulisanku. Dan ia mulai membuat ilustrasi untuk tulisanku pertama kalinya; The Last Stumble. Namun, dua tahun berlalu, dan aku tak lagi menemukannya duduk di sampingku.
“Saat ada yang berkata padaku jika kita akan banyak kehilangan seseorang dalam hidup kita, karena ia pergi oleh waktu dan jarak. Aku selalu berkata tidak. Setiap hal berubah karena jarak dan waktu, tapi ia tidak hilang. Ia tidak pergi. Ia masih ada di sini, di ruang pikir, sudut ingatan dan tepian hati. Walau ia hanya sepenggal kenangan, terkecil sekalipun.”  - terkadang, saat aku menangis dan bergelut dengan sunyi yang menyiksa, aku mengingatnya. Aku selalu ingin memanggilnya, bercerita tentang banyak hal yang terjadi ketika ia tak lagi duduk di sebelahku. Banyak hal yang berganti, tapi aku selalu urung. Melihat tugas dan kesibukkan yang menenggelamkan waktunya, aku tak pernah ingin mengganggunya. Sampai siang itu datang.
Hanya pesan singkat, tiga kali. Aku memanggil nama depannya. Aku tak berharap ia harus datang ke kelasku. Tapi, ia datang. Mendapatiku kembali menangis seperti tiga tahun silam. Ia datang. Dan aku merasa ada yang salah, memanggilnya hanya untuk membebaninya dengan masalah-masalahku, mencarinya di saat aku tak tahu lagi kemana harus singgah.
“Setiap hal menjadi penting ketika kamu bereaksi terhadapnya. Kamu menangis, itu menjadi penting.”  - ini kalimat yang kuingat darinya, sebelum akhirnya ia memelukku sesekali di sela tangis dan ceritaku.
-      Bahkan sampai saat ini, aku masih mengingat bagaimana aku bisa melupakan ulang tahunnya 21 November lalu. Rasa bersalah itu masih menganga di benakku, maka, bersama tulisan ini, ada selip ucapan selamat ulang tahun untuknya, selain kata maaf. Tak ada air mata ketika aku menuliskan ini, karena aku ingat; “Kadonya gampang, Ver. Kamu berhenti nangis ya!” Dan aku sadar, saat itu – hingga kini, aku begitu merindukan lembar-lembar kertas yang berisi coretan gambarnya. 
     Setiap detik, aku hidup dan merasa hidup karena keping kenangan yang kupunya. Dan mengingat salah satu bagian kenangan tentangnya seperti mengembara pada saat-saat yang tak pernah kau bayangkan akan semanis mimpi-mimpimu. Dan seseorang itu, aku memanggilnya Claudie. I called her Claudie.
 "   "Claudie, we're just like a star. Maybe we separated by a distance, but we know, we always and still be there and have each other."

Saturday 16 November 2013

Why We Gotta Be So Mean?

Hari itu, cakrawala menggelap. Mendung menggelayuti langit. Menyelimuti Bumi dengan kelabu. Aku dengan salah seorang sahabatku tengah mengobrol dalam mobil. Obrolan panjang tentang seorang adik kelasku.
“Aku pernah melihatnya mengambil tempat di antara barisan teman-temannya saat doa pagi, tapi teman-temannya segera menyingkir dengan tatap jijik padanya. Ia terlihat tidak punya teman. Sekali ia berada pada satu tempat, semua menjauh. Aku tidak tahu dimana yang salah,” ujar sahabatku itu, nadanya merendah, ada selip prihatin di antaranya. Aku tahu siapa yang tengah sahabatku itu bicarakan. Ia adalah salah satu adik kelasku. Aku mengangguk. Aku pernah melihat kejadian yang sama, adik kelas itu melewati lorong kakak senior, seketika ia ditahan dan mulai ‘diganggu’. Aku juga pernah melihatnya duduk di angkot yang sama denganku, salah satu temannya segera menggeser duduknya sedikit dengan wajah ketus menjauhinya.
“Menurutku, dia orang yang baik, polos dan lugu. Ia bahkan pernah mengucapkan selamat ulang tahun padaku, padahal ia tak tahu kapan tanggal ultahku. Ia hanya melihat teman-temanku mengucapkan selamat padaku, ia pun mengikutinya,” timpal sahabatku itu lagi. Sahabatku tak tahu, jika saat ia mengatakan hal itu, hatiku mencelos.
Aku tahu, adik kelasku itu – seorang lelaki tinggi, gendung, bertubuh gempal, pernah tidak naik kelas dua tahun, berkaca-mata kuno dengan wajah yang jika dibandingkan lelaki-lelaki ramping bermotor ninja di sekolahku, tak akan ada apa-apanya. Tapi sesungguhnya, di balik semua kekurangan yang ia punya, aku yakin dan begitu percaya, ia punya hati yang baik. Tatap matanya yang tidak terlalu fokus, tapi mengadung kepolosan yang tidak macam-macam. Wajahnya tidak tampan, tapi ia punya ketampanan hati. Otaknya tidak cemerlang, tapi ia punya hati yang kemilau. Tak banyak hal yang kutahu tentang dia, kecuali kekurangan dan keburukan fisik yang terus beredar se-antero sekolah, tapi di sudut tersembunyi dari itu semua, ada yang menarik darinya.
“Cici, makasih ya waktu itu,” ujar adik kelasku itu suatu hari padaku, sehabis aku menariknya dari gerombolan  kakak kelas lelaki yang memiliki keisengan untuk ‘mengerjai’-nya.
Pikiranku pun terlempar pada sosok adik kelasku yang lain, seorang perempuan berambut pendek, tubuhnya yang cukup gemuk dan tinggi untuk ukuran kelas 1 SMA (bahkan lebih tinggi dan besar daripadaku), warna kulitnya gelap, wajahnya tidak secantik teman-teman perempuanku yang bertubuh montok-putih mulus dan lainnya. Adik kelas perempuanku itu punya cerita lain. Ia dijauhi, di-bully oleh teman sekelasnya, mendesaknya untuk melangkah ke tiap sudut sekolah sendirian. Pernah suatu waktu aku mendekatinya. Saat itulah, aku melihat secercah senyum mengembang di bibirnya yang sedikit merah ranum kehitaman, ia terus bercurhat tentang seseorang yang ia cintai, ia tertawa kecil – tersenyum lebar. Dengan polos, ia terus bercerita, cerita-cerita seperti mimpi untuk menjadi Cinderella. Diam-diam, aku merasa teriris, mereka – kedua adik kelasku itu, butuh seorang teman.
Terlepas dari itu, tak banyak yang memperhatikan bagaimana adik kelasku itu sering kali berjalan sendiri, jajan ke kantin sendiri, ia ‘berteman’ dengan kesendirian. Dan, itu begitu menusuk. Sebab, tak banyak juga yang tahu, bagaimana setiap pagi aku bangun dan menyetel lagu-lagu anti-bullying dari playlist ponselku untuk menghentikan tiap air mataku yang jatuh - tiap kali mengingat beberapa tahun silam ketika bullying itu sendiri terjadi padaku, tepatnya ketika SD. Rasanya begitu menyiksa, ia menjerat hatiku perlahan, mengoyaknya dengan kata-kata tajam menusuk dan menghantamnya keras dengan bayang-bayang kesendirian.
Terkadang, kita terlalu banyak mengomentari orang lain hingga lupa ‘mengomentari’ diri sendiri yang terus berkomentar. Kita terlalu sibuk fokus pada kekurangan orang lain, hingga tidak menyadari kekurangan kita sendiri yang terus melihat kekurangan orang. Why we gotta be so mean? 
"Aku gak pernah bisa bayangin dan gak tega buat ngelihat seseorang bisa dijauhkan oleh teman-temannya seperti itu. Pasti begitu menyakitkan dan orang-orang yang menjauhinya itu, takkan pernah tahu. We will never know, including what will be happen in the future,” ujar sahabatku dengan meninggalkan senyum penuh arti. Aku mengangguk, mengiyakan apa yang dikatakan sahabatku itu untuk mengakhiri obrolan sore yang mendung. Yes, we’ll never know.

This entry was posted in

Coincidence

Aku menghampiri seorang temanku di sebuah siang terik yang membosankan, kukatakan padanya, siang yang bosan itu seketika berubah ketika aku bertemu seseorang. Ia tak sengaja berpapasan denganku ketika kami secara ‘kebetulan’ membuka pintu kelas masing-masing secara bersamaan. Temanku itu mengernyit, lalu bertanya padaku, apakah aku percaya ‘kebetulan’?
Kata banyak orang – dan, aku menyetujuinya, jika setiap pertemuan, baik itu sekecil apapun, sudah ada skenario yang mengaturnya. Telah ada gores tulisannya; dimana penulisnya adalah Tuhan. Walau pertemuan sederhana dan singkat yang mungkin kita lupakan, seperti bertanya alamat pada orang di tepi jalan, menaiki salah satu taksi/ angkutan umum, memberi sedekah bagi pengemis di trotoar, bertemu pengamen jalanan, membantu kakek/nenek yang tidak kita kenal untuk menyeberang jalan dan lainnya. Masihkah kita ingat bagaimana wajah seseorang yang membantu kita menunjukkan arah jalan untuk alamat yang kita bingung? Masihkah kita terbayang wajah supir, pengemis, anak jalanan atau siapapun orang asing yang kita temui di jalan dan hanya singgah sesaat dari banyak detik hidup kita? Semua itu ada campur tangan dan sentuhan Tuhan di dalamnya. Justru, dari detail-detail sangat kecil nan simpel yang terlupakan dari ruang pikir kita itulah, Tuhan menyelipkan kejutan-kejutan.
Aku kembali pada kesadaranku, aku menggelengkan kepala menjawab tanya temanku itu.
“Karena, bukankah sebuah hubungan yang begitu akrab, kental dan hangat dimulai dari sesuatu yang sering kita sebut kebetulan? Namun, sesungguhnya bukan,” kataku kala itu.
Kita sering bilang, kebetulan aku naik angkot itu dan akhirnya bertemu si dia. Tanpa kita sadari, sesungguhnya tak ada kebetulan ketika kita menaiki angkot itu, kita memang dan sudah ada skenario agar kita menaiki angkot itu dan memulai pertemuan dengan siapapun di sana, yang nantinya menjadi bagian besar dari hidup kita. We called it God Scenario’s.
Temanku itu mengerling padaku sambil berjalan menlusuri lorong kelas, “Jadi, baiknya kamu berharap dia tak menganggap sapaan tadi hanya kebetulan belaka. Semoga saja dia menyadari jika itu sudah skenario Tuhan untuk mempertemukanmu dan dia. Entah untuk menjadi teman, sahabat atau…” Ucapan temanku menggantung di udara. Temanku hanya tertawa dan berlari pergi. Aku diam, menatapnya dari jauh, memilikinya menjadi temanku; itu juga bukan kebetulan. Lalu, bagaimana dengan mencintai seseorang itu? Ah, aku harap itu sebuah kebetulan.
This entry was posted in