Friday 2 January 2015

Menuju 2015 dalam Doa


‘selamat melipat 2014 dalam kenang dan menyapa 2015 penuh tantang’ jumpalitan dimana-mana. Ia juga mengusik malam dengan pijar api yang berkembang di langit, tanpa henti, dimulai sejak pukul nol-nol menepi. Aku meringkuk di sudut kamar yang riuh akan sunyi, hanya lima menit membiarkan diri larut dalam kawanan ramai yang memiliki ratusan penghuni. Biar kuceritakan lima menit singkat itu, ketika aku mendapati malam terasa asing, karena sorak keramaian dan kesunyian yang biasa merebah di tubuh malam; saling mengancam. Aku menemukan sunyi terkapar di pojok sepi dalam ruang hening yang hampir mati. Gelayut resah seketika bergeliat, mencipta rasa janggal di bilik hati. Aku terus bertanya, apa yang membuatnya ganjil. Apa karena hujan hari ini berusaha merebut hati malam, dengan cara membunuh senja? Namun, nyatanya hujan justru diusir oleh malam yang bersedih; lihatlah, setelah tubuhnya diserang berkali-kali oleh gaduh dan pancaran pijar, malam berkali-kali berusaha membujuk sunyi untuk pulang kembali meniti dini hari. Hujan yang dicampakkan, menerabas fajar, menelikung subuh dan berakhir dengan langit kelabu penuh awan mendung di pagi yang berkabut.
“Mungkin kamu gelisah, kita semua sibuk menggantung angan-angan baru pada purnama yang tak pernah baru. Justru semakin menua,” katanya yang tiba-tiba muncul dari jalan lenggang di kompleks perumahanku. Ia bersandar pada pagar rumah yang cat warna-warninya sudah mengelupas oleh waktu, dan usang dierat zaman. Rasa-rasanya, ia benar. Aku terus-menerus mengecek layar telepon genggamku, menghitung mundur menit yang katanya akan menuju baru dan terlahir kembali. Sedangkan di langit sana, purnama bersembunyi; ketakutan. Aku memandang nanar, ini meriah yang terasa menyiksa; membuatku hanya teronggok diam. Bukan karena akan meninggalkan, tapi lebih karena segalanya terasa sama; perayaan dan peringatan.
“Lantas, kamu ingin seperti apa, sayang. Tak mungkin menyapa lembaran kalender baru dengan sakramen sunyi. Lagipula, pijar api yang berkembang indah itu, mengingatkan ada banyak keluarga dan sahabat yang saling berkumpul, menyisihkan ego mereka, menanggalkan jam sibuknya dan kembali pulang.”
Aku tersenyum. Mungkin aku terlalu terjerat memori silam hingga sulit melangkah. Mencari yang istimewa, namun segalanya tetap biasa. Lalu aku menyalahkan apa yang sesungguhnya berusaha disuguhkan Tuhan dalam ceria. Walau tahun itu ditutup dengan berita tragedi. Aku membasuh wajahku dengan debu dan udara malam. Mungkin ini saatnya melarutkan diri dalam doa. Aku membutuhkan lebih dari sekadar telinga.
“Kamu tidak menulis resolusi?”
“Tidak, aku hampir tidak pernah merencanakannya tiap tahun. Tapi kamu bisa membaca resolusiku, pada kenang-kenang tahun kemarin, tahun sebelumnya, tahun yang berlalu-lalu dan silam. Pada kenang yang belum kuselesaikan dan kulepas, ada resolusiku di sana.”
Kamu menggeleng, tersenyum. Lalu berbisik, selamat menjejaki titian baru, dan berhentilah menapak tilas masa lalu.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment