Saturday 3 January 2015

Seorang Kakek Pengumpul Kardus


Aku punya cerita tentang seorang pria tua. Apa kamu ingin mendengarnya? Ini cerita yang begitu sederhana. Hanya cerita kecil yang mungkin akan dilupakan dan dipinggirkan. Terlebih pula, aku tak mengenai pria tua itu. Aku hanya pernah melihatnya beberapa kali – sewaktu aku masih di bangku kanak-kanak, duduk diboncengan sepeda dan mataku masih segar untuk menari-nari di tiap sudut pemandangan yang terhampar. Lalu, jeda rasanya merentangkan jarak dan melebarkan waktu, aku tak lagi melihatnya setelah waktu kanak-kanakku berakhir, hingga sekarang. Sampai hari itu, ketika aku melewati gang pengap itu – dan menemukan pria tua itu sekali lagi, dengan kemeja biru vanilla yang kelonggaran di tubuhnya yang renta, dan celana pendek berbahan katun berwarna krem. Pria tua dengan sepedanya yang usang – masih sama. Dan nyaris tak kutemukan yang beda dari apa yang kulihat di waktu kanak-kanakku dulu; si pria tua masih mengais tempat sampah sebuah agen grosiran. Tempat sampah yang berisi kardus-kardus bekas. Aku tertegun.
Seperti yang kubisikan di awal, ini cerita yang tidak terlalu menarik, hanya sepintas lalu dan melintas sejenak. Tapi entah, sejak beberapa hari lalu manik mataku menangkap sosok kakek tua itu, mengabaikannya menjadi hal yang sulit. Aku duduk di balik jendela kamar yang muram oleh terpaan sinar terik siang dan hujan rintik-rintik kemarin malam, sembari menghitung waktu yang sudah terlampau tahun, dan kakek itu masih memiliki aktivitas yang sama; mengumpulkan kardus bekas dengan sepeda usangnya. Mungkin selepas kanak-kanak, aku bukannya tidak pernah melihatnya lagi seperti itu, tapi karena hampir tidak pernah aku melewati gang perumahan yang kumal itu lagi. Tak pernah menemukannya lagi, bukan berarti ia berhenti mengumpulkan kardus bekas untuk koin-koin rupiah dan hidupnya sehari-hari. Berbagai kemungkinan jumpalitan di ruang kepalaku yang sesak; rasanya tahun baru tak benar-benar baru untuk kakek tua itu. Hatiku ringsek.
Aku ingat terakhir kali aku mengamatinya, menjelang senja. Saat beliau memarkirkan sepedanya di balik tong sampah besar yang lebih seperti drum minyak. Beliau bercengkerama sesaat dengan tukang agen grosir yang tengah mengangkat barang-barang. Cukup lama sebelum akhrinya salah satu tukang itu membantu si kakek mengeluarkan kardus-kardus, dan menginjak-injaknya agar lebih mudah diikat. Seikat kardus untuk nantinya – mungkin ditimbang dan bersulap menjelma seikat rupiah. Benakku terusik.
Sudah kubilang tadi, ini kisah kecil. Lalu, berakhir di sini. Tak ada yang khusus, spesial ataupun istimewa. Tapi, si kakek tua pengumpul kardus itu seakan berhasil mengatakan padaku, teratai tetap putih walau ia tumbuh di genangan lumpur yang kotor, dan, mata tetap berbinar walau ia bersinar di antara pekatnya gelap malam. Lagi-lagi, beliau berhasil melarutkanku dalam doa.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment