Thursday 24 September 2015

Tentang Terlalu Mudah



Aku pulang dengan sejuta rasa letih – setiap gerak yang kulakukan seperti ancaman terhadap tubuhku. Dan, aku rebah digulung kantuk seraya menyinggahi pandang pada jalannya jarum jam. Sudah cukup pucat. Tak heran malam mulai mengeluarkan biusannya, berharap ada yang terbuai dan lelap olehnya – lalu ia punya kesempatan bermain-main melalui mimpi yang dihadirkannya setelah berkonspirasi dengan kenangan yang mengendap. Simpanan waktu lalu di kepalaku tak terlalu bagus, lebih banyak buruk dan aku takut jalan-jalan ke sana. Aku mengigil, tepatnya gemetar. Kuputuskan tidak lelap, tanganku pun berusaha menyambar sebuah novel yang lusa lalu kupinjam dari seorang kawan.
Mataku disapa berbaris-baris kata, sampai pindaian pandangku terhenti di satu kalimat. 
 “...kamu membuat semuanya terasa begitu mudah baginya.”
Aku seperti terbelah jadi dua. Kicau radio yang menyala dari telepon genggamku tiba-tiba saja tidak terlalu jelas, hanya racauan penyiar yang sambil lalu di telinga. Tenagaku tersirap, buku itu pun mengatup karena tak ada lagi jari yang menahannya. Jatuh begitu saja ke atas tempat tidur yang mendadak begitu dingin rasanya di kulitku. Hatiku kebas. Seperti inikah cara kenangan menelikung di malam yang pucat – karena mereka sama-sama menghadirkan kamu, bahkan lewat kalimat. Mereka membawakan sekali lagi apa yang cerita-cerita roman sebut sebagai debar pertama, permainan mata, dan bisu-bisu yang bercerita. Dan, aku yang memulainya – menyodorkan kostum padamu untuk kamu mainkan peran pangeran untukku, berharap kamu menyukainya dan benar-benar mengajakku ke sebuah kastil impian. Aku membuatmu tak harus bertarung dengan naga untuk membawakanku sepatu kaca. Aku memastikan kamu tak perlu mencari nenek sihir untuk memberimu obat kekebalan menghadapi perang untuk menemuiku. Apakah segalanya terlalu mudah bagimu – dan aku bukan lagi tantangan yang bisa kamu perjuangkan untuk ditaklukkan?
Lalu, teleponku berdering. Membuyarkan lamunanku yang pelan-pelan melumat bulat-bulat. Itu panggilan dari seorang teman. Aku mengangkatnya dengan sapaan yang terbata, dan ia memberiku isakan yang membuat gelisah. Ia bilang semuanya tak lagi seperti di awal.
“Cinta itu permainan. Kamu bisa memulai menekan tombol startnya lewat ‘aku jatuh cinta padamu’. Dan lihat bagaimana ia bertahan selama enam bulan, lebih dari itu, berarti Tuhan memang membantumu.”
Aku menjatuhkan ponsel. Ini sudah lebih dari enam bulan. Dan, aku tak tahu harus mencari kamu di mana kecuali pada kehilangan yang beriman pada lenyap.

Mendengar Bangku Kosong Berbicara


Api kecil di ujung sumbu lilin meja itu bergerak-gerak dilayapi dersik malam. Mungkin mereka sedang bercumbu, si api menjilati tubuh angin, dan angin tak kalah bermain dengan hangat api. Buktinya, api tak kunjung padam walau udara semakin ribut menyentuhnya. Mataku melirik mereka, diam-diam – sebelum akhirnya seorang pelayan yang mengenakan cokelat tua pada tubuhnya menghampiriku menanyakan apa yang ingin aku pesan. Aku terkejut, bayangkan, ia adalah lelaki asing yang tak kukenal dan ia bisa membaca hasratku untuk makan setelah sepanjang hari aku mengabaikan cacing-cacing di dalam perutku yang mengadakan konser besar. Aku memindai pandang pada lelaki yang membukakan buku menu di hadapanku, lalu sibuk menyodorkan bermacam makanan enak yang menjadi rekomendasinya. Lihatlah, aku bisa memastikan kami baru pertama kali bertemu di kafe itu dan ia sudah memperlakukanku bak putri raja, menawarkanku hanya pada makanan terbaik yang ada di kafe. Kepalaku mengantarku pada ingatan akanmu, kapan terakhir kamu bertanya demikian, memilih hanya yang terbaik untukku? Aku mengerang tiba-tiba, kamu lebih payah dibanding seorang pelayan kafe dan orang asing. Padahal hampir tiap hari – sebelum kamu menghilang dan membawa pergi semua janji karetmu – kamu bilang akulah putri mahkotanya yang telah berhasil merebut kekaisaran hatimu. 
Aku kembali sibuk pada persetubuhan api lilin dan udara malam. Berusaha mengusir kelebat bayangmu yang begitu kurang ajar menggodaku. Si api dan angin sepertinya terlibat percintaan yang begitu seru, sampai-sampai aku bisa menghidu bau yang menguar karenanya. Izinkan aku mengoreksinya, bukan bau. Tapi aroma. Sedikit manis, seperti lemon, ah tidak, tapi juga lavender. Aku memejamkan mata, menajamkan penciuman dan darahku berdesir. Sadarku kesiap. Mungkin ini Armani, atau – aku mengumpat. Apakah aku tengah mengundang kembali bau tubuhmu yang masih menempel di kulitku setelah dekapanmu minggu lalu? Ini terdengar bualan yang begitu sialan. Bisakah kamu lenyap tanpa meninggalkan sisa-sisa dan tanggalan yang bisa menjelma hantumu?
Aku mencoba mengumpulkan keterjagaanku. Kubuka telepon genggamku, mengetuk aplikasi media sosial yang selalu aktif. Keriuhan tiba-tiba merayapiku, banyak sekali mulut-mulut yang bergelung pada keluh. Kilauan mendadak menyergapku, desak sekali potret-potret diri dan benda berlabel yang berlomba memanggungkan diri. Telingaku hendak rontok, bola mataku ingin lompat keluar. Namun, tiba-tiba saja sudut mataku menangkap sebaris kalimat dan daun telingaku mendengar sederet kata; apa yang sedang kamu pikirkan? Di antara seluruh hiruk pikuk yang memerangkapku, si media sosial begitu perhatiannya menanyakan apa yang kupikirkan. Mungkin ini yang membuat banyak orang tetap setia padanya, karena dalam keadaan apapun, ia selalu bertanya pada kita terlebih dulu – apa isi kepala kita. Jari jemariku pun tergelitik mengetikkan berhimpun-himpun paragraf padanya, menumpahkan isi hati, gejolak rasa tentang amarah yang menerungku, air mata yang berusaha dibendung, dan senyum yang tertahan. Terakhir kali kamu bilang akan memberi pundakmu ketika aku menangis karena puluhan cerita hati, tapi aku bahkan tak ingat kamu pernah bertanya bagaimana suasana di ruang hati dan kepalaku. Kamu kalah beribu langkah dari sebuah aplikasi yang kerap aku rutuki menjadikan orang-orang robot.
Si pelayan itu kembali dengan pesananku yang terlampau sederhana – sepiring roti bakar dan segelas mocca float. Aku tidak menyentuhnya hingga kafe tutup, dan bangku di hadapanku tetap kosong. Sama seperti kamu, yang tak pernah datang hingga aku lelah menunggu.
This entry was posted in

Saturday 19 September 2015

Kamu yang Mengajakku Jadi Juliet


Kusen jendela yang sudah usang itu menimbulkan bunyi berderit tiap dersik ribut yang menyertai hujan menderas di luar halaman rumah. Rintiknya memercik mengenai lantai yang menggigil. Kalau mereka yang bilang komposisi hujan adalah satu persen cairan dan sembilan puluh sembilan persennya kenangan, dan kita sepakat tentang itu, berarti lantai rumahku kini berserakan ingatan masa lalu. Aku berniat untuk mengusirnya pergi – dengan alat pel – tapi yang kenangan temukan tentangku justru tubuh beku yang dibungkus mantel tebal yang sudah kumal, duduk di atas sofa yang sisi kulitnya sudah robek di mana-mana dan membiarkan busa yang membuat gatal penciuman itu bebas mengudara.
Di luar dingin. Aku paham mengapa kamu lebih memilih membangun kamar lengkap dengan selimut hangat di ruang kepalaku dan tak berniat pergi. Berlari-lari disana tanpa henti. Kamu tumbuh subur di sana – sebab aku selalu memberimu makanan; sececap rindu. Kamu berteriak keras memanggilku tiap kali lapar karena aku coba melupakan kamu yang ada di sana – jadi inilah alasan suaramu mengikuti ke mana-mana. Kamu menggedor-gedor dinding-dinding kepalaku ketika aku mulai menekanmu untuk tenggelam dalam pikiran sibukku – jadi ini sebab nyeri yang menjalariku pada tiap usaha melenyapkanmu. Aku memejamkan mata, dan dingin itu merasuki tulang rusukku. Aku menggigiti bawah bibirku, tapi sia-sia. Hujan tidak memberi ampun.
Gunturnya yang bertalu menunjukkan kemahaannya berhasil membunuh senja hari ini. Singgasana sore dipegang hujan yang ingin balas dendam kepada siapapun yang  bisa menitipkan kenangan sesuka hati tapi tak berusaha menghadapinya, termasuk kepada Bumi yang tidak pernah sadar jika langit mencintainya. Aku pun membiarkan kamu hidup di kepalaku, memelihara dan merawatmu sebisa mungkin – karena aku sadari, setengahnya aku sudah berhasil kamu miliki, dan membuangmu adalah keputusan yang membelahku jadi dua. Membuatku tak sepenuhnya hidup. Tapi, apakah kamu tahu ada setengahnya aku dalam genggaman tanganmu atau saku celana jeans hitammu?
Ini seperti kita bermain peran dalam sebuah drama. Kamu yang berani meminum racun untuk mencari semesta lain tempat kita bisa berdua saja, dan aku mengikutimu dengan menusukkan diri pada pedang. Tapi, setelah dramanya usai, aku cinta padamu hanya permainan kata.
Dan, aku masih berdiri di atas panggung seusai latihan yang menyentuh larut malam, mengenakan pakaian putri, berbisik, mungkinkah kita bisa tetap dalam kepura-puraan drama dan hidup selamanya di sana yang katanya menjanjikan akhir bahagia. Kalau syaratnya harus mengubah diri menjadi vampir, atau tenggelam di tengah samudera luas berpegunungan es, aku akan mencoba untuk menyanggupi diri. Sebab, mana yang nyata dan yang tidak kini hanya dipisahkan dinding yang begitu tipis. Bisa saja kita salah melihat, yang kita bilang tidak nyata dan hanya cerita, sesungguhnya mengandung kebenaran. Salah satunya adalah cinta yang kita temukan secara bebas diungkapkan dan diperlakukan sejati justru mudah kita dapati dalam dongeng.
Belum ada tanda-tanda malam akan mengalah pada mendung milik hujan. Ia tetap saja menyandera langit, merebut sedikit demi sedikit singgasana yang tadi direbut paksa hujan. Deras yang tadi tampak mulai melembut, menuju reda. Aku gemetar. Kenangan yang diwakili hujan kini berhulu pada malam yang gelap. Akankah ingatan yang meminangmu juga menjadi demikian akhirnya; hitam, muram, dan tak lagi bisa dilihat karena sudah tenggelam.
Kalau begitu, inginkah kamu menyelami khayalan paling liarku? Dan, mati di sana.

Permainan yang Menawarkan Kesedihan


Aku sedang melarikan mataku ke luar jendela berkaca buram yang membingkai petang, sebelum tulisan ini jadi. Berisiknya beragam suara yang melayap ke mana-mana dibawa angin, sampai ke telingaku – memantul ulang bagai lagu lama yang diputar tanpa berhenti; remah-remah tawa, lengking teriakkan anak kecil dalam gerombolan, gosip-gosip dan kabar-kabar yang ditunggangi burung. Petang kerap datang bergelayut dalam pangkuan bersama semua itu, tapi ini tetap saja potongan waktu – yang buatku, berarti sangat sementara – yang kamu suka; ketika kutanyakan lebih baik fajar, hujan atau purnama dan kamu menjawab senja. Jadi, tiap langit meruntuhkan keemasannya tiap sore pada Bumi, wajahmu bersembunyi di sana. Orang-orang pun banyak bertanya padaku, bagaimana rasanya?
Itu pertanyaan yang lupa menengok sebentar pada sekian kenangan yang kujajakan berlabel namamu dan semuanya berakhir tak laku karena menawarkan kesedihan sebagai keunggulan utamanya, menjadikannya tanya yang mengundang risau yang sulit didiamkan. Risaunya seperti saat kamu sedang mengisi teka-teki silang yang mana salah satu soalnya tidak kunjung kamu temukan jawabannya, padahal petunjuknya sudah sangat jelas kamu pahami. Kepalamu terus berputar dan pikiranmu bekerja keras agar menuntunmu pada suara klik yang menggenapi kotak-kotak jawabannya, tapi rasanya jawabannya itu semakin menjauh sedangkan kamu terus merasa tahu. Kamu kesal, tapi dikurung penasaran. Kamu tetap mencari. Karena kamu tahu, jawaban itu diperlukan untuk melengkapi apa yang kurang.
Apakah kamu menyadari, jika pencarian seperti ini berujung pada lukisan tentang kamu. Aku tengah mengisi teka-teki silang dan jawaban yang paling penting serta paling akhir untuk menyelesaikan semuanya dalam hasil yang sempurna adalah kamu. Tapi bisa saja, ini bukan tentang mencari jawaban, melainkan tanda lain akan kamu dan aku yang terus bersilang oleh luka.
Jadi, mereka masih bertahan dengan pertanyaan yang sama; bagaimana rasanya? Kalau yang diherankan tentang caraku memperlakukan rindu padamu – ketika jalan satu-satunya menyentuhmu adalah lewat sepotong pesan singkat di layar ponselmu, yang itu pun harus lampus oleh waktu sibuk kerjamu – aku bilang, puncak rindu bertahta pada doa. Bila yang dibincangkan adalah jadwal temu, aku balas bahwa kita berdua bisa saling menyimpan cerita di saku celana yang kita kenakan ke mana-mana, lalu menjaganya sampai mata kita bertemu dan menukarnya dalam tatap diam yang berkisah*. Jika yang disoalkan adalah luka yang diam-diam menganga lebar dan merangsek begitu dalam, aku katakan tak apa, bukankah hadirnya luka yang membuat kita mampu menghasilkan istilah yang disebut cinta? Orang-orang itu tertegun. Katanya aku sudah gila. Dan, aku tertawa. Aku menjelaskan pada mereka bahwa kamu ialah orang yang membuatku mampu bertindak pada hal-hal yang kuanggap tak akan pernah akan kulakukan sebelumnya.
Namun, ini semua sesungguhnya bermain pada aku jatuh cinta padamu – dan itu benar. Hanya saja aku takut kita saling jatuh cinta (lalu usai begitu saja setelah memori yang kita punya tak pernah lagi cukup kuat mengikat kita sama-sama). I’m just afraid that we fall in love, not grow in love. Apapun yang jatuh selalu sakit. And, fall can be turn in to fool in love or fail in love. Dan, lebih dari itu semua, cinta tak lebih dari sekadar permainan. Kamu hanya btuuh memastikan bertindak secara benar dan berencana dengan tepat pula.
Ini tulisan lainnya mengenai kita yang kehilangan banyak hal dalam waktu yang begitu asing dan kita lewati dalam masing-masing. Sekarang, kamu bebas (dari aku yang membeban di hari-harimu, serta ikatan kata ‘kita’ yang mengusikmu), dan selamat berkeliling.

*kalimat ini terinspirasi dari salah satu lirik lagu Ed Sheeran berjudul 'Photograph'

Saturday 12 September 2015

Membincangkan Waktu


Salah seorang pria paruh baya, pernah berdiri dalam satu ruang kelas yang mana aku ada di sana – pada bangku urutan pertama sebelah kiri. Beliau berusaha membawakan ceritanya bersama tubuh ringkihnya yang menua, dan aku salah satu yang begitu tertarik olehnya. Pria paruh baya itu mengisahkan ulang salah satu tayangan iklan kartu kredit yang begitu berani. Digambarkan bahwa tiap orang bisa membeli apa saja – barang, jasa, benda apapun itu – hanya dengan menggesekkan kartu. Tak peduli label harganya berapa pun. Namun, di akhir tayangan itu ada satu adegan yang membuat siapa saja diam. Seorang bapak merangkul bahu anaknya dan seorang ibu yang menyentuh belakang kepala anaknya dengan lembut. Lalu, sang anak bersama sepotong roti, dibagikan untuk makan bersama kedua orang tuanya. Ada satu kata besar itu yang sekiranya mengungkapkan inilah harga dan nilai sebenarnya; ia yang tak terbayar oleh kartu kredit atau lembar nominal uang: cinta, keluarga, kasih dan perasaan-perasaan bagai dekapan hangat yang menyertainya. Selain itu, kamu bisa membelinya lewat gesekan kertas plastik. Kita semua tertegun.
Iklan itu – cerita dari pria paruh baya itu seakan menuding kita satu persatu, apakah hari ini kita sudah bekerja begitu keras lantas keliru mendefinisikan makna ‘penting’ sesungguhnya. Aku pulang dengan gelisah. Aku mengurung diri di kamar, kusambar asal buku terakhir yang kubaca terkait bisnis dan ekonomi perusahaan, mencoba tenggelam di dalamnya dan melupakan gelisah yang berganti rupa jadi usikan. Halaman yang kubuka mengejutkanku. Ini cerita lain. Tentang CEO Colman Mockler, salah satu CEO paling berpengaruh pada masa transisi perusahaan Gillette. Dipaparkan jika Mockler punya tiga kecintaan besar, yakni keluarganya, Harvard, dan Gillette. Kira-kira seperti ini kutipannya;
“...bahkan di masa-masa paling menegangkan dan muram akibat krisis pengambilalihan pada 1980-an dan terlepas dari kian mengglobalnya bisnis Gillette, Mockler mampu mempertahankan keseimbangan luar biasa dalam hidupnya. Dia tidak secara drastis mengurangi jumlah waktu yang ia habiskan bersama keluarganya, dia jarang bekerja pada malam hari atau akhir pekan. Dia mempertahankan ibadahnya yang penuh disiplin. Dia meneruskan kerja aktifnya sebagai dewan pengelola Harvard College.” (Jim Collins, Good To Great)
Dan, aku pun mencari tahu dan membaca lebih lanjut, akhirnya kutemukan fakta mengenai wafatnya Mockler. Ketika itu, ruangan dukanya banyak sekali orang, mereka hadir mengelilingi peristirahatan terakhirnya. Banyak cinta yang mengantar Mockler, dari orang-orang yang mencintainya, yang mencintai apa yang mereka kerjakan dan yang saling mencintai. Bayangkan bagaimana cinta menyulap duka menjadi begitu haru yang indah. Aku mengatupkan buku itu. Bertanya-tanya, sudah sampai mana gunungan tugas menggerogotiku hingga lupa cara memperlakukan rindu – mengabarkannya pada orang-orang yang senantiasa mengontakku sekadar menanyakan kabar. Dan, telah berapa kali aku melempar kalimat bahwa aku terlalu sibuk untuk jalan bersama mengulang kenangan – mengambil nafas dan jarak dari pekerjaan yang katanya demi merekalah aku berusaha keras.
Akhirnya, hari itu – dan berkali-kali aku diingatkan dengan cara sederhana yang istimewa – bahwa waktu yang hanya ringan dan sederhana bersama mereka yang berusaha mendekapku, adalah waktu yang tidak sia-sia, tetap sepenting janji-janjiku, temu kerjaku, dan tenggat-tenggat tugasku.
Tak ada yang cukup mengerikan selain menemukan diri kita sendiri mendekati impian dan target kerja kita, tapi menjauh dari mereka yang dulunya mengelilingi perjalanan kita. Menukar cinta yang mengudara dengan dua frasa ‘aku sibuk’ yang tidak imbang. Lalu, yang tersisa hanyalah seorang adik yang memeluk boneka di balik pintu kayu, melihat kita yang tak lagi pernah menemaninya bermain sepeda sore, berubah jadi memikirkan trik-trik menangani lawan. Teman-teman seperjuangan kita dulu yang kalimat-kalimat ajakan mereka selalu tertahan sebatas pesan singkat di ponsel dan tak pernah terwujud dalam kopi darat, menjelma jadi lobi-lobi. Pertemuan keluarga dan bincang-bincang panjang yang bosannya selalu khas, diganti jadi ketegangan di ruang rapat. Pada akhirnya aku menggigil di ujung ruang kamar, aku takut kehilangan apa yang kukejar tanpa tahu sesungguhnya aku sedang kehilangan lebih banyak.
“Kadang kali ada satu hal yang jauh lebih keras dari kerja keras itu sendiri yaitu ketika kita berusaha mengambil pulang mata yang dicuri layar ponsel dan laptop, kepala yang diambil tugas-tugas, serta hati yang diringkus topeng-topeng.”
Keesokkan harinya aku masuk ke kelas, dan bertemu dengan seorang dosen yang kuambil mata kuliahnya. Aku memilih – dan selalu – bangku di depan. Dosenku memulai perkuliahannya seperti biasa dengan sepotong perkenalan. Beliau bilang, ia mengajar di empat unviersitas, merangkap juga jadi kepala eksekutif perusahaan yang didirikannya, serta masih memegang jabatan sebagai direktur di salah satu akademi pertelevisian nasional. Aku spontan menyeletuk pada beliau, bahwa hari-hari beliau pastilah sangat sibuk. Dan, jawaban beliau sungguh mengunciku;
“There’s no busy time – as long as you can manage your time and commit with it.”
Aku mencintaimu, dan tak ada kata tunda maupun nanti dari waku sibuk, untuk itu.
This entry was posted in