Thursday, 17 August 2017

Suatu Hari Kau dan Cinta Mengajak Aku Bercanda

Aku bangun dengan sebelah tanganku terikat pada tiang ranjang. Aku mengerang – semua lelaki seperti itu: mereka membantumu melepaskan pakaian tapi tidak menolongmu mengenakannya kembali. Aku melepaskan diri dengan sedikit geram kesal. Saat itu subuh belum datang, kamar masih oranye oleh penerangan lampu tidur yang hampir redup. Ketika aku hendak beranjak, pria di sampingku menggeliat. Meraihku sekali lagi ke dekapannya. Aku hampir siap sekali lagi ketika ia sampai di lekuk leherku dan berbisik, dia mencintaiku. Aku mendorongnya keras; menamparnya hingga ia benar-benar bangun. Mendadak ia kedengaran seperti kau. 
Dan kau selalu tahu: aku menolak kalimat aku cinta kau sehabis seks. Aku menolak aku cinta kau yang diucapkan tiga puluh dua kali pada enam puluh empat pasang telinga. Aku bukan tak berjuang, aku hanya menolak menahan orang yang memilih pergi.
sumber foto: tumblr
Aku menyambar kimono malamku dari atas lantai. Lalu berjalan menembus ruang tengah menuju teras yang dirayapi halimun dari udara pagi yang masih perawan. Aku kedinginan dan tidak peduli. Jalanan kompleks begitu sepi, kelenggangan di mana-mana mengambil tempat. Perumahan yang tadinya ramai jadi terasa sangat kosong, ketika orang-orang yang tadinya beraktivitas memilih tidur. Tadinya. Aku meraih kotak rokok, menyalakan satu batang. Parumu sudah sembuh? Aku di sini dan tidak berubah. Aku menghisap dalam-dalam tembakau itu, membakarnya di dalam paruku. Aku sedang mencarikannya rumah. Dia butuh aku, karenanya sekarang ini aku akan sering ke sana menemaninya. Sesekali aku juga memberinya uang untuk jajan sebentar. Aku berharap dia segera pulih. Sebentar lagi aku akan mengunjunginya. Aku menghembuskan asapnya keluar dari dua lubang hidungku. Mengisapnya lagi, dalam, sampai-sampai aku merasa siap tersedak olehnya. Andai dia diizinkan tinggal bersamaku. Kau bagaimana? Sudah sembuh? Aku terbatuk. Kau percaya padaku kan? Aku kembali mengisapnya, berkali-kali hingga setengah. Lalu kubuang ke sembarang arah. Kuambil lagi sebatang, kunyalakan lagi. Kuisap lagi dalam-dalam. Jadi kau lebih percaya dia dibanding aku? Kau cinta aku, kau percaya aku. Aku meremas batang tembakau yang terjepit di antara bibirku, bahkan sebelum ia setengah. Kubuang puntung koyaknya. Kuinjak hebat hingga tak ada kepul yang menyisa. 
Kepercayaan tidak diberikan, sayang. Ia dibangun. Dan kau tidak memberiku bahan-bahan untuk menjadikannya kokoh. Ia sering goyah dan aku kerap ragu.

Aku merapatkan ikatan tali kimono di pinggangku. Rasanya belakangan ini sejak-sejak waktu, aku lebih mudah menggigil. Mungkin ada perban yang terbuka dan lupa kututup, hingga udara mudah masuk menusuk tulang, hingga udara mudah masuk membangun rumah di ruang kosong di kedalaman. Udara yang dingin itu. Dan aku lupa – atau kehilangan – cara memeluk diri sendiri. Aku menemukanmu di pesta. Dan dia memiliki ciuman yang seharusnya hanya kita punya. 

Sayang, cinta hanya sementara. Lukanya, tapi. Selamanya.

Suara derap kaki orang terdengar dari kejauhan. Seorang pria paruh baya terlihat mengenakan celana training, kaos polos, dan sepatu olahraga untuk lari paginya. Kulihat lagi, seorang perempuan tua duduk di selasar di seberang rumah, mengamati si pria paruh baya menyelesaikan putarannya. Mari menikah. Kita bangun keluarga kecil bersama. Miliki anak lucu dan keliling dunia. Si pria akhirnya lewat di depanku. Pandanganku mengekorinya. Kenapa selalu tidak. Apa lagi yang kau tunggu. Lambaian tangan kecil diberikan si pria pada perempuan tua di seberangnya. Aku tersenyum kecil. 

Kita hidup dalam kemungkinan-kemungkinan, sayang. Aku takut aku hanya belum menemukan seseorang yang mampu membuatku menjawab iya.  

Aku membungkus pandangan, menundukkan kepala. Membawa langkah pergi masuk ke dalam rumah. Kau tahu apa yang lebih buruk dari berita-berita di koran? Kita.*

--
*dikutip dari sajak puisi karya Andi Gunawan
*tulisan ini jadi puncakku merayakan patah hati (setiap malam yang diam-diam) selain dengan membaca puisi keras-keras, merekamnya, lalu mendengarnya sekadar untuk menemani kesendirian yang semakin sering mengajak bercanda ketika aku kehilangan cara tertawa

Wednesday, 9 August 2017

Karakter yang Bertenaga ala Darwis Tere Liye (2)


“Mengukur kebutuhan karakter dalam sebuah cerita mudah saja: hilangkah tokoh itu, jika memang tidak berpengaruh, maka si tokoh memang tidak penting, sia-sia saja dimunculkan. Jadi pastikan tiap karakter yang diciptakan itu memang kita butuhkan dalam cerita,” ujar Tere Liye, menyambung kelanjutannya dari topik ‘Ide’ menuju ‘Karakter’.
Dalam kesempatannya mengisi lokakarya ‘Ide & Karakter’, Tere Liye menguraikan bahwa amunisi sebuah cerita (novel) sangatlah terbatas jika dibanding dengan film. Jika cerita hanya memiliki kalimat dan kata-kata untuk menciptakan banyak hal sekaligus: karakter, latar, alur, dan sejenisnya, film punya kekuatan visual, musik, mimik ekspresi aktor/aktris, dan sebagainya. Oleh karena menyadari itu, sebagai penulis kita harus mampu memanfaatkan semaksimal mungkin elemen yang dipunya. Memandang keterbatasan itu sebagai tantangan. Salah satu caranya untuk menggiring cerita yang kuat dengan segala keterbatasan itu adalah melalui karakter. 

sesi kelas sharing dan disccussion 'Ide x Karakter' bersama Tere Liye
Bikin Profil Karakter Sedetail Mungkin
Karakter harus dibuat sesuai dengan kebutuhan cerita, karena karakter yang nanti menjadi suara dan penggerak plot. Karena alasan itu, Tere Liye menyampaikan bahwa wajib hukumnya bagi penulis membuat profil detik mengenai karakter yang dipakai. Seluruh informasi mengenai si tokoh memang tak harus muncul semuanya dalam cerita, semisal jika golongan darah atau fobia si tokoh tak perlu disebutkan dan memang tidak diperlukan dalam cerita, tak perlu disertakan. Tapi, kita sebagai penulis wajib membuat dan mengetahuinya sebagai cara kita lebih mengenal kepribadian tokoh. Jika kita sudah mengenal luar dalam si tokoh, akan lebih mudah menggerakan kebiasaan-kebiasaannya, mengontrolnya menghidupi cerita. Maka, tips pertamanya adalah detailkan karakter buatan kita.
Show, Don’t Tell
Ini mungkin pengetahuan lama, tapi kerap dilupakan penulis. Cara terbaik untuk membangun kepribadian atau karakteristik si tokoh adalah lewat penceritaan. Kita akan tahu apakah karakter kita sudah baik atau belum, ketika pembaca selesai membaca cerita kta dan masih teringat-ingat oleh tokoh yang kita buat (memorable).  Dan itu bisa dibangun lewat cerita yang digerakkan oleh karakter-karakter kuat. “Ini yang harus dicatat: kembangkan karakter harus lewat cerita, bukan deskripsi yang langsung menyebut begitu saja. Bisa fatal,” tandas Tere Liye dengan nada serius. Karena dengan begitu, karakter akan jadi lebih bertenaga.
Jika sulit, Tere Liye menyarankan untuk membuat karakter berdasar orang yang dikenal di sekitar kita. Bahkan dia pernah membuat karakter berdasar dirinya sendiri sebagai tokoh utama. Itu tidak masalah, asal bagaimana kita mampu menyampaikan gerak karakter kita lewat cerita. Kuncinya adalah lewat cerita. Show, don’t tell. “Di Negeri Para Bedebah dan Negeri Ujung Tanduk, tokoh Thomas saya akui adalah diri saya sendiri, hanya saja saya kemas sepuluh kali lebih hebat dari saya aslinya. Di Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin,  tokoh Danar juga adalah saya sendiri. Cuman, saya buat sepuluh kali lipat lebih galau dan enggak jelas dari aslinya saya, hehehe.”
Observasi Panjang
Karakter pastinya berdekatan sekali dengan adegan. Bagi Tere Liye, membuat adegan kuat yang berkarakter memerlukan observasi panjang. 

“Berlatih menulis baik adalah pekerjaan panjang yang memerlukan observasi tiada habisnya. Saya paling suka mengamati dan mengobsevasi hal-hal sekitar, walau tidak penting, tapi suka saya gali dan simpan di kepala seperti keping-keping puzzle. Keping yang saya yakin akan berguna demi membuat adegan bagi karakter saya,” jelasnya.

Tere Liye mencontohkannya seperti ini. Anak muda awam zaman sekarang apabila sedang mengantre di mini market, sering kali hanya bermain ponsel dan memperbarui status media sosial. Tapi jika anak muda itu berniat jadi calon penulis, yang dia lakukan berbeda; dia akan mengajak ngobrol petugas minimarket lainnya seraya menunggu antrean. Obrolan ringan yang kendengarannya tidak penting selayaknya: makanan apakah yang paling laku di minimarket ini, apa saja yang baru distok ulang, mana yang paling sulit terjual, dan semacamnya. Lalu, anak muda itu akan pulang dengan keping informasi kecil yang terekam dalam otaknya. Terus begitu di tiap kesempatan yang ada, memanfaatkan peluang-peluang untuk mengumpulkan informasi. Tujuan dan gunanya apa?

“Keping seperti itulah yang nantinya kita tarik dari ingatan kita untuk kemudian disusun jadi utuh, ditemukan sudut menarik memulai cerita dari sana, atau lalu ditransformasi jadi pelengkap-pelengkap cerita. Kelihatannya aneh, tapi tahukah kita, setiap jengkal kehidupan kita sesungguhnya adalah ide dan inspirasi itu sendiri. Setiap inci dari kehidupan kita adalah latihan menemukan sudut pandang spesial,” tukas Tere Liye yang jadi pernyataan penutupnya mengakhiri sesi kelasnya yang hanya sekitar 30-45 menit.

Jujur saja, ketika diceritakan hal ini, aku jadi merasa deja vu. Aku memang suka sekali kepo dengan hal-hal ringan yang dianggap abai oleh sekitar. Salah satunya adalah aku mengajak obrol kenek bus transjakarta sepanjang Cyberpark Karawaci – Poris, menanyainya macam-macam tentang lelahnya pekerjaan dia yang mengharuskannya berdiri sampai bagaimana membaca jeda waktu antar satu bus dengan bus lainnya. Percayalah, tips dari Tere Liye satu ini mengenai mengumpulkan informasi remeh-temeh, sungguh menyegarkan pikiran dan membuka kepekaan kita pada lingkungan, tentunya dalam kapasitas kita sebagai penulis.
Pada pesan terakhirnya sebelum kelas benar-benar bubar dan dilanjutkan permateri lainnya, Tere Liye mengajak kita semua untuk keluar dari zona nyaman. Tidak sekadar menjadi genre writer yang membuat penulis hanya terpaku pada satu genre tulisan. Baginya, jika penulis sampai terjebak hanya pada satu genre, dia tidak akan berkembang.
aku: ikut menghadiri undangan Expert Class GPU

"Satu lagi, seluruh pertanyaan kita mengenai tulis-menulis sesungguhnya akan terjawab ketika kita mulai menulis. Menulislah, niscahya seluruh kegalauan dan kegelisahan kita akan pertanyaan-pertanyaan kepenulisan akan terjawab dengan sendirinya.”

Kelas pun berakhir. Sungguh singkat. Tere Liye menolak diajak foto selfie bersama karena sedang terburu-buru mengejar kepulangan. Juga menolak jika foto bersama dirinya diunggah ke media sosial. Namun tak pernah menolak untuk memberi semangat pada siapapun di ruang kelas siang itu untuk menulis dengan segera. Terima kasih!
This entry was posted in

Sudut Pandang Spesial ala Darwis Tere Liye (1)

“Saya tak percaya kalau ada yang bilang ide itu terbatas,” buka Tere Liye dalam lokakarya sekaligus sesi berbagi pada kelas ‘Ide & Karakter’ yang diisinya. Kalimat pembukanya mengingatkanku pada mentorku dulu yang bilang kalau ide selalu ada di sekitar kita, ia bagai menggantung sedia di udara, menunggu kita yang cukup peka untuk menangkapnya dan mengolahnya dengan cara istimewa.
Siang itu (22/7), aku berkesempatan untuk hadir dalam kelas menulis Expert Class yang diselenggarakan Gramedia Pustaka Utama di Jakarta Creative Hub, sebagai rangkaian acara puncak atas kompetisi lomba menulis novel YA & Teenlit Gramedia Writing Project angkatan 3. Salah satu permaterinya adalah novelis laris Tere Liye. Dengan pakaian kasual santai ber-hoodie kelabu, Tere Liye memaparkan materinya dengan penuh canda. Membuat kelasnya menjadi salah satu sesi yang menyenangkan berisi tawa, juga pengetahuan yang bernas.

(kanan ke kiri: Aan Mansyur, Rosi L. Simamora, Tere Liye)
Berpikir Di Luar atau Tanpa Kotak
Buat Tere Liye, tema tulisan bisa apa saja. Beragam dan bermacam-macam, terserah ingin berangkat dari topik yang seperti apa. Namun kuncinya satu bagi mereka yang penulis baik: selalu mampu menemukan sudut pandang spesial. Inilah letak perbedaan mereka yang awam dengan kita yang ingin jadi penulis. Penulis selalu cukup peka dan kreatif untuk berpikir beda: di luar kotak atau bahkan tanpa kotak itu sendiri. Sampai pada penjelasan singkat dengan penuh penekanan atas ‘sudut pandang spesial’ itu, Tere Liye berhenti dan mendadak mengajak seluruh peserta untuk berlatih membuat satu paragraf dari satu kata: hitam. Kami ditantang untuk menemukan sudut lain yang menarik dari sebuah ‘hitam’, hanya dalam waktu kurang dari lima menit.
Saat itu aku dengan terburu-burunya menulis, “...aku kehilangan kedua bola mataku kemarin. Setiap harinya adalah malam, dunia yang kukenal kemudian hanyalah hitam.” Begitu pula peserta lain, yang diminta membacakan hasilnya. Tanggapan Tere Liye kemudian menjadi bagian paling penting.
Menurutnya, mengapa rata-rata memaknai hitam sebagai warna. Tere Liye bercerita, dia pernah mengisi lokakarya di sebuah sekolah tinggi yang mana pesertanya hampir seratusan orang. Dia melakukan tantangan kecil yang sama, dan sekitar puluhan orang bahkan hampir sembilan puluh persennya menulis hal yang tak jauh berbeda; hitam diletakkan sebagai warna atau makna kegelapan. Sampai kemudian dia menemukan satu anak yang menceritakan bagaimana sepotong warna bernama hitam adalah si tukang telat, hingga warna-warna lain memusuhinya. Itulah alasan mengapa hitam tak ada dalam deret mejikuhibiniu-nya pelangi. Kami pun tertegun.
“Itu yang saya maksud menemukan sudut pandang spesial. Jadi, langkah pertama bagi penulis untuk mengolah ide jadi hasil yang menarik adalah sudut pandang spesial!” tegas Tere Liye sekali lagi. 

suasana Jakarta Creative Hub yang hari itu jadi tempat dilaksanakannya Expert Class GWP #3
Penulis x Koki
Selain hitam, Tere Liye banyak memaparkan contoh kasus bagaimana penulis yang mampu menemukan sudut pandang spesial dari sebuah ide, akan menemui keberhasilan menulis ceritanya. Salah satunya adalah novel Ayat-ayat Cinta karya H. El-Shirazy. Selama ini pola kisah romansa selalu berlatar kota metropolitan, negara-negara Eropa dan Asia yang jadi tujuan wisata penuh keindahan. Tapi pernahkah terpikir untuk memasukkan negara seperti Mesir, ditambahi bumbu keagamaan dan adat yang ketat? H. El-Shirazy melakukannya. Keluar dari zona nyaman pola cerita roman selama ini. Beliau menemukan sudut pandang spesial yang tak didapatkan orang-orang.
“Bagi saya, pekerjaan penulis mirip dengan koki. Bahan makanan yang biasa saja bisa diolah jadi makanan lezat di tangan koki handal. Ide yang umum bisa saja dikemas jadi cerita menarik di tangan penulis yang punya sudut pandang spesial,” tutur Tere Liye sebagai penutup, lengkap dengan penekanannya di kalimat terakhir.
This entry was posted in

Friday, 4 August 2017

Langit Malam Itu Berwarna Biru

Di lahan parkir sebuah mall, aku melompati tali pembatas antara kendaraan dan ruang jalan. Tidak terlalu tinggi, bahkan tidak mencapai betis. Aku berjalan masuk ke lobi pusat perbelanjaan itu akhirnya. Rasanya tak ada yang istimewa, tapi lompatan kecil pada tali pembatas itu mengantarku pada waktu yang dulu sekali ketika masing-masing dari ujung tali dipegangi oleh dua orang teman sepermainanku. Mulai dari sebatas pinggang, dada, telinga, kepala, hingga puncak merdeka. Aku memejamkan mata, masih segar salah satu di antara mereka berteriak, ver, lo ‘kan jago, masak kayak gini harus jaldu-jalti. Kapan terakhir kau melempar kerikil ke arah jendela kamar teman tetanggamu untuk memaksanya keluar bermain? Jangan menghitungnya. Aku takut menyadari tenggat-tenggat yang menolak selesai, nyatanya telah perlahan memangsa dari belakang. Sayang, kemudian aku terkesiap. Aku rindu. 

sumber foto: teenage mess tumblr
Setelah itu, apa pun yang ditulis di sini hanyalah nostalgia.

Pulang, aku sengaja membuka pagar sedikit lebih lama. Menengok beberapa blok rumah, tempat dulunya aku berlari ke sana seusai mengerjakan peer demi memamerkan mainan baru atau meneriaki nama teman di dalam untuk mengajaknya keluar berbalap sepeda. Tapi rumah itu sudah sepi – mereka sudah pindah untuk kuliah di kota, sesekali pulang tiap akhir bulan ketika senja sudah memudar sepenuhnya, tepat ketika aku masih di jalan menempuh perjalanan pulang dari pertemuan yang menghabiskan tenaga.
Aku melangkah pelan menuju kamar, kelelahan menempeli tiap gerak tubuhku. Terus begitu, semakin lambat. 
Menyadari kenangan yang tiba-tiba jadi lebih berat: bagaimana mungkin waktu mampu menelan orang-orang sekaligus menyuburkan memori tentang mereka yang sudah lama lewat?
Aku menyandarkan punggung ke dinding, mengingat betapa kelebat kabar selain kesibukan yang menghilangkan orang-orang juga kabar-kabar pulang selamanya.
Kau datang bergabung denganku, duduk di sebelah dalam diam sebelum kau bagi juga kenangan kecilmu. Katamu kau dulu punya teman masa kecil yang buat kau jatuh cinta pertama kali, berpikir dia akan jadi sejatinya kau seperti roman novel-novel yang menjanjikan akhir bahagia. Nyatanya itu hanya ilusi yang hilang ketika kita tak lagi memperhatikannya. Kini dia sudah menikah, punya anak, dan mungkin melupakan apa yang pernah kita yakini menahun silam. Lalu kau bisikkan padaku, orang datang dan pergi, mereka yang dulu dekat kini jauh hingga tak paham bagaimana melipat jarak. Kalau begitu, kadang kala yang dibutuhkan hanya sepotong doa sederhana sebelum tidur yang berisi harapan-harapan baik buat mereka. Itu cara menyentuh mereka sekaligus mengurusi kerinduan janggal yang memuncak. 

Sejenis langkah untuk mendamaikan kecamuk nostalgia ketika janji pertemuan hanyalah berupa kemungkinan-kemungkinan.

“Sesekali aku pun suka mengenangnya; mereka yang hadir untuk menciptakan taman bermain untuk menyuapi kanak-kanak dalam diriku dulu. Ingatan-ingatan yang sudah berdebu ketika aku sedang membereskan isi kepala, tapi aku tetap memilih mereka tinggal dan menghuni ruang istimewa tersendiri di sana. Kadang kujaga dalam doa, agar semuanya baik-baik saja. Jika pun tidak, kupikir itu sudah jadi cara terbaik mendamaikan diri menghadapi kesedihan-kesedihan.”
Mulutku terkunci, seperti biasa. Aku memilih diam, membiarkan suara beratmu menyatu dengan keheningan yang merumahkan diri di setiap ruang.

“Sayang, lagipula ketika kausiap menjadikan kelebat-kelebat memori itu sebagai kenangan, itu berarti kau sudah sedia disodori kehilangan yang menyertainya.”

Tertegun. Aku bangkit. Kau membantuku. Kita kembali melangkah ke luar. Berhenti di selasar, menengok langit malam itu yang di kacamata kau dan aku berwarna biru.

Tentang Berita Obituari yang Kau Gunting Dari Koran Kemarin Dan Kau Kliping

Belakangan ini sejak sebulanan lalu, aku menua di sepanjang Slipi-Tanah Tinggi. Aku menggantung kepulanganku pada halte berlantai seng kotor, tempat kucing-kucing liar memilih tidur seraya menciumi tas orang-orang yang sekiranya cukup iba untuk memberi mereka makan. Aku meletakkan keberangkatanku pada halte setengah jadi, tempat bus-bus kosong menunggu orang-orang menemani kesepian di dalamnya. Lalu hampir setiap hari aku melakukan perjalanan yang memanjang karena kemacetan, yang memendek oleh pikiran-pikiran yang mampir mengajak bicara. Sesekali bentuknya pertanyaan yang mendesak dicari jawabannya di antara desak orang yang bersikeras masuk walau tubuh bus sudah begitu penuh, decak orang yang tak dapat bangku, depak orang yang meminta ruang lebih luas; tidak pernah mudah. Sedangkan kau dan aku tahu, semesta punya kegemaran membubuhi tanda tanya pada banyak hal tanpa menyediakan jawabannya. 
sumber gambar: http://www.visit-petersburg.ru/

hampir belasan tahun, aku mengingatnya tak pernah absen dari sesal-sesal yang masih menolak hangus. bagaimana caranya bebas mengikuti hati tanpa terbawa menuju tempat aku kehilangannya?

Aku membenarkan posisi tasku yang terasa begitu berat ketika kauberdiri di dalam kendaraan besar yang kelelahan tapi lupa caranya istirahat di tengah kota yang tak pernah tidur. Sesekali mencari hiburan kecil mengintipi isi pesan singkat yang dipertukarkan orang-orang yang masih melongok layar kaca ponsel di mana dan kapan pun sekeliling menjepitnya. Atau mencuri dengar radio yang hidup tak mampu mati pun segan yang terputar dengan sedikit sekali daya. Atau menerka mana orang yang berpura terlelap agar tak dipilih petugas untuk bangun memberi tempat. Tiba-tiba saja aku teringat dia yang menggunting obituari dari kertas koran kemarin malam, lalu mengklipingnya bagai koleksi jurnal ilmiah yang disusunnya sedemikian rapi. Kutengok pemandangan di luar jendela yang berlari menjauhi laju bus, kautahu sampai di titik ini aku menemukan jika manusia memiliki hobi menyimpan apa-apa yang menyakiti mereka.

aku selalu merasa sempit, kau tahu – disesaki tanggung jawab yang sekarang meminta jadi nomor satu, kenangan-kenangan yang sudah teronggok jadi sampah sekaligus saksi atas kebodohan dulu-dulu. tapi, memikirkannya membuatku selalu cukup luas untuk memberinya tempat. bagaimana kau sanggup hidup hanya memilikinya sebagai masa lalu?

Kenek bus membelah jalan yang dipenuhi gelantungan kepala orang dengan mata jatuh di atas layar. Berjalan tak peduli dengan permisi yang bagai cicit tikus yang tak kedengaran sebelum akhirnya terlindas ban mobil pada pertengahan malam. Berbicara kemudian dengan sang supir sebelum kemudian kembali dan mengumumkan pemberhentian bus yang berubah rute. Aku diturunkan pada halte asing yang lenggangnya terasa ganjil. Mendadak aku lupa alamat rumahku, bagaimana cara pulang. Dan teriakan kehilangan mendadak terdengar begitu nyaring.

dia adalah bukti aku pernah mencintai seseorang begitu dalam hingga tenggelam dan tak tahu cara berenang dengan benar agar semuanya selamat di permukaan. bagaimana kau menjalani setiap hari dengan ingatan yang terus memberi tahu kau sebenarnya adalah sudah mati?

Seseorang asing menghampiriku dengan sepeda motornya. Dia berhenti sejenak, kupikir hendak menjemputku. Namun tidak, dia hanya mendekat menelusuri wajah pucatku lalu bertanya, “Apa kau baik-baik saja?”
--
*ditulis setelah membaca 'perjalanan lain menuju bulan' karya Aan Mansyur
*mengenang seorang pria yang pernah menghubungiku untuk meminta tolong agar aku bisa mengontak seseorang yang dia bilang ' pernah kucintai dengan sangat salah'. 
*beberapa potong kalimat di tulisan ini pernah kuposting dalam stories media sosial aku ketika sedang menaiki bus trans dalam perjuangan pulang yang melelahkan 
This entry was posted in