Sunday 22 July 2018

(Minggu Pertama ) Kelas Penulisan Cerita Anak DKJ 2018: Sebuah Catatan Tentang Buku Anak

Reda Gaudiamo, atau yang akrab disapa Mbak Reda, membuka kelas penulisan cernak pagi itu dengan satu pertanyaan sederhana,
 “Apa yang menarik dari cerita anak?”
Pertanyaan ini membuat satu kelas berpikir sejenak. Dunia anak memang menarik, mengingat apa pun yang dilakukan mereka selalu ada momen ‘kali pertama’ atau ‘pengalaman pertama’. Tapi, kalau cernak, apa yang menarik?
Aku dan Mbak Reda di Kelas Penulisan Sastra Anak DKJ
Fakta Menarik Buku Cernak di Indonesia
Mbak Reda mengemukakan data menarik mengenai buku anak di Indonesia,
“Studi yang dikeluarkan oleh Scholastic tahun 2017 mengungkapkan kalau ada 86% Ayah-Ibu yang disurvei dari 2.718 orang tua dengan anak 6-7 tahun, percaya kalau kebiasaan membaca itu penting untuk masa depan yang baik. Kenyataan ini diperkuat oleh pengakuan 58% anak dari 2.718 anak yang menyatakan sepakat jika membaca cerita itu menyenangkan.”
Hasil dari studi tersebut nyatanya berdampak pada produksi dan penerbitan buku anak di Indonesia. Survei IKAPI tahun 2015 menyebutkan sekitar 22,64% buku anak terbit di Indonesia pada tahun 2014. Trivianya, angka ini membuat kategori buku anak menjadi kategori terbesar dari kategori buku lainnya, dan menariknya, terbesar dua kali lipat dari kategori sastra.
Sampai di sini, bisa disimpulkan, secara permintaan dan penawaran pasar, buku anak cukup tinggi. Kita punya peluang. Besar.
Memahami Apa Itu Buku Anak
“Apakah itu buku anak? Cerita dengan karakter utama anak-anak? Benarkah? Atau, cerita yang mengisahkan kehidupan khas anak-anak?” pancing Mbak Reda.
Namun, bisa ditebak, buku anak bukanlah salah satu dari itu. Jika dibilang buku anak adalah tokohnya anak-anak, bagaimana dengan novel IT karya Stephen King? Tokoh utamanya anak-anak, tapi apakah lantas dibilang novel itu adalah novel anak? Kalau dikatakan buku anak ialah kisah keseharian anak, bagaimana dengan buku anak yang berbau cerita detektif, petualangan, dan lain-lain? Buku anak punya pemahaman yang lebih besar dari itu dan kerap kita lupakan.
“Saya suka definisi cerita anak dar Robyn Opie Parnell, ya. Beliau mengatakan cerita anak adalah cerita yang ditujukan untuk pembaca anak, yang amna dalam cerita tokoh utamanya menyelesaikan masalahnya dengan upayanya sendiri. Bantuan dari tokoh orang dewasa sangat minimal, atau bahkan tidak ada sama sekali. Bagian ini yang sering kita lewatkan. Satu lagi, cerita anak itu tidak melulu berbentuk buku cerita bergambar atau novel anak. Tapi juga bisa dalam wujud posa, puisi, fiksi, hingga nonfiksi,” tambah Mbak Reda.
Jika kita sudah mengerti apa itu buku anak dan cakupan bentukannya yang luas, kita akan lebih mudah menentukan karya cernak seperti apa yang ingin dibuat sebab pilihannya banyak. Bahkan jika dikategorisasi secara lebih spesifik, seperti ini hasilnya:
sumber: PPT Kelas Sastra Anak Reda Gaudiamo
Kalau kamu, tertarik untuk bikin yang mana?
Mengkeksplorasi Jenis Cerita Anak Dan Mengidentifikasi Tantangan Menulisnya
Cerita anak punya banyak jenisnya, tidak kalah dengan jenis cerita dewasa juga. Beberapa jenis cerita anak yang bisa kita selami jika ingin mulai menulisnya, antara lain science fiction, fantasy, horror/ghost stories, action/adventure, true stories, historical fiction, biography, learning/educational, religion/diversity, gender oriented, dan licensed character/ books into brands.
Mengenai jenis buku anak ini, Mbak Reda punya pengalaman tersendiri,
“Buku anak tu banyak jenisnya. Saya ingat sekali pernah membaca komik luar negeri itu isi ceritanya mengenai perang dunia kedua. Gaya berceritanya sangat menarik, ketika dua negara berperang dan sedang sepakat untuk gencatan senjata, komik itu lewat dua karakter dari dua negara berbeda yang berperang itu dikisahkan sedang beristirahat. Ini contoh cara mengenalkan sejarah dunia pada anak-anak lewat cara kreatif. Saya berharap kisah seperti Diponegoro juga disampaikan dengan cara serupa.”
Aku pun setuju dengan Mbak Reda. Kalau diingat lagi, saat kukecil dulu, cerita mengenai kerajaan maupun perang di tanah air, tidak ada yang disuguhkan dalam komik dengan pengandaian-pengandaian yang mudah dicerna anak. Sebaliknya, dihadirkan dalam bentuk buku teks pelajaran yang kesannya menggurui dan membuatku mengantuk, hehehe. Alhasil, aku lari ke komik-komik Donal Bebek. Keadaan ini berbeda sekali dengan keadaan bacaan anak di Inggris. Menurut Mbak Reda, karya Shakespeare sudha dikenalkan dan dibuat versi buku anaknya untuk jadi bacaan anak di sana. Caranya adalah dengan membuat serial Shakespeare khusus anak. Berbagai episode cerita Shakespeare disampaikan secara bertahap, dikenalkan sedikit-sedikit.
sumber: PPT Kelas Sastra Anak Reda Gaudiamo
Akhirnya menyadari justru tantangan buku anak terletak di sini, bagaimana menghadirkan cerita serius menjadi bentuk yang lebih sederhana dan sesuai dengan sudut pandang anak. Ketika kusampaikan ini, Mbak Reda mengamini, 
“Tantangan terbesar menulis cernak memang di situ. Bagaimana kita bisa menerjemahkan hal-hal serius hingga anak memahaminya.”
Bicara soal hal serius, Mbak Reda mengeluarkan koleksi buku anak jenis learning/educational miliknya dulu. Beliau juga menyarankan bagi teman-teman kelas untuk membawa buku anak yang dianggap punya poin menarik untuk dibagikan tiap minggunya, sehingga kita semua bisa belajar sudut pandang anak.
“Ini buku A for Activist. Kenapa menarik? Karena biasanya kita menemukan buku anak learning/educational itu ‘A for Apple’, tapi buku ini berbeda dan berani. Lihat lagi ke halaman selanjutnya, ‘F for Feminist’. Ada yang lebih kontroversial, ‘L for LGBTQ’. Di awal mungkin kita kaget karena ini berbeda dari biasanya, tapi kalau kita berani menengok lebih dalam lagi, apa salahnya dengan kata Activist, Feminist, dan LGBTQ. Hal-hal begitu perlu kita beritahu pengetahuannya sejak dini. Tidak ada yang salah dengan memberi pengetahuan pada anak.”
Contoh lainnya yang dijadikan pembahasan di kelas adalah jenis buku anak gender oriented.  Ini jenis yang sangat spesifik, biasanya ditujukan untuk salah satu gender khusus. Semisal buku ‘I Love My Hair’ karya Natasha A. Tarpley, buku anak ini khusus untuk anak perempuan di Afrika yang sering insecure dengan kondisi rambut keriting mereka dan hendak meluruskannya. Jadi, buku anak itu berusaha memotivasi anak perempuan di Afrika untuk bangga dengan rambut alaminya serta mendorong keyakinan mereka bahwa mempunyai rambut keriting itu tidak ada yang salah. Lainnya yang menarik adalah buku dari jenis religion and diversity. Contoh dari buku anak jenis ini adalah ‘The Sandwich Swap’ karya Queen Rania of Jordan Al Abdullah dan Kelly DiPucchio, yang mana diterbitkan untuk mengenalkan pengetahuan akan Islam pada anak-anak, khususnya anak-anak di Amerika dan Eropa sejak kejadian penyerangan teroris 9/11. Banyak sekali contoh lainnya yang dibawa dan dibahas Mbak Reda, namun yang jadi penekanan adalah,
“Apa pun bisa diajarkan. Enggak harus hal yang baik-baik saja dan enggak melulu mengangkat topik aman. Jadi, berhentilah menabukan banyak hal.”
Tips Awal Menulis Cerita Anak
Setelah punya pengetahuan mendasar mengenai kondisi pasar buku anak, definisinya, jenis-kategorinya, dan tantangannya, kini saatnya menulis dan mengurai kesulitan-kesulitannya. Tips utama dari Mbak Reda untuk bisa melihat seperti pandangan anak adalah milikilah pandangan yang sederhana tapi istimewa. Lalu, berceritalah dengan simpel dan baik. Simpel artinya kita coba menempatkan diri menjadi si anak yang semua pengalaman dalam hidupnya serba pertama kali. Baik artinya kita harus menulis dengan tata cara yang benar, jadi ayo belajar lagi pedoman UKBI dan KBBI.
“Begini yang saya maksud soal sederhana tapi istimewa. Acap kali kita melihat radio sebagai salah satu medium mendengar berita/informasi, lagu, dan lain-lain. Itu pandangan kita sebagai orang dewasa. Coba kalau kita jadikan diri kita anak kecil yang baru pertama kali dengar radio, anak itu pasti bingung karena bagaimana caranya benda itu bisa mengeluarkan suara. Mungkinkah ada penyanyi di dalamnya? Lalu anak itu mulai menempelkan telinganya ke pelantang suara radio, dan memicingkan matanya, mencari tahu di mana si penyanyi dan bagaimana bisa ada penyanyi masuk ke dalamnya sampai menghasilkan lagu,” jelas Mbak Reda. Beliau juga berpesan, berpandanga istimewa namun sederhana ini bisa dilatih. Caranya mudah, banyak baca! Itulah alasan mengapa sejak awal dikenalkan banyak jenis buku anak beserta contohnya.
Lebih jauh lagi, Mbak Reda mengajak teman-teman kelas untuk mengakses tautan dari Sarah Maizes, mengenai ‘WantTo Write A Good Children’s Book? Here are 7 Tips to Guide You’. Setelah kuakses dan kubaca, inti dari bahasan Mbak Reda dan Sarah Maizes adalah sama: pakailah sudut pandang anak-anak yang serba pertama kali! Karena dari sana, kita akan dapat pandangan unik dan berbeda.
Kalau mau tips lebih banyak lagi, kita bisa coba cari di sini:
sumber: PPT Kelas Sastra Anak Reda Gaudiamo
Catatan Penting Mengenai Dunia Penulisan Buku Anak
Buat kita yang sering bertanya apakah anak akan mengerti jika kita membuat cerita yang seperti ini atau itu tanpa menyelipkan pesan moral secara langsung, dan lain-lain? Begini jawaban Mbak Reda: 
“Jangan anggap anak-anak, kita meremehkan. Mereka makhluk yang cerdas!”
Pertanyaan lainnya, apakah oke jika menyampaikan isu serius? Caranya bagaimana? Begini tanggapan Mbak Reda: 
“Isu serius bisa disampaikan pada anak-anak. Caranya: menulis dengan sederhana, jadi perbanyaklah latihan. Salah satu latihannya selain terus dan sering menulis, banyak-banyaklah membaca! Soalnya menulis dengan baik itu dimuali dari membaca buku-buku yang baik.”
Terus, ada lagi pertanyaan, buku anak yang baik itu yang seperti apa sih? Mbak Reda menjawab: 
“Buku anak yang baik, akan disukai oleh orang dewasa. Contohnya juga sudah banyak seperti serial Harry Potter-nya J.K Rowling, atau novelnya John Boyne yang sudah difilmkan juga berjudul ‘The Boy in the Striped Pajamas’.”
Dari semua pertanyaan-pertanyaan itu, Mbak Reda memberi catatan khusus yang diulang berkali-kali oleh beliau pada seluruh peserta kelas, 
“Buku cerita anak itu bukanlah buku pelajaran agama, juga bukan khotbah!”
Begitu catatan pelajaran dari kelas penulisan sastra anak DKJ pada pertemuan pertama ini, yang bisa kubagikan buat teman-teman. Sampai jumpa di postingan minggu depan lagi yah mengenai hasil dari pertemuan kedua. Semoga bermanfaat dan bersama bangkitkan lagi gelora sastra anak nusantara!


This entry was posted in

Thursday 19 July 2018

Pagi Di Ruang Pleno DKJ


Ruang pleno di kantor Dewan Kesenian Jakarta, Sabtu (14/7) pagi itu sudah cukup ramai ketika aku sampai. Hampir setengah dari total peserta terpilih kelas penulisan sastra anak telah mengambil bangku masing-masing mengitari meja kelas, tak terkecuali aku. Sembari menunggu Mbak Redagaudiamo yang masih menikmati kopi pagi Cikini, kami menyimak obrolan santai dengan komite sastra DKJ, Mbak Aini Sani Hutasoit dan Paman Yusi Avianto Pareanom. Dari mereka, diketahui jika kelas sastra anak DKJ baru memasuki tahun kedua dengan tanggapan yang begitu baik dari masyarakat sejak pembukaannya, yang mana pesertanya selalu mencapai angka ratusan tiap tahun. Bahkan di tahun pertama, DKJ menerima aplikasi hingga 400-an pendaftar. Mendadak, kurasa bangga sekali bisa terpilih untuk duduk dan belajar di ruang pleno pagi itu.
Oleh Mbak Aini juga, disampaikan alasan diadakannya kelas sastra anak, 
“Sudah sejak lama DKJ fokus dengan sastra dewasa. Sampai kemudian kami menyadari sastra anak tak kalah penting eksistensinya dengan sastra dewasa. Belum lagi ditambah kegelisahan kami melihat anak-anak nusantara lebih mengingat karakter-karakter cerita anak dari luar Indonesia, dibanding yang dalam negeri. Untuk itu, kelas ini diadakan dengan harapan bisa membangkitkan semangat kepenulisan kreatif cerita anak dan memunculkan buku-buku anak ikonik untuk anak-anak  Indonesia.”
Banyak dari kami pun mengakuinya. Kuingat ketika kukecil dulu, yang kujagokan adalah tokoh-tokoh heroik dan konyol dari komik maupun cerita rakyat yang difilmkan, yang berasal dari luar. Bahkan tontonan animasi anak pada tiap minggunya dibombardir dengan cerita-cerita anak dari beragam negara, yang mana porsinya dari dalam negerti sangatlah sedikit. Atau bahkan, kurang kuingat.
Hal serupa juga ditambahkan Mbak Aini, perempuan yang hari itu mengenakan terusan batik biru muda, mengatakan jika dulunya beliau mengikuti serial anak di salah satu media, namun sekarang serial tersebut pun tak lagi terdengar. Menurut beliau, dunia cerita anak khususnya di Indonesia butuh dinyalakan lewat penyegaran dan pembaruan agar tak redup. Beliau berharap seluruh peserta kelas sastra anak baik angkatan pertama dan sekarang, bisa keluar sebagai penulis anak unggul yang memberi warna dan sumbangsih untuk cerita anak.
Diskusi awal sebelum kelas menjadi hangat dan seru. Terlebih ketika salah satu peserta menyinggung mengenai batasan cerita anak – apakah harus selalu mengandung unsur moral yang baik-baik? Sampai di sini kami semua sepakat, cerita anak lebih dari sekadar buku cerita moral. Walau sesungguhnya, justru batasan ‘harus bercerita baik-baik dalam buku anak’ itulah yang mengekang kebebasan berimajinasi penulis ketika menulis cerita anak – yang kuamini membuatku sulit sekali menulis genre ini. Apakah kamu juga demikian?
Paman Yusi yang mendengarnya pun menyela, 
“Maka itu, jika tidak penting-penting sekali, jangan membolos kelas ini.”
Kami semua tertawa, bertepatan dengan datangnya Mbak Reda dengan tote bag penuh berisi koleksi buku anak yang akan dibedah hari itu. Diskusi kecil pun usai, berganti jadi sesi sambutan sebelum kemudian bagian paling ditunggu dimulai oleh Mbak Reda: belajar menulis cernak! Dan, apa saja yang kudapat selama dua jam kelas intens tersebut, bisa teman-teman simak di sini. Semoga bermanfaat!

This entry was posted in

ACOTAR: Pilihan Segar untuk Pecinta Serial Romance-Fantasy

Judul               : A Court of Thorn and Roses (ACOTAR)
Pengarang       : Sarah J. Maas
Tebal Buku      : 587 halaman
Penerbit           : Bhuana Sastra (imprint Bhuana Ilmu Populer Gramedia)
Tahun Terbit    : Februari 2018


Beberapa hari lalu dikirim buku ini oleh BIP Gramedia untuk kubaca dan kuulas. Ini perkenalan pertamaku dengan series-seriesnya Sarah J. Maas, setelah penasaran melihat buku-bukunya berseliweran pada foto-foto apik bookstagammer Indonesia. Seusai menyelaminya, aku punya beberapa poin ulasan buat novel yang pernah masuk nominasi Goodreads Choice Award for Fantasy and Sci-Fi 2015 ini.
Novel ini mengadopsi ulang cerita Beauty and The Beast yang diramu dengan aksi heroine ala Katniss Everdeen (terutama pembuka ceritanya, langsung mengingatkanku pada Katnis) dan karakter kisah percintaannya kental akan gaya saga Twilight. Tapi dieksekusi dengan segar dan menarik.
Sekitar seperempat cerita, khususnya pendekatan antara Feyre dan Tamlin cukup berjalan lambat – tapi buatku sendiri, tidak sampai membuatku lelah. Karena kupikir ini perlu agar tidak terjadi ‘instant love’, terlebih ketika Feyre diatur sejak awal membenci dunia peri, serta ini kupandang sebagai cara Maas menjelaskan keadaan dunia peri. Terutama juga, ada petunjuk-petunjuk yang disebar sepanjang cerita yang akhirnya terjawab menjelang ending.
Ada adegan yang kontroversial, mengingatkanku pada sekte yang memang punya ritual ini: melakukan persenggamaan untuk kesuburan tanah peri tiap tahunnya. Baiklah, adegan ini sedikit buatku mengerutkan dahi.

Bagian paling kusuka dari novel ini adalah saat bab sudah menyentuh halaman 300-an ke atas: ketika adegan demi adegan sudah cukup membuat tegang, rahasia sihir yang melingkupi dunia peri terungkap serta kenekadan Feyre ke Kaki Gunung untuk melawan Amarantha, dan menyelematkan Prythian (juga tentunya, Tamlin). Tokoh antagonisnya buatku sukses dibawakan Maas dengan baik.
Kuakui Maas punya kemampuan deskripsi yang mendetil dan imajinasi nan luas. Karakter yang dibangun cukup kuat walau buatku masih terbayang-bayang Beast x Edward Cullen dalam karakter lelakinya.
Awalnya jatuh cinta dengan Tamlin, tapi saat menjelang akhir, Ryhsand lebih mempesona (yang buas-buas memang bikin tertarik, tapi yang misterius dan gelap justru lebih menantang dijelajahi #uhuk).
Dari segi fisik buku, BIPGramedia memberikan jenis dan ukuran font yang pas untuk dibaca mata, serta terjemahan yang enak dibaca (sebab kutahu ini tidak mudah, yang menerjemahkannya perlu paham plot pikir Maas). Walau masih kutemukan tiga typo dalam buku ini.
Kalau kita dasarnya suka roman dengan bumbu fantasi, kupikir novel ini akan cocok buat kita – menemukan karakter idola baru, menyelami kisah cinta dua dunia seraya terhanyut dalam petualangan fantasinya satu persatu.
Simpulannya, buku ini layak diberi kesempatan untuk dibaca sampai habis dan ditunggu seri kedua dan ketiganya.
Bintang? 3,8 dari 5
Aku merekomendasikannya!
Selamat jatuh cinta pada Tamlin dan Rhysand! 




Wednesday 18 July 2018

(GIVEAWAY & BLOGTOUR) Novel 'Follow Me Back': Ketakutan-ketakutan yang Penuh Kejutan

Judul               : FOLLOW ME BACK 
Penulis             : A.V Geiger
Penerjemah      : Lisa Mahardika
Halaman          : 340 halaman, 20 cm
Tahun Terbit    : Mei 2018 
ISBN               : 978-602-6682-20-8 
Penerbit           : Spring 

Blurb              


Dunia Tessa Hart terasa sangat sempit. Dia terkurung di dalam kamar karena agorafobia yang diidapnya. Satu-satunya pelariannya adalah dengan memasuki dunia fandom online penyanyi pop yang sedang naik daun, Eric Thorn. Ketika Eric menyapa para fansnya lewat Twitter, rasanya seperti cowok itu berbicara langsung kepadanya.
Eric Thorn takut pada penggemarnya yang obsesif. Mereka memujanya dengan cara berlebihan. Belum lagi tim publisisnya yang tidak berhenti menulis tweet dengan akunnya untuk menyemangati khayalan mereka. Benar-benar tidak membantu. 
Ketika temannya yang sesama penyanyi pop dibunuh seorang penggemar, Eric tahu dia harus melakukan sesuatu untuk menghancurkan citra dirinya di online. Contohnya, menjatuhkan salah satu pengikut besarnya di Twitter. Sayangnya rencana Eric untuk mengganggu @TessaHeartsEric berubah menjadi hubungan online yang lebih dalam daripada yang pernah dia bayangkan. Dan ketika hubungan mereka semakin dekat, sesuatu yang tidak disangka-sangka mengejutkan mereka semua!


Kesan pertama yang saya tangkap saat membaca novel ini adalah idenya yang segar dan khas milenial zaman sekarang. Secara garis besar, cerita ini memiliki potret kedekatan dengan kegiatan keseharian anak muda era kini. Sebut saja: aktivitas fangirling,senang menghabiskan waktu dengan media sosial semisal Twitter, punya pacar, konflik dengan orang tua, tekanan psikologis hingga kegalauan pribadi, semuanya dikemas jadi satu cerita utuh dengan bumbu romansa dan misteri. Bagian lebih menariknya adalah novel ini menyuguhkan sejumlah kejutan sekaligus sesuatu yang berbeda. Apa saja?

Tessa tidak serta-merta mengidap agorafobia atau ketakutan terhadap keramaian atau kerumunan. Terjadi hal yang buruk ketika ia mengikuti program belajar musim panas di kampusnya. Sejak itulah, ia mulai menutup diri dan mendekam di dalam kamar rumah. Bahkan ia sampai harus melakukan terapi setiap minggunya, mengonsumsi obat peredam kecemasan/kepanikan, sampai mencoba beragam cara untuk menenangkan diri.

Reaksi ketidaksukaan Tessa ketika Scott, pacarnya yang menyebalkan, sering muncul tiba-tiba di kamar atau kesedihan Tessa saat ibunya memaksa Tessa keluar rumah dan menganggap itu adalah hal yang mudah, menjadi poin menarik di sini. Mengapa? Karena berhasil memberi gambaran dan pesan pada siapa pun untuk tidak memandang sebelah mata gangguan psikologis yang dialami remaja. Bahwa gangguan tersebut nyata adanya dan perlu diobati, perlu dukungan banyak pihak. Jika tidak justru bisa bertambah parah, dan dalam banyak kasus, bisa terjadi bunuh diri.
“Kau berengsek! Kau menakutiku setengah mati! Kau mengerti itu? Kau lihat pil-pil ini? Aku tidak main-main. Aku punya fobia. Kondisi yang sudah didiagnosis secara medis. Kau tidak bisa begitu saja masuk ke kamarku. Tidak boleh!” – Tessa Hart, halaman 144
Pernahkah kita berpikir apakah artis idola benar-benar mencintai para fans-nya atau justru sebaliknya? Novel ini memberi jawabannya. Di balik kalimat-kalimat balasan ‘aku juga mencintaimu, fansku!’, terdapat masalah privasi antara artis idola dan fans yang sering kali jadi pikiran si artis. Begitu yang tergambar dari keadaan tokoh utama pria, Eric Thorn, seorang idola remaja masa kini, yang punya kecenderungan takut berlebihan pada fans perempuannya yang menggila. Terutama saat temannya sesama artis meninggal akibat ditikam oleh fans sendiri. Sejak itu Eric benar-benar paranoid dan merasa jutaan fans-nya lebih dari sekadar stalker profesional tapi juga berkemungkinan membunuhnya. Cerita novel ini mengajak kita menengok lebih jauh dampak gelap fangirling obsesif terhadap artis kesayangan.

Cerita dimulai oleh berkas transkrip interogasi kepolisian. Sejak awal kita langsung disodorkan satu sinyal: ada sesuatu yang serius tengah terjadi antara Tessa-Eric pada akhirnya. Pembuka ini sukses membuat saya terus mebalik halaman demi halaman untuk mengetahui apa yang terjadi hingga harus melibatkan kepolisian. Paduan antara berkas laporan interogasi dan jalan cerita Tessa-Eric, membuat novel ini punya alur maju-mundur yang bikin kita penasaran sampai akhir.
“Penyidik: Mr. Thorn, tolong duduk. Kita berada di tengah-tengah penyidikan kriminal.Thorn: Katakan dimana dia!” – Transkrip Resmi Interogasi Kepolisian, halaman 5

Buat kita yang udah baca selesai novel ini, pasti punya satu pendapat yang sama: endingnya bikin kepikiran! Yup, cerita ini memberikan ending yang tak terduga, bahkan benar-benar di luar prediksi. A.V Geiger berhasil mengejutkan pembacanya dengan menaruh twist di ending. Dijamin, siapapun yang habis membacanya pasti segera berspekulasi macam-macam mengenai kelanjutannya. Saya enggak bisa spoiler, tapi ini jenis ending yang: CLIFFHANGER!

Kedekatan antara Tessa dan Eric (yang menyamar sebagai Taylor) bisa kita temukan lewat pertukaran pesan mereka via DM. Saya senang membacanya karena tidak membuat kita ‘lelah’, sebab ditulis khas pertukaran pesan remaja dengan gaya yang ringan dan mengalir.

“Tapi aku tak akan melupakan keping saljuku. Tak sanggup kulelehkan dia dari pikiranku. Aku akan mengawasinya dari jendela. Demi cinta yang dia tinggalkan.” – Snowflakes, Eric Thorn, halaman 322

Reccomended!
Rating             : 3,8 dari 5



Perlu diakui, A.V Geiger sukses menghadirkan novel remaja ringan dengan bumbu misteri-thriller yang menyenangkan untuk dibaca. Saya sendiri menghabiskannya dalam waktu satu setengah hari saking penasarannya. Kalau buat saya, Follow Me Back bisa jadi rekomendasi bacaan akhir pekan kita!

Giveaway Time!


Penasaran dengan kisah Eric-Tessa? Penerbit Spring akan membagikan secara gratis novel ‘Follow Me Back’, lho! Bagaimana caranya? Gampang banget. Berikut ketentuannya:


1.      Like fanpage Penerbit Spring, dan follow juga blog ini agar teman-teman bisa dapat informasi seputar blogtour dan giveaway finalnya.
2.      Follow akun Twitter @PenerbitSpring dan akun Twitter @verooogabriel
3.      Follow akun Instagram @PenerbitSpring dan akun Instagram @verooogabriel
4.      Share postingan ini melalui Twitter, Facebook, atau Instagram (boleh pilih salah satu). Lalu, jangan lupa mention @PenerbitSpring dan @VeroooGabriel (jika via Twitter dan Instagram), atau tag Penerbit Spring (jika via Facebook)
5.      Jawab pertanyaan ini:
Siapa nama pacar Tessa Hart?
6.      Simpan jawaban dari pertanyaan setiap host (untuk tautan blog dapat dilihat di banner)
7.      Di akhir blogtour, akan diadakan giveaway di fanpage Penerbit Spring pada tanggal 22 Juli 2018 dan jawaban atas pertanyaan yang sudah dikumpulkan dari semua host blogtour akan menjadi kunci penentu untuk mendapatkan novel ‘Follow Me Back’.
8.      Pengumuman pemenang akan dilakukan segera setelah giveaway berakhir di fanpage PenerbitSpring.

Jadi, tunggu apalagi! Langsung aja ikuti blogtour-nya dan menangkan satu novel ‘Follow Me Back’ gratis dari Penerbit Spring! Semoga beruntung dan bisa menyelami thriller-nya kisah Eric-Tessa yah!